"Assalamu'alaikum, Mama,"
Dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan masuk dan langsung menghampiri Riana serta Marini.Ziya dan Gibran, dua anak Riana rupanya sudah pulang bersama putera bungsu Marini, Rio.
"Eh, kalian sudah pulang," sapa Marini, tangannya terulur menyambut Rio yang langsung duduk di samping ibunya.
Ziya dan Gibran, mendekati Riana lalu duduk di sisi kiri dan kanannya.
"Kita menginap, Ma?" Ziya mendongak pada Riana.
"Nggak," geleng Riana.
"Lho, katanya tadi mau menginap," protes Marini.
Riana tersenyum tipis. Awalnya dia memang berniat menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Namun, percakapannya barusan dengan Marini membuatnya enggan berlama-lama.
"Kalian, ganti baju terus makan, ya," usir Marini pada anak dan keponakannya. Ketiga anak itu menurut, langsung menuju kamar masing-masing untuk berganti baju.
"Bowo sudah memberi tahu alasannya?" tanya Marina hati-hati.
"Apakah itu penting?" Riana balas bertanya. Dia tidak menyembunyikan nada sinis dalam suaranya. Didengarnya Marini menghela napas. Kekesalannya bertambah-tambah. Kenapa kakaknya malah seolah menyalahkan dirinya karena tidak mau menerima keputusan Bowo.
"Kalau Kak Ibra minta izin menikah lagi, apa Kakak akan menerimanya begitu saja?" tuntut Riana, ditatapnya mata Marini lekat-lekat. Ada kilat kecewa di matanya.
"Poligami itu takdir," jawab Marini diplomatis, "meski kita tidak mau dan menolak sekuat tenaga, jika memang takdir suami kita poligami, maka itu akan terjadi. Begitupun sebaliknya," lanjut Kak Marini.
Riana mendengus, "Kakak bisa berkata begitu karena Kak Ibra tidak punya niatan sedikit pun untuk mendua."
Kembali terdengar helaan napas Marini. Tapi dia tak berkata apa-apa lagi. Rupanya dia tahu, diam adalah cara terbaik saat ini. Semakin banyak argumen yang dia sampaikan, semakin kuat kemarahan Riana.
Riana memalingkan wajahnya, telinganya menangkap ramai suara anak-anaknya yang sedang bermain. Mereka terdengar bahagia dan bebas, tidak tahu dan tidak mengerti keresahan yang sedang menghinggapi orang tuanya.
Mata Riana mulai mengembun. Anak-anaknya, apa tanggapan mereka jika tahu akan mempunyai ibu baru? Apakah mereka akan marah sepertinya? Ah, mereka masih terlalu kecil untuk terlibat persoalan orang dewasa. Namun, jika suaminya benar-benar melaksanakan niatnya, mau tidak mau anak-anaknya akan terseret juga. Membayangkannya, hati Riana semakin perih.
"Dua minggu lalu, Bowo kemari," Ujar Marini setelah mereka terdiam beberapa lama. "Dia bertanya padaku tentang masalah ini. Meminta izinku dan Mama."
Riana menoleh pada kakaknya, matanya melebar, "Mas Bowo meminta izin padamu? Istri Mas Bowo itu aku atau Kakak?" tanya Riana gusar.
"Dia tidak berani bicara langsung padamu, dia sangat mencintaimu." Lagi, Marini kembali membela Bowo, membuat Riana semakin gusar.
"Mencintaiku? Dia mencintaiku tapi ingin menduakanku? Cinta macam apa, itu?" Mata Riana menyipit, dia tak percaya kakaknya bisa berkata begitu.
"Yakinlah, suamimu benar-benar mencintaimu. Itulah sebabnya dia tak berani mengatakannya langsung padamu. Dia takut menyakitimu."
Riana menggeleng lemah, dialihkannya mata pada kakaknya yang juga menatapnya. "Dia sudah menyakitiku, saat dia memutuskan perkara ini tanpa bertanya padaku," ucap Riana pedih.
***
"Apa mungkin, seharusnya aku memang tidak perlu menikah?" gumam Sena lirih. Seolah kalimat itu diucapkan kepada dirinya sendiri.Tangannya mencabuti rumput yang tumbuh di dekat kakinya. Dia mendongak, menatap Abdul yang duduk di bangku tak jauh dari tempatnya duduk.
"Menikah itu sunnah Nabi," jawab Abdul bijak. Tangannya sibuk mengaduk nasi padang di hadapannya, lalu menyuapkannya ke dalam mulut.
"Kalau kamu tidak mau menikah dengan Kang Bowo, bilang saja. Tapi tidak berarti kamu tidak menikah dengan siapa pun." Abdul terdiam sejenak. "Ada banyak laki-laki selain Kang Bowo." Kalimat terakhir diucapkannya dengan pelan dan hati-hati, seolah khawatir Sena mendengarnya.
"Entahlah." Sena mendesah. "Bayanganku tentang pernikahan begitu menakutkan."
Abdul meremas kertas nasi yang sudah kosong, lalu menjilati jemarinya. "Tidak semua laki-laki itu buruk, Sena. Kamu boleh membenci bapakmu, tapi jangan membenci semua laki-laki."
Sena menuduk semakin dalam saat mendengar bapaknya disebut. Dadanya mendadak sesak. Laki-laki itu, dia yang menjadi andil kenapa Sena begitu membenci pernikahan. Perlakuannya pada Ibu membuatnya membenci laki-laki, terutama yang berstatus suami. Meski akhirnya hidup mempertemukannya dengan model suami yang baik, kebencian itu tidak serta merta luntur.
Dan, sekarang, dia terjebak dengan paksaan untuk menikah pun karena seseorang yang berstatus suami. Dia sungguh membenci kata itu.
"Aku mau kerja lagi."
Ucapan Abdul membuyarkan lamunan Sena. Cepat dia menghapus air mata yang sudah mengalir di pipinya. "Iya," ucapnya terbata.
Abdul menatap Sena yang duduk memeluk lutut di bawah pohon dekat tempatnya duduk. Rasa iba memenuhi hatinya.
Dia kenal Sena sejak mereka sama-sama bersekolah di SD yang sama. Saat itu, Abdul merasa penasaran karena Sena selalu datang ke sekolah dengan wajah seperti habis menangis.
Saat istirahat tiba, gadis cilik itu akan menghabiskan waktunya di bawah pohon, mencungkil tanah di dekatnya dengan ranting kecil, atau mencabuti rumput sambil melamun.Suatu hari, Abdul tak tahan lagi. Dia menghampiri Sena, lalu menyodorkan sebungkus mie goreng dan bakwan jagung.
"Buat kamu. Kamu lapar, kan?" tanya Abdul sambil berjongkok di depan Sena yang menatapnya dengan heran sekaligus takut.
"Aku beli di warung sana." Abdul menunjuk warung sekolah mereka. "Nggak beracun."
Sena menatap Abdul dan bungkusan daun yang Abdul sodorkan. Awalnya dia hendak menolak, tapi perutnya yang mendadak berbunyi membuat tangannya terulur tanpa sadar. Tak lama dia sudah menyantap mie itu dengan lahap.
"Nama kamu siapa?" tanya Abdul sambil memperhatikan Sena menghabiskan makanan yang dibawanya dengan rakus.
"Sena."
Sejak itu, Abdul sering menemui Sena di pohonnya. Awalnya sendiri, lalu dia membawa teman-temannya. Abdul membuat Sena mau membuka diri dan berteman dengan yang lain. Di semester berikutnya, Sena sudah bisa tertawa dan bermain bersama teman-teman perempuan lain di lapangan.
Saat itu, Abdul merasa tugasnya sudah selesai. Dia membiarkan Sena bahagia dengan dunia baru yang bahagia.
"Ya sudah, saya pulang dulu."
Suara Sena mengembalikan Abdul ke masa kini. Dia melihat Sena sudah bangun dan sedang menepuk-nepuk rok, membersihkan tanah yang menempel.
"Iya," jawab Abdul pendek.
"Makasih sudah mau dengar ceritaku." Sena tersenyum.
Abdul mengangguk dan mengangkat ibu jarinya. "Ngga usah sungkan."
Sena meraih tas selempangnya, lalu menyampirkannya di bahu. Dia sudah melangkah ketika Abdul memanggilnya. "Ya?"
Abdul menatap Sena sejenak. "Andai nanti kamu benar-benar menikah dengan Bowo. Terima itu sebagai takdir. Bowo orang baik. Semoga saja setelah itu, bayanganmu tentang pernikahan berubah."
Sena tersenyum simpul tapi tidak menjawab apa-apa. Dia kembali berbalik dan berjalan pulang.
***Alhamdulillah apdet lagi.
Oh ya, di cerita ini, sengaja saya ga menciptakan tokoh jahat. Jadi semua berjuang dengan sifat buruk masing-masing, karena sejatinya yang paling sulit adalah mengalahkan diri sendiri, ego kita sendiri (eeaa... Udah bijak, belum?)
Btw, no copas, ya. Share aja kalau mau :)
![](https://img.wattpad.com/cover/152649983-288-k275133.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JENDELA KEDUA (Proses Revisi)
Lãng mạnRiana menganggap kalau pernikahannya sempurna, suami yang baik, anak-anak yang lucu dan penurut, kehidupan yang tenang dan mapan. Apa lagi yang dia cari? Namun keluarga sempurnanya terancam kandas saat suaminya berkata akan menikah lagi. Riana terpu...