Aku mengenal semua anak 12 IPA 3, paling tidak teman bertukar sapa saat bertemu di dalam atau di luar sekolah. Tapi tidak dengan Satria. Tingkah lakunya sangat aneh. Dia bukan tipe orang yang di-bully. Dia tampan, penah mengikuti olimpiade tingkat nasional, juara umum bahkan berbakat di seni lukis. Dia selalu menggunakan earphone dimana pun dan kapan pun. Tidak pernah ku lihat senyum terpasang di wajahnya. Sekali pun. Jika berjalan, pandangan matanya selalu mengarah ke depan dengan tatapan kosong. Aku sering kali terpikir, apakah dia kesurupan? Tapi setelah berpapasan dengannya berkali-kali, aku menjadi paham bahwa memang begitulah tatapannya.
Aku barusan keluar dari ruang guru. Bu Ratna, guru matematika menitipkan padaku buku tugas anak 12 IPA 3 untuk diantarkan ke kelas mereka.
Ku terlusuri koridor lantai satu menuju tangga. Saat menaiki tangga menuju lantai dua, ku lihat Satria. Seperti biasa, dengan earphone dan pandangan yang kali ini menunduk.
"Satria!" Panggilku. Tapi sang tokoh yang dipanggil tidak menoleh juga.
Ku kejar dengan langkah yang sedikit cepat hingga hampir menyamai langkahnya.
"Satria!" ku panggil lagi tapi sekali lagi, sang satria tidak menoleh.
Kali ini ku samakan langkah kakiku dengannya.
"Oy!" Bentakku.
Satria sedikit terkejut dan segera melepas earphone yang terpasang di telinga kirinya.
Tatapan matanya seolah mengatakan "ada perlu apa."
Ku balas dengan raut muka cemberut. "Kamu itu ya, aku panggil dari tadi gak denger-denger juga. Nama kamu bener Satria kan.?" Jeda sesaat sambil ku teliti name tag di sebelah kanan seragam putihnya. "atau kamu pake baju orang lain?"
Dahi Satria megerut yang mengisyaratkan bahwa dia kebingungan. "Maaf, aku gak denger dan ya, nama aku Satria." Jawabnya sambil menunjukkan senyum tipis. "Ada perlu apa?"
"Ini, buku tugas kalian dari bu Ratna." Kataku sambil menyodorkan tumpukan buku yang lumayan banyak. Aku langsung berlari menuju kelasku karena bel masuk sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu.
"Makasih!" Teriak Satria.
...
Hari Minggu. Aku sedang menonton televisi di ruang keluarga. Teriakan mama menginterupsiku dari kegiatan rutin minggu pagi.
"Hani. Tolong beliin buah di toko yang baru buka kemarin. Kata ibu-ibu sih buahnya bagus-bagus, manis-manis gitu."
"Yah mama, kenapa gak abang aja sih." Rengekku.
"Abang kamu ada kegiatan di kampus, barusan aja pergi."
Mau tidak mau aku harus keluar dan membeli buah di toko baru itu. Setelah lima menit bersiap-siap, aku langsung mengeluarkan motor dan pergi menuju toko baru.
Setelah tujuh menit perjalanan menggunakan motor, akhirnya aku sampai. Pertama kali yang aku lihat adalah Satria. Saat aku akan memanggilnya, aku melihat alat bantu pendengaran terpasang di telinga kirinya. Ku urungkan niatku. Perdebatan panas hinggap di dalam hatiku. Apakah aku harus masuk ke dalam dan menyapanya atau aku pulang ke rumah saja dan mengatakan kepada mama bahwa tokonya belum buka.
Jika aku masuk, dia pasti mengenaliku walaupun aku menyapanya atau tidak, lalu dia akan merasa malu dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelahnya.
Jika aku langsung pulang dan mengatakan kepada mama bahwa tokonya tutup sama saja aku berbohong dan menjadi anak durhaka. Hah, mungkin pilihan kedua lebih baik sekarang.
Saat aku akan berbalik dan melangkahkan kaki menuju parkiran teriakan seseorang menghampiriku.
"Oy, Hani adeknya Adrian." Ku lihat seseorang bertubuh subur sedang mengantongi buah apel.
"Ada apa kak?" jawabku sambil memaksakan senyum. Ku lihat ke arah Satria, dia melihatku dengan wajah kaget. Langsung ku alihkan pandanganku menatap lawan bicaraku.
"Adrian udah pergi ke kampus ya dek?" Tanya kak Juan sambil melahap apel.
"Sudah kak, mungkin sekitar setengah jam yang lalu." Jawabku.
Setelah mendengarkan jawabanku, kak Juan mengucapkan terima kasih dan langsung pergi dengan motor besarnya.
...
Seminggu setelah kejadian di toko buah, aku berusaha menghindari Satria. Sepertinya Satria menyadari sikapku, sehingga saat berpapasan di kantin, dia mengajakku untuk berbicara.
Kami duduk di taman, di bawah pohon besar.
"Hani, aku tahu kamu lihat aku pake alat bantu pendengaran. Aku gak perlu dikasihani. Fakta bahwa aku gak cukup berani pake alat itu di sekolah adalah karena aku masih belum siap bagaimana nantinya, lingkungan sekolah ngelakuin aku. Contohnya kayak kamu sekarang. Aku ngerti kalo kamu gak tahu mau bersikap gimana sama aku tapi itu agak ganggu pikiranku."
Aku menyimak dengan pandangan tertunduk. Satria memejamkan mata sambil mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya sebelum melanjutkan penjelasannya.
"Pendengaran sebelah kiriku terganggu karena kecelakaan waktu aku kecil. Gara-gara kecelakaan itu juga, saudara dan ibuku meninggal." Ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Aku mendongakkan kepalaku menatap Satria. Matanya sedikit memerah.
"Kalau kamu gak mau cerita gak usah dipakasin." Tanganku terjulur mengusap punggunya.
Dia menangis dengan menundukkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan tangan. Dia melanjutkan ceritanya masih dengan suara yang bergetar.
"Kamu tahu Han, kamu satu-satunya siswa di sekolah ini yang tahu kondisi aku sekarang. Terserah kamu mau nyimpen rahasia ini atau gak. Aku gak peduli nantinya kalo kamu mau jadiin aku bahan gosipan."
Jujur, aku sedikit tersinggung dengan ucapannya. Jadi, dia menyamakanku dengan siswi lain.
"Sat, sebelumnya makasih karena kamu sudah mau berbagi cerita sama aku. Tapi kamu harus percaya kalo aku gak sama ya dengan anak lain yang suka nge-gosip. Jujur aku gak bisa bayangi gimana kalo aku yang ada di posisi kamu. Tuhan ngasih kita kelebihan dan kekurangan. Kamu harus sadar itu. Kamu gak tahu, aku iri banget sama kamu yang bisa bawa nama sekolah buat olimpiade tingkat nasional. Banyak banget yang pengen di posisi kamu sekarang, ganteng, juara kelas, anak olim, pinter lukis lagi." Ucapku sambil tersenyum.
"Kamu pernah denger, ada yang pernah bilang 'Lakukan apa pun yang membuatmu bahagia dan jangan pedulikan apa yang orang lain pikir'."
Setelah aku menyelesaikan kalimatku, Satria menatapku dan menampilkan seyumnya.
"Makasih Han." Ucap Satria.
-Fin
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories Draft
Ficção GeralKumpulan cerita oneshot. Tiap part tidak (atau mungkin) berhubungan. Cocok untuk kalian yang males nunggu cerita yang berpart-part.