8 atau 9 tahun yang lalu...

23 3 0
                                    

Kita pasti pernah menyadari kehadiran seseorang yang kita kenal di sekitar kita tanpa perlu menengok ke sekeliling. Sering kali orang-orang mengatakannya sebagai feeling, dan mungkin itulah yang saat ini sedang terjadi padaku.

Diantara angin sore yang berhembus menerbangkan helaian rambutku yang panjang, dan suara debur ombak yang menenangkan, kutemukan dia berdiri berhadapan denganku. Walau dalam rentang jarak yang jauh, di antara keramaian orang berlalu-lalang, dan riuh tawa dan canda, kami tetap bisa saling bertemu pandang.

Laki-laki itu menatapku setengah terkejut. Tubuhnya nampak kaku sebentar, sebelum rileks kemudian. Caranya memandangku membuatku membeku. Sudah berapa lama? Sembilan tahun? Delapan tahun? Atau mungkin, lebih?

"Ailin."

Suaranya, walau sekarang terasa sedikit berat dan dalam, masih dapat memanggil memoriku tentang caranya menyebutkan namaku saat kami SMA dulu, lambat dan ada penekanannnya.

Selama beberapa detik aku kebingungan memilih kata, lantas berakhir dengan senyum kaku dan helaan nafas.

"Hai," sapaku.

Bertemu dengannya sekarang walaupun mendadak, entah kenapa aku seperti sudah siap. Dulu mungkin aku akan menatapnya dengan rasa sedih dan penyesalan, tapi sekarang saat tahun sudah berganti, dan rasa sakit sudah terobati, hanya ada memori yang bisa kukenang dalam senyum dan pembelajaran.

Semua cerita yang dulu pernah kami buat bersama merupakan salah satu moment terbaik dalam hidupku. Walau semuanya tak berjalan lancar, walau harus melepas salah satu sahabat terbaik seumur hidupku, aku dapat belajar segala hal penting di masa remaja, dan mengetahui bahwa laki-laki di hadapanku ini merupakan salah satu bagian di dalamnya tentu membuatku bersyukur dan entah kenapa juga bahagia.

"Lo nggak berubah," ucapnya memperhatikanku begitu teliti "rambut lo," ia fokuskan pandangannya ke arah rambutku, "panjang lagi," tambahnya lalu tersenyum.

Aku ikut tersenyum, lantas juga memperhatikannya. Laki-laki itu saat ini mengenakan kemeja biru langit yang bagian lengannya digulung sampai siku, dipadukan dengan jeans. Simple tetapi apa adanya dan tidak berlebihan. Rambut cowok itu dipotong rapi, khas laki-laki kantoran, membuatku entah kenapa kecewa karena tidak lagi mendapati rambut hitam bergelombangnya yang selalu berantakan dan tak teratur seperti dulu.

"Lo berubah," ucapku, tanpa bisa menyembunyikan nada getir.

Ia mengangguk, menyetujui.

"Punya waktu?" tanyanya, matanya tak beralih dariku sedetikpun.

Aku mengangkat sebelah alisku.

"Bertahun-tahun nggak ketemu, pasti banyak cerita seru yang harus lo bagi sama gue kan?" ia menyeringai, lantas menatapku dengan sinar jahil yang sama seperti dulu.

"Oh," aku tertawa, "lo akan nyesal, Kal. Setelah gue mulai bercerita, lo harus mendengar semuanya sampai selesai."

Dia tertawa, "Seperti dulu?"

Aku ikut tertawa, "Seperti dulu," ulangku.

Lalu begitu saja, mengabaikan waktu yang telah berlalu, aku dan laki-laki itu kembali menjelajah, ke masa-masa kami begitu menanti umur tujuh belas tahun, ke masa semua impian seperti akan menjadi kenyataan. Di masa tidak ada yang tahu jika kami akan berlari ke arah yang berbeda.

Delapan atau Sembilan tahun yang lalu. Saat dimana aku bahkan tak khawatir menjadi orang dewasa.


*****

5 Agustus 2018

Remembering Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang