Deburan ombak yang gelisah menyadarkanku dari lamunan yang panjang. Ku tatap kembali objek dihadapanku yang menyuguhkan pemandangan luar biasa indahnya. Pasir putih yang terhampar luas mengilatkan sinar mentari, lautan biru yang terbentang jauh sungguh mendamaikan hati, karang yang berdiri kokoh dengan segala kemegahannya, serta lukisan biru diatas kepala merupakan hal terindah yang Tuhan pernah ciptakan.
Kupejamkan mataku dengan setiap helaan nafas yang kuhembuskan, perlahan merasakan kehangatan yang mengisi tubuh serta menghiasi perasaan terdalam di hati yang tanpa ku sadari membuatku teringat dengan seseorang yang pernah ku kenal di masa lalu,
Arya Adelino Dirgantara.Arya,
sebuah nama yang ngga asing lagi terlintas di benakku. Sebuah nama yang dulu selalu mengisi keseharianku dengan kebahagiaan yang teramat sangat begitu pula dengan kesedihan saat aku masih duduk di bangku SMA dulu.Dia adalah temanku, sahabatku, sekaligus orang yang pernah mengajarkanku bagaimana mencintai tanpa harus saling memiliki.
Rasanya sedikit aneh jika menyebut kata "cinta" karena usiaku kala itu bisa dibilang terlalu muda untuk mengenal adanya kata cinta, tapi memang begitu nyatanya.
Aku mencintainya, sungguh.
"Raaa."
"Eh iya, kenapa?" jawabku sedikit tersentak.
"Lo tidur, ya? Daritadi gua perhatiin lo merem terus, deh!"
"Engga kok, tadi cuma lagi pengen meresapi suara ombak doang." ucapku sambil memejamkan mata dan menarik nafas dalam dalam.
"Apaan sih, Gausah sok puitis gitu deh lo. Aneh gua dengernya." ujar Maudy sambil bergidik ngeri.
"HAHAHA, najis lo. Sekali sekali gua puitis gapapa elah."
"Bilang aja barusan abis mikirin si Arya Arya itu, kan?"
"Ih, ngapain coba! Kan udah ada Dathanku sayang." ucapku sembari memeluk diriku sendiri.
"IH jijik. Udah ah, yuk." ujar Maudy sambil menarik tanganku.
"Mau kemanaa?" ucapku sambil menarik tangan Maudy.
"Ke bis lah, dodol. Kan kita mau balik ke Jakarta. Daritadi lo udah ditungguin tau sama yang lain. Yuk."
Dengan berat hati aku mengangguk, mengiyakan ajakan Maudy.
Maudy Arasya, sahabatku.
Kami berkenalan saat pertama kali masuk kampus dulu. Awalnya aku kira Maudy ini termasuk tipe anak yang nantinya akan masuk geng populer yang sok manja nan genit, hobi menindas para nerdy di kampus karena penampilannya yang terlihat superrr hc (highclass) dan mukanya yang sombong.Tapi ternyata dia justru kebalikannya. Boro boro manja, dia ke sekolah aja bawanya R25! Laki bener.
Kami bergegas menuju bis yang sudah lama menunggu,
ah, lebih tepatnya menungguku.Bis ini akan membawa kita kembali ke Depok, setelah beberapa minggu menetap di salah satu desa daerah gunung merapi, Yogyakarta untuk menjalani program KKN (kuliah kerja nyata).
Selama diperjalanan, entah kenapa aku lebih banyak diam, ngga bisa fokus dengan ocehan Maudy yang membahas tentang para oppa oppa nya. Aku lebih memilih untuk memikirkan Arya, yang tadi ngga sengaja terlintas di pikiranku.
Teringat dengan kenangan kenangan yang pernah ku rangkai dengannya dulu,
"Jangan ketawa di depan orang lain,"
"Loh, kenapa?"
"Nanti mereka semua jatuh ke pesona lo. Gua ngga suka."
Samar - samar kudengar suara berat Arya di balik kepalaku, bercampur dengan deru mesin bis yang kencang seolah ingin mogok.
Atau mungkin memang sudah.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Counting Hopes [Slow Update]
Teen Fiction"Gaya lo cantik," "Gaya - gaya, lo kira gua lagi berenang!" "Lo jutek, tapi menarik." "Apaan sih." "Lo terlalu mempesona, sampe mampu ngebuat gua jatuh. Gua sayang lo, Ra." ujar Arya, sambil menatapku dengan sorot yang teduh. ------ all rights rese...