PART 7 (Revised)

10.4K 781 26
                                    

"Mungkin Mas Bowo memang mencintai Sena sejak lama," ucapan Riana terdengar seperti bisikan. Ada isak tertahan dalam suaranya. Dia mengalihkan pandangan ke arah anak-anaknya yang masih asyik bermain, mencoba menghalau air mata yang hendak menderas.

"Tidak mungkin," bantah Sumayya, "aku kenal Bowo, dia tidak mungkin mengkhianatimu. Kamu ingat kejadian dulu? Dia memilih resign untuk menjauhi atasannya yang suka padanya."

Riana menunduk, dia ingat kejadian itu, saat Bowo mengatakan hendak berhenti karena risih akan perlakuan atasannya yang baru. Namun, itu karena Mas Bowo tidak menyukai atasannya itu. Berbeda dengan Sena. Mereka kenal sejak kecil, berteman bahkan tinggal serumah. Bukankah cinta bisa hadir karena seringnya pertemuan?

"Lalu apa rencanamu?" tanya Sumayya lagi.

"Entahlah," Riana menunduk. Terus terang, dia tidak bisa mengartikan perasaannya. Dia marah, tentu saja, tapi juga sedih. Namun, di sisi lain hatinya terhina. Riana enggan untuk mengakhiri hubungannya dengan Bowo, namun juga tak terbayang untuk berbagi.

Untuk kesekian kalinya Riana menghela napas. Diperhatikannya anak-anaknya yang masih asyik bermain, tak terganggu dengan persoalan orang dewasa di sekitarnya. Ah, indahnya jadi kanak-kanak ucap Riana dalam hati.

Matahari mulai meninggi, namun sinarnya masih enggan keluar sempurna. Sisa-sisa hujan kemarin malam masih terasa, tanah basah, udara segar, dedaunan tengadah menangkap sinar matahari. Anak-anaknya tak terlihat akan berhenti bermain. Di depannya, Sumayya menatap jauh ke depan. Entah berapa lama mereka berdiam diri, tak ada yang berniat bicara lebih dulu.

Diam-diam Riana memperhatikan sahabatnya itu. Dan rasa iri menyelusup begitu saja. Alangkah beruntungnya Sumayya, meski belum dikaruniai anak hingga usia pernikahan yang menginjak lima tahun, tapi dia tak pernah melihatnya bersedih. Abid, suami Sumayya juga tak pernah menuntut istrinya untuk segera mengandung. Mereka selalu terlihat harmonis. Padahal, dulu Riana meragukan kelangsungan pernikahan mereka.

"Mana mungkin menikah tanpa diawali rasa cinta?" Riana tertawa ketika suatu hari Sumayya memberikannya sebuah undangan.

"Cinta akan hadir setelah menikah," jawab Sumayya sambil tersenyum. Diletakkannya undangan di atas meja, lalu duduk di hadapan Riana.

Riana mendengus, jawaban Sumayya terlalu naif baginya. Bagaimana mungkin kita bisa hidup dengan seseorang yang tak pernah ada dalam hati kita sebelumnya.

"Apa tujuanmu menikah?" tanya Sumayya.

"Membangun rumah tangga dengan orang yang kita cintai sepenuh hati." Riana mengangkat dagunya. Dia yakin itu tujuannya menikah dengan Bowo. Dia mencintai Bowo, begitupun sebaliknya. "Kamu?" dia balik bertanya.

"Menikah itu ibadah, aku menikah karena Allah yang memerintahkanku untuk menikah, dengan contoh Rasul-Nya yang mulia."

"Tapi bagaimana mungkin kamu menikahi seseorang yang tak kamu kenal?" tuntut Riana. Ah, Sumayya terlalu polos. Bagaimana bisa dia percaya seorang pria hanya dari beberapa lembar biodata.

"Insyaallah aku mengenalnya. Sebelum menikah aku mencari tahu siapa dia, keluarganya, sifatnya, kegiatannya. Mungkin masih banyak yang tak kuketahui, tapi Allah yang membuatku yakin untuk menerimanya."

Tawa Riana kembali menyembur. Ah, semoga temannya ini tidak menyesal akan pernikahannya.

Ternyata yang ditakutkannya tidak terjadi. Sumayya bahagia dengan pernikahannya, kini, dia lah yang pernikahannya dipertanyakan. Padahal dia menikah karena cinta.

"Kamu benar," gumam Riana

Sumayya, yang sedang memainkan bunga plastik dalam vas di atas meja, menoleh, "Apanya?"

"Tentang pernikahan."

Sumayya mengerutkan keningnya, menatap Riana meminta jawaban lebih.

Riana membuang muka sebelum melanjutkan, "Pernikahan dengan cinta tak menjamin utuh hingga akhir," ucap Riana. Ada pedih yang tak bisa dia sembunyikan dalam suaranya.

Dia tidak bisa lagi menahan tangisannya saat Sumayya meraihnya dalam pelukan. Dia tergugu, ketegarannya selama ini runtuh sudah. Riana merasa kalah sekaligus malu. Pernikahan yang selalu dia banggakan, terutama di hadapan Sumayya, kini berada di pinggir jurang. Entah, apakah Riana sanggup menahan dan menariknya ke tempat yang aman atau tidak.

"Ini bukan masalah benar atau salah, karena pernikahan bukanlah untuk diperdebatkan. Jangan bandingkan pernikahan kita dengan orang lain. Setiap orang menjalani takdirnya masing-masing. Yang penting sekarang, apa yang harus kamu lakukan untuk menyelamatkannya?"

Riana menggeleng di tengah tangisannya, "Aku tak tahu..." keluhnya, bahunya masih terguncang. Air matanya tak mau berhenti mengalir.

"Menangis saja dulu, biarkan semua emosimu meluap agar kamu lega." pelukan Sumayya semakin erat. Dia membiarkan Riana larut dalam perasaannya.
***

Bowo melemparkan ponselnya ke sofa dengan frustasi. Sebanyak apa pun dia mencoba, Riana tetap tak bisa dihubungi. dengan gusar dia merenggut kembali ponselnya dan menghubungi sebuah nomor.

"Halo, Sena. Saya ke sana sekarang. Ada yang harus kita bicarakan."
***

Sena menatap ponselnya yang sudah mati. Barusan Bowo meneleponnya dan hanya menyebutkan satu perintah singkat: temui dia untuk bicara. Namun, Sena tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Kenapa menyesal selalu belakangan?" keluhnya pada diri sendiri. Tak urung dia berdiri dan bersiap-siap.

Tak berapa lama setelah Sena berdiri di pinggir jalan untuk menunggu angkutan umum, sebuah motor berhenti di depannya. Pengemudinya membuka helm. Abdul.

"Mau ke mana?"

"Ke Alun-Alun," jawab Sena pendek. Terus terang, kali ini, Abdul adalah orang terakhir yang ingin dia temui. Bertemu dengan Abdul selalu mengusik dirinya untuk bicara banyak, mencurahkan semua kegundahannya.

"Aku antar," tawar Abdul pendek. "Tapi kita ambil helm dulu di toko, ya?"

Sena hanya bisa mengangguk. Semoga Abdul tidak bertanya hendak apa dia ke Alun-Alun.

Dalam perjalanan, Sena bersyukur Abdul tidak bicara apa-apa. Namun, rasa leganya tak bertahan lama. Baru saja dia mengucao syukur, suara Abdul terdengar di antara deru kendaraan.

"Ada perlu apa ke Alun-Alun?"

"Eh, bertemu teman," jawab Sena pendek.

"Kang Bowo?" tembak Abdul sambil melirik Sena lewat kaca spion. "Membicarakan masalah kemarin, ya?"

Terkadang Sena curiga Abdul punya indera keenam. Lelaki itu selalu bisa menebak dengan tepat apa yang ada di pikirannya sebelum Sena mengatakannya.

"Kalau kamu tetap merasa tidak nyaman, lebih baik dibatalkan saja sejak sekarang," saran Abdul ketika tak juga terdengar suara Sena.

Sena masih bungkam. Andai menolak semudah itu. Dia pernah mencobanya berulang kali. Namun, Bowo tetap dengan keputusannya. Hanya ada satu cara lagi yang bisa dia lakukan. Cara yang sama saat dulu, mereka pernah menikah siri karena dipaksa oleh Bapaknya.

***

Alhamdulillah... Cepet kan apdetnya? 😁😁😁

JENDELA KEDUA (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang