Perjalanan hidupku berubah drastis. Tidak ada lagi anak sekolah menengah atas pulang sekolah malam hari. Tidak ada lagi jadwal nongkrong bersama teman-teman tomboi. Tidak ada lagi jadwal main voli bersama teman-teman pria. Tidak ada lagi uang jajan. Tidak ada lagi hari di mana aku bangun kesiangan.
Tidak ada lagi orang yang tiap saat kuminta bikin makanan lezat siap tersedia. Tidak ada lagi orang yang memukulku dengan sapu lidi. Semuanya sudah terkubur bersama jasad kedua orang tuaku.
Aku masih belum percaya mereka begitu cepat meninggalkanku. Gadis kecil mereka ini masih belum mampu berdiri sendiri di tengah lalu lintas kota besar. Mereka tidak tahu aku kesepian. Kuakui, aku sering membangkang. Aku sering membantah nasehat Mama. Aku sering lupa teguran Papa. Aku diamkan mau mereka, kujalani mauku saja.
Mama Papa mengalami kecelakaan, itu yang kudengar. Aku masih mencerna apa yang terjadi pada kedua orang tuaku. Seperti ada yang janggal setiap perkataan yang menimpa mereka. Orang tuaku seakan murni kecelakaan, padahal dari raut mereka ada sebersit rahasia yang tidak bisa kuketahui.
Hampir tiap malam aku merenung. Bertanya pada Tuhan, apa yang terjadi pada kedua orang tuaku? Jarang sekali aku mengadu pada Tuhan, karena selama ini hidupku senang-senang saja. Aku berkecukupan. Punya keluarga bahagia dan harta tak kurang satu apapun. Setiap yang kuminta pasti akan dikasih, walau aku berdebat terlebih dahulu dengan Papa. Orang tuaku tidak pernah menolak, mereka cari uang hanya untuk aku seorang. Hanya aku!
Kali ini, aku telah kalah. Aku harus mengadu. Meminta pertolongan. Pada manusia sungguh tidak satu pun yang peduli. Satu persatu mereka meninggalkan rumahku semenjak hari pertama berkabung. Sanak saudara dari pihak Mama dan Papa hanya mengulurkan tangan tanpa mengucap sepatah kata. Lalu pergi.
Aku ingat, dulu mereka sering datang ke rumah. Papa tak segan-segan pula membantu mereka. Papa tiada, mereka lupa bahwa aku masih tertinggal sendiri. Menanti jawaban Tuhan atas takdirku.
Doaku terjawab di hari ke sepuluh kepergian Mama Papa. Tuhan benar-benar sedang sangat baik padaku. Aku meminta doa yang baik-baik saja, tetapi Dia mengabulkan doa lain. Dalam dingin pagi, gigi gemerutuk, badan gemetar, aku meninggalkan rumah. Entah ke mana arahku setelah pagi ini.
Ternyata, masih banyak sisa cobaan menghampiri hidupku. Rumah kami disita, satu-satunya harta yang kutahu menjadi milikku seutuhnya. Aku salah, rumah itu kini sudah menjadi milik orang lain. Aku tidak tahu siapa mereka, mereka datang membawa surat perintah mengosongkan rumah. Mereka datang berlima. Si botak dengan baju hitam. Si putih jangkung berkemeja putih. Si kurus berkemeja kotak-kotak. Si gemuk berkemeja putih sama dengan si putih. Dan si pendek - lebih pendek dari mereka berlima - berbaju kotak-kotak hitam.
Tak ada gunanya aku membantah. Mereka punya surat kuasa memaksaku keluar rumah. Setelah kubaca dengan teliti, Papa punya hutang begitu besar di bank. Wajar saja rumah ini disita. Aku masih bertanya, lantas kenapa Papa dan Mama ke Jakarta? Bisnis apa yang mereka rencanakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Pesan dan Darah Jawa di Tanah Aceh
RomantikMungkin, ini hanya pengantar dari saya sebagai penulis. Cerita dan tokoh dalam tulisan ini adalah fiktif. Kesamaan karakter barangkali karena penamaan dan imajinasi penulis semata. Waktu dan tempat juga demikian dibuat untuk membuat alur cerita maup...