Bagian XI

365 26 2
                                    

Come, yg baca boleh kasih dulu ➡🌟🌟🌟

Happy Readings.... :D

###

"apa yang kalian lakukan disini!?"

Attaya terkejut saat mendapati seorang nenek tua yang tiba-tiba berada didepannya. Tubuhnya yang masih tegap meskipun sudah mengalami penuaan berdiri tanpa memegang apapun. Kedua pasang jari telunjuk dan jari tengahnya siap menjurus ke suatu arah. Salahsatunya Zee yang sudah tergeletak tak sadar diri.

Attaya dengan otak lambatnya masih mencerna kejadian itu. Saat dirinya akan menjadi sasaran selanjutnya, Attaya ditarik Devan untuk merunduk ke bawah, menghindar dari tusukan jari si nenek tua itu.

"siapa kalian! Apa yang kalian lakukan di pondokku!"

Attaya beringsut mendekat kearah Devan, bersembunyi dibalik tubuh tegapnya.

"tunggu sebentar. Kami datang kesini dengan maksud baik." jelas Devan sambil mencoba memegang kedua pergelangan tangan nenek itu. Hap! Devan menangkapnya.

Tapi nenek tua itu terlalu kuat untuk seorang nenek. Karena Devan memegangnya pelan tak ingin melukai, mudah saja untuk nenek tua itu melepaskan tangannya.

Se-persekon kemudian, Devan terduduk lemas. Tidak sampai membuatnya tak sadarkan diri, tapi untuk berdiripun Devan tak bisa. Dengan jatuhnya Devan, itu berarti mudah saja untuk menangkap Attaya yang baru tersadar kalau dia sudah dalam masalah.

Kali ini kedua tangan Attaya yang menjadi sandera. Attaya meringis nyeri, kedua pergelangan tangannya dipegang erat oleh nenek tua itu.

Tapi tiba-tiba tangan kiri Attaya terlepas, sekarang pergelangan tangan kanannya yang diraba-raba.

"kau sang pena?" suara getar si nenek tua terdengar lirih di telinga Attaya. Yang ditanya semakin menegang tubuhnya.

"iya.. Di..a.. Sang-Pe..na." sekalipun terdengar terbata, Devan menjawabnya dengan tegas. Namun tetap tak didengar oleh si nenek tua yang justru kembali menyuarakan pertanyaannya.

Attaya menatap Devan yang langsung dibalas anggukkan kuat-kuat dengan kepalanya. "i..ya." cicit Attaya yang langsung membuat si Nenek tua itu berseru pasrah.

"astaga.."

VoV

"sudah lama sekali aku mengharapkan kedatanganmu Pena. Selalu ku yakinkan hatiku untuk menunggu mu. Terus terang saja, aku terlalu tua untuk menunggu bukan?"

"aku tak pernah mendapat berita apapun tentang dunia ini pena. Sebaliknya juga aku tak bisa mendapatkan berita itu, terlalu jauh dari pondok kecil ku ini. Jadi kuhabiskan waktu untuk menunggumu dengan berkeliling disekitar pondokku saja."

"aku minta maaf telah menyerangmu tadi, ku kira kau adalah para penzarah cacingan. Kau dan kedua pengawalmu akan mengambil harta berhargaku. Harusnya mereka tahu, barang berharga apa yang sesuai untuk pondok yang hampir roboh ini. Ahh.. Sekali lagi maafkan aku Pena."

"tidak apa nyonya. Salah kami karena lancang memasuki halaman rumahmu tanpa dipersilahkan. Maafkan kami." Attaya berucap sambil menundukan badannya. Semuanya sudah kembali normal, Zee dan Devan sudah diobati sesaat setelah nyonya Key-Nenek Tua- mengetahui dirinya adalah sang pena.

"itu lebih baik daripada menunggu diluar. Ngomong-ngomong panggil saja aku nenek Key, panggil aku demikian. Tubuhku terlalu layu untuk dipanggil nyonya. Itu tidak lagi cocok." ucap nenek Key memperkenalkan dirinya.

"kalau begitu, panggil aku Attaya. Karena namaku Attaya." balas Attaya seblum menyesap teh hijau dalam cangkir kecilnya.
Nenek Key sesaat terdiam, tapi tak lama mengangguk menyetujui.

Sebenarnya, Attaya tak yakin nenek tua itu mengetahuinya dengan benar atau tidak. Iris matanya yang kulai memutih selalu bergerak tak bersamaan. Belum lagi saat berbicara dengannya, arah pandangannya tidak kepada Attaya. Jadi, bagaimana nenek Key tahu, kalau sang pena itu adalah dirinya.

"aku mengetahui dirimu dari tanda di pergelangan tanganmu." jawab nenek Key seakan mengetahui pertanyaan dalam benak Attaya. Ah, Attaya baru ingat kalau dia punya tanda bulan sabit pada pergelangan tangan kanannya.

"dulu, saat cerita ini masih berlanjut. Aku adalah seorang tabib yang hendak akan dipanggil ke istana. Sore itu aku dijemput oleh beberapa penjaga kerajaan untuk bergegas pergi ke istana. Tapi ditengah perjalanan tiba-tiba seseorang menyerang kami, hari yang sudah malam menyulitkan para penjaga untuk melawan. Membuat mereka kesulitan saat aku berteriak minta tolong." Nenek key menyeruput teh hijau miliknya, membuat suasana lengang sesaat. Seakan tahu apa yang Attaya cari untuk datang ke gubuk kecilnya, nenek Key segera melanjutkan ceritanya.

"Naas. Mataku yang saat itu terbuka lebar-lebar habis terkena entah cairan apa yang mereka siram. Membuatku tak bisa melihat." Attaya mendengarkan dengan seksama. Menyimpan informasi itu kedalam otaknya. Apalagi hanya ada dirinya dan Nenek key diruang tengah ini, sedangkan Zee dan Devan sedang beristirahat karena efek obat dan serangan-yang sebelumnya- Nenek Key berikan.

"seiring berjalannya waktu tanganku-kulitku semakin peka dengan apa yang kurasakan. Telingaku lebih tajam saat mendegarkan, dan penciumanku semakin tajam. Mungkin aku memang tak bisa lagi melihat, tapi semua itu setimpal dengan apa yang kudapatkan sebagai gantinya."

"apa yang nenek inginkan saat aku melanjutkan cerita ini?" tanya Attaya langsung pada tujuannya.

Nenek Key tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "aku tidak menginginkan apapun, aku hanya ingin kau segera melanjutkan cerita ini hingga selesai."

Attaya melipat dahinya heran, ia banyak menemui orang-orang dan sebanyak itu juga mereka mengatakan apa yang mereka inginkan untuk kelanjutan cerita-hidup mereka. Tapi nenek Key bilang ia tidak menginginkan apapun?

"nenek tidak mengingikan apapun? Seperti bisa melihat lagi misalnya??"

Sekali lagi, nenek Key menggeleng. "tidak Attaya, aku tidak menginginkan itu. Tapi saat kau membuat bisa melihat lagi, aku menerimanya. Aku akan menerima hasil apapun yang kau tuliskan Attaya. Ini cerita mu dan hanya kamulah yang tahu sebagus apa cerita ini berakhir."

"karena kau sang pena, maka kau yang menentukan Attaya." jawab nenek Key mengakhirinya dengan tersenyum.

VoV

Attaya menatap langit malam untuk didepan halaman pondok nenek Key. Dengan pohon-pohon yang berjajar tinggi mengelilinginya, juga suara-suara binatang dalam hutan yang memecah keheningan malam, membuat pengalaman mengamati malam yang berbeda untuk Attaya. Tetap mengagumkan meski dengan suasana berbeda.

Sayangnya tak bisa membuat Attaya untuk hanya menikmati malam itu.

"apa yang sedang kamu pikirkan Attaya?" Attaya menengok melihat Devan yang mengambil tempat didekatnya. Persis disampingnya.

"lo gak tidur?" tanya Attaya mengalihkan. Yang langsung dibalas dengan gelengan di kepalanya. "harusnya lo tidur lagi, mungkin tubuh lo masih butuh istirahat buat pulang besok pagi."

"apa yang kamu pikirkan Attaya." sayangnya Devan sama sekali tak mengindahkan saran Attaya. Membuat usaha Attaya untuk tidak membahas masalahnya, sia-sia.

Dan Attaya juga sadar, ia membutuhkan seseorang untuk membuang semua beban dipundaknya. Ia juga tahu, bahwa pria disampinya itu pasti akan mendengarkan keluh kesahnya. Tapi Attaya ragu, apa Devan masih menginginkan untuk mendengar ceritanya kali ini, cerita yang berulang-ulang kali sudah Attaya sampaikan. Cerita yang sebenarnya hanya bersumber dari satu masalah. Kepesimisan-nya.

"banyak." jawab Attaya, memutuskan bercerita.

###

Terimakasih 🙏🙏🙏
Commentnya boleh, sekalian😁

Mimpi (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang