Mengulang Tahun

119 8 0
                                    

Matahari terbenam saat itu, terganti oleh lampu-lampu kecil yang tegantung di atas ranting- ranting kayu. Balon karet hitam putih mengembung dan mengambang di sudut-sudut taman. Rumput hijau di belakang rumah itu tercukur rapi sejak dua hari yang lalu, hanya untuk acara ini. Meja-meja bundar yang tertutup kain putih tertata rapi di halaman lengkap dengan bunga dan lilin aroma terapi. Kue ulang tahun terpampang bagai primadona di atas altar. Alunan serenade terdengar dari sekelompok orang yang sudah menikahi alat-alat musik. Harmoni bertemu simfoni, malam bertemu kenangan, harapan bertemu keinginan. Ia ingin hari disaat umurnya bertambah itu menjadi istimewa.

Gaun itu lebih seperti pakaian musim semi, berwarna kuning redup dengan corak bunga yang terlihat serasi. Matanya bersinar disaat ia tersenyum menyalami teman-temannya yang datang. Beberapa membawa kado, beberapa  hanya membawa doa dan perut kosong. Tidak begitu banyak yang diundang, hanya beberapa kerabat dekat dan sanak saudara. Taman di belakang rumah itu berubah hangat. Kursi-kursi putih itu sudah ada yang menduduki. Umur kue ulang tahun tidak akan lama lagi.

Altar yang diubah menjadi panggung kecil itu dipenuhi oleh bunga mawar merah. Dan disana sudah berdiri seorang wanita dengan gaun kuning, memegang sebuah microphone. Ia menyapa teman-temannya yang terlihat rapi dengan jas dan gaun mereka. Tidak peduli hasil meminjam atau buat sendiri. Ucapan selamat datang itu tetap sama.

Tidak butuh waktu lama sampai acara itu dimulai. Tidak perlu banyak waktu sampai mereka mulai berbicara, menyapa, bahkan bercerita. Malam itu bagai malam reuni yang bukan hanya mengumpulkan mereka saja tapi membawa balik juga kisah-kisah indah disaat SMA dulu.

“Ginanjar!” seseorang memanggil namaku.

Karena tidak terlalu yakin apa yang ia ucapkan setelah memanggilku. Aku hanya menoleh, melambaikan tangan dan memberi isyarat ‘OK” dengan jariku. Aku tidak ingin berpaling dari kursi yang aku duduki. Posisi ini adalah posisi yang sama saat aku mengenalinya, kursi paling belakang dan tidak terlihat jika tidak ada yang  menengok. Terlupa jika tidak ada yang mengingatkan. Dan aku menyukai itu bukan karena aku tidak percaya diri, aku hanya tahu posisiku saat ini.

Tidak pernah aku merasa begitu gelisah sampai harus membenarkan jaket kulitku yang sebenarnya sudah rapi sedari tadi atau meneguk air putih saat aku tidak haus.  Yang aku lakukan sekarang hanya duduk menunggu. Beberapa orang menelanjangiku dengan tatapan mereka yang menganalisa. Mungkin dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:  Siapa laki-laki itu? Siapa dia? Kenapa dia sendiri? Dia nggak punya jas? Aku tidak heran, orang-orang itu masih memiliki sifat kemanusiaan karena tidak sampai menganggapku makhluk dari dunia lain. Beberapa mencuri-curi pandang dan berbisik kepada temannya yang lain. Sampai detik itu belum ada kata yang terucap dari mulutku. Senyuman adalah satu-satunya alat komunikasi yang aku kuasai.

Musik sedikit jazz itu menuntun mataku untuk terpejam. Aku coba nikmati setiap denting irama piano, setiap lengking indah saxophone atau tabuhan merdu drum yang mugkin bisa membuatku lebih menikmati malam ini. Aku tidak tersadar sampai seorang pelayan party organizer memberiku hidangan pembuka. Kulihat beberapa tamu kembali duduk ke kursinya. Di meja kayu bulat berbentuk lingkaran berbalut kain putih itu aku masih duduk sendirian. Setidaknya ada tiga kursi kosong di mejaku yang belum terduduki. Tidak lama, seseorang datang menghampiriku, wajahnya ceria dengan senyum yang percaya diri. Pakaiannya terlalu terbuka untuk sebuah acara ulang tahun. Gincu di bibirnya terpoles rapi berwarna merah terang. Wanita itu benar-benar percaya diri.

Ia duduk berhadapan denganku, menaruh tas kecilnya di atas meja. Lalu menoleh ke arah altar tanpa menghiraukanku. Beruntung bagiku, aku tidak perlu berbicara. Musik jazz mendadak berhenti. Aku lihat wanita bergaun kuning mengatakan jika acara makan malam dimulai. Setelah itu ia pergi ke kursinya. Sepintas, aku melihatnya menatap mataku. Mata kita bertemu. Hanya itu. Ada sesuatu yang ingin aku utarakan. Dan penantianku hampir sempurna.

TACENDA (Kumpulan Cerita Pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang