Desir

286 10 4
                                    

Ada pesan yang tak pernah sampai. Pesan dari udara kepada bumi. Rasa yang tak terungkap, rindu yang tak terjamah. 

Kau memilih berjalan dalam bayangannya, tanpa ia mengetahui. Kau memilih untuk diam-diam, secara berkala, menghirup udara dimana wangi tubuhnya berada. Kadang kau menoreh ke belakang, andai saja sorot liarnya menemukanmu. Kadang. Hanya kadang. Kau merasa muaranya adalah padamu.

Kau ingat betul bagaimana cara ia tertawa. Tergila-gila pada setiap suara yang tercipta. Bahkan kau mengenalinya sebagai nada. Semuanya merdu bagimu dan kau mendadak seperti baru menghisap ganja.

Kau ingat betul bagaimana senyum simpul itu beberapa kali berkelebat. Saat kau diam. Saat kau sendiri. Saat jam tidurmu tertunda, lagi dan lagi. Kadang senyum simpul itu terbawa olehmu ke alam mimpi. Kau tak dapat mengendalikannya. Dan kau tersenyum di pagi hari, lagi dan lagi.

Saat itu pagi yang biasa. Kau memutuskan untuk tidak mengaktifkan ‘detektor’ pandanganmu untuk mencarinya. Pagi itu pagi yang teduh. Tidak ada doa istimewa agar kau dapat melihatnya sekali saja, atau mungkin kau hanya lupa. Namun, tiba-tiba, ada desir yang sudah kau kenal lekat. Desir yang dihafal bulu kudukmu. Desir yang selalu kau tunggu. Kau menoleh ke belakang. Kau tau apa yang akan kau lihat. Namun, seperti tidak percaya, kau melihatnya. Ia yang biasa kau cari di setiap pagi, kecuali pagi biasa itu. Kemudian pagimu tak lagi biasa. Pagimu penuh warna. Pagimu bergelora. Mempertanyakan kuasa semesta. Kau masih tidak percaya. Bahkan hingga saat ini.

Saat itu, siang menyengatmu lebih ganas dari lebah yang tercadas. Kau tersenyum dalam hati karena kau tau, desir itu akan kau rasa lagi. Desir yang semilir. Desir yang dihafal bulu kudukmu. Detektormu kau aktifkan, dan disanalah ia. Hasratmu kuat untuk menghampiri dan menyapa namun kau urungkan. Kau hanya melihatnya lekat dari jarak yang dekat namun menyakitkan. Kau berpikir, ‘akan kucoba lagi nanti, saat aku kembali, atau mungkin lain kali’. Langkahmu kau seret menjauh. Namun kau, hatimu berat. Tak cukup rasanya bila tak mengucap setidaknya satu kosa kata sederhana. Dan kau akhirnya mengucapkannya, walau hanya dalam hatimu saja. Kau merindukan desir itu, namun tubuhmu melangkah berpaling. Hatimu tak puas. Pandanganmu kau torehkan ke belakang, ke arahnya. Kau berharap sekali lagi saja, memotretnya dengan kedua matamu. Dan desir itu datang, sorot matanya yang liar menemukanmu. Dan senyummu yang ringan itu kau sungging. Dan siang itu tak lagi seganas lebah. Siraman sinar mentari, seperti air bah yang mengalir dan menggugah. Segar. Mengguyurmu hingga basah kuyup.

Saat itu senja yang polos. Senja yang memilih untuk tidak congkak memperlihatkan keelokannya. Senja yang mendamaikan hatimu seiring langkahmu menuju desir itu. Desir yang sama, desir yang sering kau rasa sebelumnya. Merah. Gincu merah andalanmu, seperti membakar terang-terangan bara dalam hatimu. Bara ingin bertemu. Bara yang mencelos dan menyeruak. Kau menahannya sekuat tenaga. Langkahmu mengayun pelan. Kau katakan pada hatimu ‘bersabarlah’. Langkahmu menyusuri anak tangga itu satu persatu. Lalu kau sampai diatas. Kau tersenyum dalam hati. Desir itu sangat dekat, sangat lekat. Dan kau melihatnya. Dadamu berhembus lega seperti baru menahan nafas jutaan tahun lamanya. Ia mengucap beberapa kata pertama. Sorotnya tak surut memandangmu. Mungkin saja karena gincu merahmu. Dan kau mendadak menyesal dan bersyukur dalam waktu yang bersamaan. Sorot itu masih menuju padamu. Kau membalas kata ala kadarnya, karena kau sibuk menahan gejolak hatimu yang meledak berontak. Hatimu yang berteriak ingin menghambur menggapainya, lalu menyimpan aroma tubuhnya yang lebih kuat menyandumu daripada ganja. Untungnya tak kau lakukan. Untuk pertama kalinya, kau lihat wajahnya seperti merona. Tingkahnya yang kikuk terbaca. Seperti kau sedang membaca komik manga dan salah satu tokohnya salah tingkah atau semacamnya. Sungguh gejolak itu tak ingin kau tahan lebih lama lagi, untungnya beberapa saat kemudian ia melangkah pergi. Melewatimu yang setengah terpaku. Walau mungkin ia tak menyadari bahwa kaupun sama kikuknya beberapa saat tadi. Dan untuk yang kesejuta kali tersirat di otakmu...

Kau dan dia.

Dalam situasi yang lebih sederhana. Dalam situasi penuh kendali. Dalam situasi tak terbatasi.

Kau dan dia saja.

Walau sekali saja, bersama, merasakan hal yang sama.

Oleh aku.

Kamar Jasmine 18. Disela mengerjakan tugas. 27 Juni 2013.

Repetisi DistorsiWhere stories live. Discover now