Segelas Pesan dan Darah Jawa di Tanah Aceh - Bagian 1

156 3 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kala badai, tepikan perahumu agar tidak patah kemudi!

Aku mendengus. Pesan lagi. Tentang perahu? Mana aku punya. Macam-macam saja penulis pesan berantai itu. Tempat tinggalku jauh dari lautan. Aku pernah melihat laut dulu, bukan untuk melaut. Aku juga pernah merasa deras ombak menyentuh kakiku, bukan pula untuk menjaring ikan.

Aku pikir, pesan ini tak berdasar. Dia tahu aku bukan pelaut. Dia tahu aku bukan ahli dalam menjala ikan. Dia tahu aku tidak punya kemampuan apa-apa yang berhubungan dengan lautan, berenang saja aku tak mampu di air tenang apalagi di air berombak garang. Ada-ada saja penulis pesan ini. Terlalu mengada-ngada tanpa bukti keaslian tabiat dan kemampuanku. Perahuku tak akan patah kemudi walaupun badai kencang mengaduk seisi lautan, aku tak punya perahu dan aku tak akan pernah jadi pelaut!

Kuletakkan pesan tersebut ke tempat asal. Pagi-pagi sekali selalu ada saja pesan di depan rumahku. Di teras. Dekat pot bunga melati mati tak mau hidup pun segan, sudah berulang kali kurawat tetap saja tak berbunga, layu saja tapi tidak kering bagai kurang perhatian dan gizi. Melati malang itu pagi sore kusiram dan kuganti isi pot dengan tanah bermutu, menurutku. Mulai dari kotoran kerbau, kambing, ayam, macam-macam penawar khas kampungku sudah kuusahakan agar melati mau tumbuh segar menghiasi teras.

Usahaku tetap saja. Melati ini loyo selemah-lemahnya bunga yang pernah kupunyai. Tak jauh dari pot melati, kugantung setangkai anggrek sebulan lalu. Tidak tahunya sekarang sudah berbunga, putih, segar, menawan di mata. Aku malah jadi kepikiran, melati ini ikut-ikutan stres memikirkan teman baru yang datang tiap pagi.

Siapa lagi kalau bukan gelas bening berbeda corak dan warna. Jika hari ini motif melati, besok berganti mawar, lusa anggrek, dua hari setelah itu melati lagi dengan warna lain. Gelas itu terus ada, tak tiap hari, tapi tetap ada di saat aku tidak ingin dia ada.

Mungkin, gelas itu tak datang tiap hari agar aku tak menunggu. Pernah aku menunggu dia datang, kutemani sepinya melati karena anggrek belum kupajang. Aku sudah tahu tabiat gelas itu. Dia datang pagi hari, tiap kubuka pintu untuk menyapu halaman dia selalu ada. Kuganti kebiasaan jadi lebih awal, kutunggu sambil membersihkan pot melati, mengelus-elusnya berharap berbunga rimbun. Seminggu, dua minggu, sampai sebulan gelas itu tak datang.

Aku menyerah, dan kalah. Saat aku tak menunggu, gelas itu terduduk manis di samping melati yang kembali pening dibuatnya.

Gelas bermotif ini itu, bersanding dengan pot hitam melati, di dalamnya terdapat gulungan kertas putih. Sebaris kalimat mengejutkan jantungku di pagi hari. Jarang-jarang aku mendapatkan kalimat menyenangkan, selalu saja kelimat waspada. Seperti hari ini. Masalah perahu. Kali saja pengirim gelas berisi kertas sebaris kalimat itu mau menghadiahkan aku perahu. Dan aku akan menjualnya sebagai modal usaha yang baru kujalani setengah jalan.

Jujur saja, hari pertama aku hampir pingsan menerima segelas pesan singkat itu. Bukan segelas sebenarnya, cuma secarik kertas digulung berisi sebaris kalimat, tidak penuh seperti gelas diisi air. Aku lebih senang mengatakan segelas, biar enak aku eja. Secarik kertas? Tak enak didengar. Segelas kertas? Baru enak, seenak hati pengirim pesan yang tak bisa mengucapkan salam di pintu rumah orang pagi hari.

Lama-lama, aku tidak jadi takut dan menganggap pesan itu biasa saja. Tak lebih dari gelas dan kertas. Aku malah jadi untung, gelas-gelas tak bertuan itu tidak pernah kukembalikan pada tempatnya usai aku membaca pesan. Enggan juga aku membalas pesan-pesan berantai itu, pasti tidak akan berujung.

Pernah kususun kelimat, hasrat hati meladeni pengirim pesan dan menaruhnya kembali di dalam gelas itu di samping pot melati malangku. Sekadar bertanya, siapa dia, perlu apa, maksud pesannya apa dan lain-lain. Belum lima menit aku berpikir membalas, aku malah sudah disibukkan dengan pekerjaan lain. Aku jadi lupa dan tak pernah membalas. Terakhir, aku putuskan, membalas pesan itu aku sudah ikut dalam permainan bodoh yang sengaja diciptakan oleh pengirim tak beralamat padaku.

Hari ini, pesan tentang laut dan perahu. Besok mungkin tentang gunung dan bahtera Nabi Nuh. Lusa bisa Nabi Musa dan tongkat pembelah lautan. Hari lain teori relativitas dan Eintein. Berikutnya kekerasan dan tokoh penting Hitler. Niel Amstrong dengan pesawat antariksa. Columbus dan pembajak laut. Sakura dan Jepang. Korea Selatan dan ginseng. Sabang sampai Merauke dalam lagu kebangsaan Indonesia. Terakhir kali bisa jadi Nabi Muhammad dengan al-Quran, sebagai penutup masa, selesai sudah barisan abjad jadi kalimat dan menuju kiamat!

Kuletakkan gelas itu di barisan gelas lain. Baris-berbaris sudah kuajaran pada gelas-gelas itu semenjak kukenal mereka. Siapa tahu, suatu saat mereka ikut terlibat dalam upacara bendera yang tidak pernah kulihat dirayakan semenjak aku di sini. Kutulis nomor urutnya. Tiga ratus lima puluh sembilan. Besok akan genap tahun pesan-pesan itu sampai padaku. Lebih setahun karena ada masa jeda saat aku mengintai dan pesan itu tak sampai. Sudah cukup modal aku menjual kopi panas dua ribu segelas.

Sebagai perkiraan, jika sehari semalam aku menerima pelanggan sebanyak lima puluh orang, aku akan mendapat banyak keuntungan. Dua ribu kali lima puluh! Lumanyan! Modal emosi aku menerima pesan berantai, aku yang akan berantai menerima keuntungan finansial!

Senyumku mengembang. Tak berselang detik, surut kembali. Tanganku bergetar. Kuperhatikan, tanganku sudah berdarah. Aku jadi bingung, tadinya aku masih menghitung berapa gelas yang baru kuterima, sekarang malah sudah mengiris bawang!

Ah! Hidupku selalu cepat berpacu. Kuburu waktu agar bisa kugapai ujung dunia yang belum kusinggahi, akan kunikmati indahnya dunia yang semakin tua.

Aku Melati. Melati yang wangi karena tiap pagi sore mandi. Melati yang segar tak layu seperti melati di teras rumahku. Nama lengkapku Ajeng Melati. Soal nama, aku tak ambil pusing. Tapi lama-lama aku kepikiran juga semenjak sadar ada kata Ajeng di depan namaku. Apalah kedua orang tuaku menggunakan kata Ajeng? Biar terkesan, ke mana-mana aku pergi ada status pulau Jawanya begitu?

Ada-ada saja tabiat orang tua. Aku tidak masalah dengan titel Ajeng di depan namaku. Cukup Melati saja. Di mana pun aku melangkah, aku selalu perkenalkan diriku Melati! Wanginya bisa menyegarkan suasana. Tentu saja di surat-surat resmi Ajeng Melati tetap kupakai, mau tidak mau!

Ajeng Melati ini sama seperti wanita kebanyakan. Tinggi satu meter tambah enam puluh lima sentimeter dengan berat badan tujuh puluh lima kilogram. Bayangkan saja bagaimana rupaku! Aku tidak mempermasalahkan bentuk fisikku, aku juga bukan wanita nakal yang butuh belaian pria tiap saat. Aku punya kesibukan tersendiri, setiap hari.

Karena fisikku yang kata orang standar dengan kulit sawo matang ini, heran pula aku masih ada saja pesan-pesan zaman primitif di dalam gelas setiap pagi di depan pintu rumahku.

Oh, aku baru ingat, bukannya dulu aku pernah menerima pesan-pesan bersambung begini?

***     

Segelas Pesan dan Darah Jawa di Tanah AcehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang