Segelas Pesan dan Darah Jawa di Tanah Aceh - Bagian 2

66 1 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandung, 1991

Halo-halo Bandung,

Ibu Kota kenangan!

Kota Bandung memang penuh kenangan. Semenjak Indonesia belum merdeka sampai diproklamirkan Proklamasi oleh Soekarno dan Hatta. Masih ingat isi Proklamasi kemerdekaan Indonesia?

Aku mengernyit. Sejak kecil aku memang sudah bandel, tidak mau sekolah. Sekeras apapun paksaan Papa, aku tetap saja malas berangkat ke sekolah. Aku tidak bercita-cita jadi Raden Ajeng Kartini yang sudah mengerluarkan ide cemerlang dalam mencerdaskan kaum wanita. Namaku memang ada sebutan Ajeng, tapi aku bukan pembela kaum wanita. Aku tidak mau sekolah, tanpa sekolah aku masih bisa bekerja. Papa kadang lupa, tetanggaku yang di samping rumah bahkan bisa beli mobil hasil kerja keras sampai luar negeri. Tanpa sekolah!

Lagi-lagi, hari ini aku kena hukuman berat. Bangun kesiangan; habis semalam nonton bola! Lari maraton mengejar waktu, karena Papa sudah menampakkan garang dengan uang saku di tangan. Tidak sekolah, tidak ada jajan. Aku yang terbiasa tidak masuk jam pelajaran tidak bisa melewatkan uang jajan.

Sampai di sekolah? Kumis tebal, badan bongsor, sepatu botak sama dengan kepalanya, berkacak pinggang menunggu kami di depan pagar.

Aku terlambat!

Pak Bram sudah berada di barisan depan, barisan selanjutnya jangan tanya. Kosong melompong. Tinggal kami yang terlambat saja, itu pun kalau ada!

Hari malang ini, bukan hanya aku saja. Ada di centil Pipi kelas sebelah, artis sekolah Dona, bahkan raja voli sekolah Tegar berdiri dengan tegar. Aku cekikikan, dalam hati. Paling tidak aku ada kawan ngakak setelah disetrap Pak Bram!

Sekali lagi gendang telingaku hampir bengkak mendengar suara Pak Bram!

"Siapa yang mau berlagak Soekarno di depan saya?" tanyanya penuh wibawa. Kami diam saja. Aku bahkan sudah lupa bait pertama Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Terakhir, aku hafal kelas enam sekolah dasar. Setelah itu, saat upacara bendera Senin, aku tidur di barisan belakang!

Kulirik Dona, mulutnya komat-kamit baca mantera. Entah apa yang dilafalkannya. Pipi diam menunduk dan Tegar memandang lepas ke lapangan voli. Hanya aku yang paling santai menghadapi Pak Bram.

"Kamu!" telunjuk Pak Bram mengarah di depan hidungku. Benar? Dia memang ingat wajahku, entah sudah ke berapa kali aku terlambat ke sekolah. Dua hari lalu, aku sendirian keliling lapangan voli. Tiga hari lalu, aku di jemur di depan tiang bendera karena sampai di sekolah usai upacara. Dan seminggu lalu, aku kedapatan lompat pagar saking paniknya Pak Bram sudah wara-wiri di depan sekolah.

"Saya, Pak?" tegasku.

"Lha! Siapa lagi? Kamu punya kembaran di belakang?" aku mengeleng. Naas tak akan lari ke mana. Baru lima menit lalu aku bahagia mendapatkan uang jajan, rencana mau bolos bersama perkumpulan wanita tomboi kelasku hilang sudah. Aku mendadak keringat dingin. Dona yang tadi berdoa panjang lebar iba memperhatikanku, Pipi menoleh dengan wajah pucat. Tegar membisik-bisikkan sesuatu, telingaku tidak sanggup mencerna.

"Ayo! Ucapkan dengan lantang!"

Aku berdiri, Tegar masih memberi aba-aba. Dona mengatupkan kedua telapak tangan, kupikir dia wanita paling cuek dan berlagak cantik tapi hatinya halus juga. Pipi mencari-cari sesuatu dari dalam tas, secepat kilat Pak Bram menyambar dan menyuruhkan jongkok kembali.

"Saya sudah hafal wajah kamu, tiada ada hari tanpa kata terlambat!" suara Pak Bram bagai halilintar. Duar!

"Proklamasi! Kami putra putri Indonesia, bersumpah, berjanji, berbahasa satu, tanah air satu, tumbah darah satu, semua bersatu!!!" Aku mulai nyerocos tak karuan. Pikiranku semrautan. Kulihat Pak Bram melotot. Dona dan Pipi tertawa kecil, Tegar menatapku penuh tanda tanya. Mungkin kasihan. Dalam hati, aku membenarkan ucapanku, tidak ada yang salah!

"Kamu ini benar-benar tak mencerminkan bangsa Indonesia! Sudah berapa lama Indonesia merdeka? Kamu masih belum memahami konteks nasionalisme, rasa cinta tanah air...." Aku sudah tidak mendengar lagi nasehat Pak Bram. Badanku rasanya berat sekali. Terik matahari membakar seluruh lemak tubuhku. Dona, Pipi dan Tegar seakan berubah jadi kupu-kupu, mengangkatku ke angkasa!

***

Kejadian memalukan bersama Dona, Pipi dan Tegar sudah berlalu. Aku pun sudah lupa akan hari itu, jika saja dalam ransel tidak kutemukan gelas kaca bening dengan secarik kertas di dalamnya, aku malah tak ingat pernah kenal dengan Tegar. Prasangkaku bisa benar bisa salah.

Selama ini, sebelum aku kenal Tegar, belum pernah aku menerima pesan-pesan macam begini. Setelah Tegar menjadi malaikat penolongku di hari malang itu, aku seakan ada yang perhatikan. Aku tidak boleh kepedean, mungkin saja bukan Tegar!

Hidup terus melaju, istirahatlah saat langkahmu letih!

***

Aku melangkah linglung. Baru saja aku mendapat kabar tak sedap. Kedua orang tuaku mengalami kecelakaan. Pak Bram yang biasanya galak kali ini tak banyak berkata apa-apa. Diam di tempat, sesekali melirikku yang duduk terpaku di bangku guru. Menunggu; entah siapa yang datang menjemputku.

Orang itu datang tiba-tiba, masuk ke kantor guru, berbicara sebentar dengan Pak Bram, menarik lenganku keluar. Sekilas kulihat beberapa guru mengatupkan mulut, Pak Bram menatap kosong ke arahku. Aku yang terbiasa dengan sikap tak peduli kini berubah jadi waspada.

Aku ikut saja langkah kaki orang yang mengajakku pulang. Suaraku tak mampu keluar untuk menanyakan sesuatu. Aku juga tidak mengenal pasti wajah penjemputku, mungkin tetangga sebelah rumah, mungkin juga bukan. Pikiranku sudah kalut, tentang nasih orang tuaku.

Aku belum bisa mencerna apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan. Pikiranku terlalu buntu memaknai setiap isakan orang-orang. Di depan rumah, kulihat orang berkerumun. Mereka menatapku dengan mata itu-itu saja. Tatapan iba. Kasihan. Kosong. Hampa. Tak dapat kulukiskan. Aku tidak perlu itu! Aku hanya perlu kedua orang tuaku. Papa dan Mama. Di mana mereka?

Aku berlari, menerobos keramaian, masuk ke rumah. Entah terpeleset, entah karena terkejut aku terjatuh di pintu masuk. Kulihat dua tubuh terbaring ditutupi kain putih. Tidak mungkin mereka Papa Mama! Mereka baru pamit padaku pagi tadi, hanya ke Jakarta menyelesaikan urusan bisnis mereka.

Sore hari mereka akan pulang setelah urusan selesai. Aku yakin mereka menepati janji, aku tahu mereka sangat menyayangiku, akulah satu-satunya harta paling berharga yang mereka punya!

Kusibak kain putih yang menutupi wajah keduanya. Dua wajah pucat. Tak kukenali. Aku meraba. Tanganku gemetar. Benarkah ini kedua orang tuaku? Bagaimana mungkin wajah mereka sudah tidak dialiri darah? Mereka pasti tertidur, sebentar lagi bangun dan menyapaku.

Kucari tempat bersandar. Tidak ada siapa-siapa di sampingku. Mereka semua diam. Mereka semua melihat kegetiranku dalam bisu. Toh, mereka tidak merasa apa yang aku rasa. Papa Mamaku sudah tiada!

***    

Segelas Pesan dan Darah Jawa di Tanah AcehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang