Nada dan Aksara

219 6 2
                                        

‘Ketika kepakan sayap-sayap indah itu hinggap di tengah rona merah yang merekah.

Ingin sekali menari diantaranya.

Ketika aroma hijau melekati tanah seusai tetes-tetes langit menjajah.

Ingin sekali merebah diantaranya.

Ketika jemarimu yang lincah berdansa diatas putih-putih yang berjajar resah. Mengalunkan melodi yang mendesak dikuak dari dalam hati. Melantunkan pekak dalam benak yang terlampau hebat menguasai.

Ingin sekali terlelap diantaranya.’

Di suatu ketika aksara jatuh cinta pada nada.

“Mereka yang tuli akan mendengarmu melaluiku. Mereka yang buta akan menerkaku melaluimu.”

“Kita adalah padu yang barangkali suatu saat tuhan akan ijinkan untuk menyatu. Kita adalah padu yang barangkali suatu saat Tuhan akan mengirim restu, ‘Untuk nada dan aksara, agar hari ini mereka saling bertegur sapa.’”

“Tak sepertiku yang terlahir untuk terbaca atau tertuliskan dengan makna konkrit, liukmu bagiku terlampau rumit. Kau hadir dalam lamunan, mewujud dalam alunan, lantunan, kidung rindu yang meresap lalu mengendap.”

Ada misteri yang ingin diakhiri. Ada tanya yang ingin berjumpa dengan jawabnya. Hanya ritme yang selaras debar-debar di dada. Yang stagnansinya menghanyutkan, memaksa untuk digoreskan dengan tindasan tinta-tinta hitam.

Nada tak mau berhenti, nada terus bermelodi. Aksara tak mau berhenti, aksara terus mengikuti, meresonansi. Jika nada berparas. Jika aksara dilengkapi sepasang indera mata. Senja itu adalah satu dari sekian konspirasi semesta yang menempatkan mereka pada satu titik yang sama. Kebetulan kosmos mungkin saja benar adanya.

“Ada warna yang kau hadirkan kala mentari terlampau menyilaukan. Kau buat kelabu mewujud pelangi. Mengalahkan eloknya cakrawala senja sore hari. Dan penantianku ini hanya sebatas fantasi layaknya mereka-mereka yang sedang dibuai ekstasi.”

Aksara percaya pertanda. Aksara percaya apa saja yang terjadi di dunia adalah bagian dari sebuah rencana.

Merdu yang syahdu, merdu yang rindu. Ada kalanya nada sengaja memperdengarkan distorsi-distorsi pilu. Ada kalanya aksara tersesat diantara gelombang suara itu. ‘Berhenti saja, sudah saatnya. Untuk apa mengumbar rasa jika ia enggan menggemakan hal yang sama.’ Seharusnya pupus, seharusnya pudar. Biasanya waktu hebat menghujat dan menyumbat alur alir yang terlampau deras mengucur dan menghancur. Seharusnya sirna, seharusnya tiada. Biasanya waktu piawai membekukan deru-deru yang terlampau deras mengucur dan menghancur.

“Aku hanya dapat menggapaimu melalui sajak-sajak yang kutitip pada nafas pertama embun pagi. Aku hanya dapat menggapaimu melalui sajak-sajak yang kutitip pada baris dan bait yang kau intip sesaat sebelum melesat ke alam mimpi. Akankah kau rindu jika suatu saat nanti aku berhenti?”

Merasuk perlahan, mengisi sela-sela kosong, mendamaikan dari kejauhan. Bagaimana itu bermula, hanya waktu yang mengingatnya.

Nada terkadang datang dalam hentakan. Namun, tentu aksara menolak membiarkannya bungkam. Sunyi adalah satu yang paling ditakuti. Sunyi adalah satu yang tak berlubang kunci. Sunyi adalah yang melebarkan jarak itu se-centi demi se-centi. Menjauhkan perlahan namun dengan langkah pasti.

“Sunyi, apakah kehadiranmu ini menandakan bahwa ia sudah pergi?”

Aksara seringkali bersembunyi dalam sepi. Mencoba berhenti mengirimkan sandi-sandi dan berhenti berepetisi. Menenggelamkan diri dalam melankoli, walau kemudian harus tumpah dalam rima-rima puisi.

Seperti musafir yang mendamba oase menjelang ajalnya. Mewujud terlambat, jika aksara selamanya hanya berbicara tanpa suara. Bagaimanapun juga suara hanya menjadi milik nada. Aksara hanya mampu menyirat dan mengisyarat dalam gurat-gurat pena. Memang yang tak terucap seringkali yang paling seharusnya diungkap. Namun, jika lisan hanya milik salah satunya, apa hendak dikata?

“Kami hanya bertemu saat terjadi sentuh lembut dawai-dawai diantara jemari. Saat dirapal bait-bait syair yang membombardir sudut tersepi. Tak perlu sorot saling menemukan untukku dapat berkata yang kurasa ini cukup berarti. Tentu ada alasan mengapa teka-teki tetap menjadi teka-teki.”

Tentu saja hasrat itu ada. Aksara memborgolnya dengan sisa-sisa asa. Tentu saja hasrat itu ada. Meraung-raung, menggapai-gapai apapun yang ada disekitarnya. Aksara mengikatnya dengan jutaan angan mesra. Angan tentang dekap, angan tentang kecup. Dekap yang hadir dengan niat sederhana. Hanya agar pada suatu titik keduanya saling merasakan hangatnya secuil surga. Kecup yang hadir tanpa disengaja. Agar pada suatu detik segala yang berkecamuk itu dapat melebur dalam ekuivalensi setara. Untuk saling luruh diantara gemuruh. Untuk saling rapuh disela gejolak yang gaduh. Agar terkatakan untuk yang pertama kali, ‘Jangan usir sunyi, biar getar-getar ini dapat kau tafsirkan sendiri tanpa harus kucipta aliterasi.’

Apa yang hendak dibawa matahari terbit untuk nada dan aksara? Sebuah petunjuk atau satu lagi tanda tanya?

“Hasrat itu ada, namun aku memborgolnya dengan sisa-sisa asa dan mengikatnya dengan jutaan angan mesra. Hasrat itu ada, namun aku memilih menunggu hingga nanti waktu berkata ‘Di suatu ketika nada jatuh cinta pada aksara’. ”

***

Repetisi DistorsiWhere stories live. Discover now