PART 13 (Revised)

11K 839 64
                                    

Harusnya pagi ini cerah. Setelah beberapa hari kemarin diawali hujan semenjak subuh, pagi ini matahati sudah terang benderang meski waktu baru menunjukkan pukul tujuh lewat. Sayangnya, hangatnya tidak berimbas pada Riana. Hatinya masih berasa dingin.

Riana membuka jendela samping yang menghadap paviliun. Jendela yang biasanya tidak pernah dia buka. Namun, sejak paviliun itu terisi, Riana kerap kali menengok lewat jendela itu. Memandang dan mencari tahu, di mana sang penghuni paviliun berada.

Di sana, pada hari-hari tertentu, Riana akan melihat Bowo keluar diiringi Sena. Tak ada ciuman selamat bekerja seperti yang biasa dia berikan pada Bowo setiap pagi. Sena hanya berdiri di teras, mengantarkan Bowo dengan pandangannya hingga mobil Bowo keluar gerbang. Setelah itu masuk kembali ke paviliun. Mungkin menyiapkan makan untuk Ibu, atau melakukan pekerjaan lainnya.

Ya, setelah menikah, Sena dan Ibu tinggal di paviliun. Pengelolaan toko beras milik Appa diserahkan kepada salah satu paman Bowo yang sudah biasa membantu. Sedangkan rumah Ibu dirawat oleh saudaranya yang lain.

Awalnya Riana berkeras agar Ibu tinggal dengannya di rumah utama, tetapi Ibu menolak."Ibu tidak mau mengganggu kamu. Takutnya kamu nanti nggak leluasa kalau Ibu tinggal di sana." Sekeras apa pun bujukan Riana, Ibu tetap menggeleng.

Akhirnya dia mengalah, meminta Bowo mempekerjakan seorang asisten rumah tangga untuk mengurus segala keperluan Ibu.

"Kan ada Sena," elak Bowo.

"Sena itu sekarang jadi istrimu, dia bukan ART seperti dulu," jawab Riana. "Jangan salah sangka. Kamu harus adil, jika aku mendapatkan Teh Ni, meski hanya sampai sore, untuk membantu pekerjaan rumah, maka Sena juga harus ada yang membantu," tegasnya saat melihat Bowo melebarkan mata menatapnya.

Tidak, Riana tidak sedang mengingkari hatinya sendiri. Tentu saja ada cemburu, karena dia mencintai suaminya. Bukankah cemburu adalah bumbu cinta? Bahkan istri Rasulullah pun pernah cemburu. Riana hanya tidak mau rasa itu menggelapkan mata. Bagaimanapun juga ini adalah jalan yang mereka pilih, jadi mereka harus berani menerima semua konsekuensinya.

"Baiklah, nanti aku cari orang untuk membantu Sena," putus Bowo, mencium kening Riana dan bergegas menuju mobil.

Namun, hingga tiga bulan berlalu, Bowo tidak juga membawa asisten rumah tangga untuk merawat Ibu. "Tidak mudah mencari orang untuk bekerja," alasan Bowo beberapa waktu lalu. "Lagipula, Sena tidak keberatan. Katanya daripada hanya bengong sepanjang hari, toh dia sudah terbiasa menyiapkan semua keperluan Ibu."

Riana tak menjawab. Entah mengapa, dia merasa Sena juga ikut andil dengan keputusan Bowo. Mungkin dia menolak usulannya. Dulu, Sena juga pernah mengatakan tidak perlu dibantu, saat Riana meminta maaf karena Bowo belum juga mendapatkan ART untuknya.

"Tak apa-apa, Teh. Saya sudah biasa, kok. Lagipula, kalau nambah orang, nanti malah jadi beban buat Kang Bowo," ujar Sena kala itu. Saat dia datang, mengantarkan semangkuk opor ayam yang masih hangat.

"Adil kan bukan berarti harus sama semuanya," kikik Sena saat Riana menjelaskan tentang keadilan Bowo sebagai suami. "Teh Riana kan sibuk, wajar perlu yang bantu. Apalagi sudah punya dua anak. Kalau saya, hanya merawat Ibu saja, nggak perlu dibantu."

Akhirnya Riana membiarkan usulnya terlupakan begitu saja.

"Mama, kita mau berangkat." Suara Ziya membuat Riana sedikit terlonjak. Dia mengalihkan pandangan dari jendela, tersenyum sambil menerima uluran tangan dua anaknya. Riana mengantarkan dua anaknya ke gerbang depan dan naik ke mobil jemputan, lalu menunggu hingga mobil itu menghilang di jalan raya.

Sebelum berjalan kembali ke rumah, diliriknya bangunan paviliun yang juga terlihat dari gerbang depan. Banyak yang berubah di sana setelah ditempati Sena. Dulu, teras itu kosong. Rumput liar sering menyemak di sepanjang jalur kerikil yang menjadi akses dari halaman depan ke paviliun. Meski tukang rumput langganannya berjanji datang satu bulan sekali, tetapi kadang dia terlambat bahkan sampai satu minggu, membuat rumput liar semakin tumbuh subur.

Kini, beberapa tumbuhan bunga terlihat mulai menampakkan kuncupnya. Rumput-rumput tak ada yang tumbuh hingga tinggi. Beberapa pot bunga juga menghiasi pinggiran teras, menambah asri suasana. Satu set kursi rotan ditempatkan di teras. Kursi tempat biasanya Ibu duduk.

Paviliun itu bertransformasi menjadi rumah kecil yang indah dan nyaman. Tak heran kini anak-anaknya pun senang bermain di sana. Membuat keduanya semakin lengket dengan Ibu, memberikan keceriaan di hari-hari Ibu yang muram selepas ditinggal Appa. Ah, syukurlah Ibu bersedia dibawa pindah kemari.

Mau tidak mau Riana bersyukur Ibu dan Sena pindah ke dekatnya. Selain dia tidak lagi khawatir dengan ibu mertuanya yang semakin sepuh itu, diakui atau tidak, kehadiran Sena sedikit banyak juga membantunya. Dulu dia selalu khawatir saat harus mengikuti pameran di luar kota pada hari kerja, karena tidak bisa membawa anak-anaknya, kini dia tinggal menitipkan mereka pada Sena. Lebih menentramkannya dibanding harus meminta Teh Ni menginap. Bowo acapkali protes jika ART-nya itu diminta menginap. Tak nyaman ada orang lain di rumah, Bowo memberi alasan.

"Teh."

Riana melambaikan tangan dan melangkah mendekati Sena yang berdiri di kebun kecilnya. Tangan Sena memegang sekop kecil. Rupanya tadi dia sedang berjongkok di antara tanaman perdu, entah apa namanya. Pantas Riana tidak melihatnya.

"Ibu lagi apa?" tanya Riana setelah berada di dekat Sena.

"Merajut. Tadi dari selesai sarapan, Ibu langsung merajut." Sena melangkahi pagar pembatas kebun dan berdiri di hadapan Riana. "Masuk dulu, Teh.

Riana menggeleng. "Tidak usah. Mau langsung ke galeri, mau ada tamu."

Sena membulatkan mulutnya dan mengangguk.

Riana memperhatikannya membuka sarung tangan dan topi berkebunnya. Ada rasa iri menyelusup. Jika dibandingkan dirinya, Sena punya lebih banyak keahlian. Berkebun, memasak, menjahit, bahkan mengurus rumah tangga. Sena juga lebih telaten merawat Ibu dan membersamai anak-anak.

Baru tiga bulan, dan Riana sudah merasa tersisih.

***
Sena menatap Riana yang menjauh, kembali ke rumah utama. Dia menghela napas. Sikap Riana memang tidak banyak berubah setelah pernikahan itu, tetapi ada kekakuan yang sulit dicairkan saat mereka berhadapan. Ada rasa canggung tak nyaman di antara keduanya. Perasaan yang membuatnya merasa bersalah.

Sena melepas sarung tangan berkebunnya dan berjalan masuk ke rumah. Dia mencuci tangan dan kaki dengan keran air di samping rumah sebelum naik ke teras.

Saat melewati jendela di ruang tengah, matanya melihat sosok Riana berdiri di balik jendela rumahnya. Menatap tepat ke arahnya.

Akhirnya bisa apdet lagi.

Selamat membaca :)

JENDELA KEDUA (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang