Rela Jadi Cinderella

136 4 0
                                    

Tidak ada dongeng yang diciptakan tanpa pesan. 

“Cinderella” kisah yang sudah pasti terpatri dalam ingatan dan hati semua kami yang sedari kecil sudah dicekoki imajinasi liar dan fantasi. Ketika akhir bahagia sudah menjadi indikator yang diharuskan, walau berarti perlu memodifikasi ketragisan dan tragedi yang sebenarnya sangat duniawi. Kami disuguhi hamparan penuh pengharapan. Bahwa di dunia ini yang paling berarti hanyalah menjadi bahagia. Namun benarkah pilu dan kesedihan dihadirkan tanpa alasan? 

“Cinderella” dongeng yang menyiratkan bahwa masih ada esok, letak segala bentuk keajaiban dan pengharapan mewujud. Bahkan seorang upik abu berkemungkinan berjodoh dengan sesosok pangeran tampan. Hal yang seringkali hanya kita yakini sebagai ilusi. Mimpi tak realistis yang kadang sengaja kita hadirkan sekedar untuk jadi alasan agar tidak bunuh diri malam ini. 

“Cinderella” cerita yang sebenarnya malah menyesatkan kita. Apakah benar untuk memikat pangeran tampan dibutuhkan ibu peri sakti yang menghadiahi kereta kuda, gaun indah, dan sepatu kaca? Bagaimana dengan kesederhanaan yang tak artifisial? Kepolosan untuk tidak menutupi ketidakberdayaan dengan kepalsuan. Menjadi diri sendiri yang apa adanya dan tak butuh pengakuan. 

Apakah tidak mungkin untuk memiliki hidup yang sesederhana merasakan sedih agar tau bagaimana berbahagia? 

Apakah bijak mendambakan kehidupan yang lebih baik hanya dengan berdoa pada bintang jatuh, terlamun dan berangan-angan yang jauh, atau menangis keras dan mengeluh dengan harapan hati ibu peri akan luluh? 

Apakah benar hal besar hanya dapat digapai dengan mengorbankan setiap esensi diri lalu menggantinya dengan omong kosong dan hal-hal imitasi?

Seandainyapun bisa, apakah kau rela untuk jadi Cinderella?

Repetisi DistorsiWhere stories live. Discover now