We Met

16 3 4
                                    

Menurut  penelitian yang dilakukan oleh sebuah universitas di Inggris, usia dimana manusia paling bahagia adalah saat berumur 23 dan 69 tahun. Dan tahun ini, aku akan memasuki usia 23 tahun. Usia dimana seseorang akan memasuki fase kehidupan baru. 

Sebelumnya perkenalkan, namaku Qabeela Ayudia. Seperti yang sudah ku beri tahu di awal, aku berusia 23 tahun. Tiga bulan lalu aku baru saja menyelesaikan studiku di salah satu universitas terkemuka di Selandia Baru. Besok adalah hari pertamaku bekerja. Aku diterima di salah satu perusahan asing yang bergerak di bidang IT  dan menjadi bagian dari divisi Marketing.

Banyak teman-temanku yang secara terang-terangan mengaku iri dengan diriku. Mereka bilang aku cantik, pintar, lulusan universitas ternama dan hanya menganggur sekian bulan langsung dapat pekerjaan di perusahaan terkemuka dengan daya saing yang sangat ketat. 

Banyak mereka hanya melihat bagaimana tampilanku dari luar. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya aku sangat iri dengan mereka yang dianugrahi keluarga bahagia serta ada seorang yang spesial yang senantiasa mendukung mereka. Sejak di Sekolah Dasar, aku tidak pernah merasakan kehangatan keluarga secara utuh. Kedua orang tuaku sibuk bekerja. Aku lebih sering dititipkan di tempat nenekku. Sejak nenekku meninggal saat aku kelas 4, aku merasa dunia hampa. Tidak ada lagi orang yang bisa kusandarkan, seseorang dimana aku bisa menyampaikan keluh kesalku. Sampai suatu hari aku bertemu dengan  Rashad Anugrah, seseorang yang saat itu menemaniku menangis di Rumah Sakit saat nenekku meninggal. Usia kami terpaut lima tahun. Waktu itu ia kelas 9 Sekolah Menengah Pertama. 

Aku sendirian di pojok taman Rumah Sakit. Bibiku sudah mengabarkan kedua orang tuaku tentang kematian nenek. Aku kesal, kenapa mereka tidak disini saja menjaga nenek dan meninggalkan sejenak pekerjaan mereka. Aku mencoba menahan tangisku tapi tidak bisa. Aku luapkan kesedihanku di pojok taman Rumah Sakit ini, Sampai datanglah seorang anak laki-laki dengan baju kotak-kotak menghampiriku. Dia memberiku Permen dan Roti isi keju.

Ia mengenalkan dirinya dan menjelaskan bahwa dirinya disini menemani ayahnya yang sedang sakit, tapi ia keluar untuk mencari udara segar. Lalu dia menanyakan alasanku menangis, setelah mendengarkan ceritaku, ia mencoba menenangkanku. Kami mengobrol dan dia banyak menceritakan hal-hal bodoh yang pernah ia lakukan. Aku melupakan kesedihanku sejenak. Setelah malam itu, aku sama sekali tidak pernah lagi bertemu dengannya. Dia membuatku merasakan hal-hal yang berbeda, hal yang tidak pernah aku dapatkan dari seseorang pun selain nenekku. Rasanya dipedulikan, ada yang mendengarkan cerita dan dihibur.  

Lagi, aku selalu teringat kenangan itu di setiap hari peringatan kematian nenekku. Ya, hari pertamaku bekerja bertepatan dengan hari kematian nenekku. Bayang-bayang akan sosok Rashad dengan senyum manisnya serta sapuan lembut tangannya di pipiku masih terasa walau sudah berlalu belasan tahun yang lalu. Ngomong-ngomong aku tinggal sendirian di Ibu kota nan metropolitan ini, Orang tuaku tinggal terpisah denganku dan mereka sudah pensiun dari urusan perusahaan. Perusahaan orang tuaku dilanjutkan oleh Kakak laki-lakiku, Azedine Akbar. Aku dan kakakku terpaut usia 12 tahun. Saat aku kecil, kakakku selalu sibuk di sekolah ataupun universitas dengan urusan belajar dan organisasinya. Namun demikian, dia selalu memerhatikanku jika memiliki banyak waktu luang.

Sekarang sudah pukul delapan malam. Aku sudah bersiap untuk tidur. Sebelum tidur, aku sudah menyiapkan apa yang diperlukan untuk besok. Aku sangat tidak sabar untuk memulai hari pertamaku bekerja. 

...

Aku bukannya pura-pura tidak tahu siapa yang akan menjadi bosku nantinya. Sosok yang hanya masuk ke dalam pikiranku selama beberapa menit saja tetapi selalu menetap disana selama belasan tahun. 

Ya, sosok yang sangat ku rindukan walau aku tahu aku tidak punya hak untuk hal itu. Mungkin saja dia selalu menyapa dan menghibur anak gadis yang kesedihan lalu melupakannya. Mungkin saja dia hanya menjalankan tugas sebagai manusia untuk mengeluarkan manusia lain dari kesedihan dan kesusahan dan aku termasuk 'manusia lain' itu. Mungkin saja dia sekarang sudah mempunyai sesosok manusia yang spesial untuk dihibur dan dilindungi setiap saat. 

Rashad Anugrah. Nama yang selalu ku gembok dalam otak lalu ku hilangkan kuncinya sehingga selalu tersimpan dan tidak bisa hilang. Di depan sana dia memperkenalkan diri sebagai ketua divisi marketing dan akan menjadi atasanku selama aku bekerja disini. 

Dia masih sama dengan senyuman hangatnya. 

Tepat di tanggal dan bulan yang sama dengan tahun yang berbeda, aku bertemu dengannya lagi.

Tepat 13 tahun lalu kami bertemu.

Tepat 13 tahun setelah pertemuan pertama kami, kami berjumpa lagi.

Hari ini.

Banyak pikiran yang menghampiri otakku. Apakah dia masih mengingatku? Apakah ayahnya sudah sehat? Apakah dia sudah punya seseorang yang spesial? Apakah dia menjalani hidup dengan baik?

Aku terdiam menatapnya. Wajahku kaku. Ekspresi kaget jelas tampak di wajahku. Saat giliranku memperkenalkan diri, degup jantungku berdetak sangat kencang seperti sehabis lari marathon. Aku pun berdiri dan bersiap menyapa rekan kerja baru dan atasanku.

"S-selamat pa-pagi sem-ua." Ujarku tergagap. Degup jantungku berdetak lebih kencang lagi. Ku paksakan senyum agar tampil di wajahku. Ku hirup oksigen sebanyak-banyaknya sambil memejamkan mata, lalu bersiap untuk menyebutkan namaku.

"Nama saya Qabeela Ayudia, umur saya 23 tahun." Ucapku penuh percaya diri sambil ku beranikan untuk menatap mata dari sosok yang ku rindukan itu.

Ekspresi kaget jelas tertampang di raut wajahnya. Namun sedetik kemudian wajah manis itu mengubah tampilannya dengan memberikan ekspresi senyum yang sama persis dengan 13 tahun lalu. Dia menutup mata lalu menghirup oksigen sebanyak mungkin, sama seperti yang ku lakukan tadi. 

Dan lagi, menampilkan wajah manis dengan senyum yang tertera.

"Tepat 13 tahun Qabeela, masih ingat saya?"

-Fin

Short Stories DraftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang