4. Pertemuan

22 4 33
                                    



Dingin.

Itulah yang pertama kali dirasa Tantry saat menapakkan kaki nya dinegeri ginseng itu. Musim salju tengah melanda negara Korea menutupi beberapa jalan kcil dan menghambat laju kendaraan.

Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyum. Ia menyimpan harapan besar untuk bisa  berjumpa dengan yoongi dan menyelesaikan segala macam masalah antara mereka berdua.

Sekeluarnya ia dari bandara, ia tak sengaja melihat bocah kecil yang berumur sekitar 10 tahun dengan baju compang camping dan tubuh yang kurus kering seperti tidak pernah makan sebulan. Membuat hatinya terasa seperti dicubit dari dalam.

Tantry menghampiri bocah kecil tersebut sembari menggeret koper miliknya, dan meletakkannya disamping si bocah. Ia menunduk memperhatikan si bocah yang sedang mengucek matanya.

Dia menangis?

“hei,  kenapa menangis??” Tanyanya membuat si bocah mendongak menatap ke arahnya.

“kau sendirian? Dimana Mana orang tuamu?”

Bocah itu mengangkat jarinya, menunjuk kearah belakangnya yang diikuti pula oleh tatapan Tantry.

“yang mana? “celingak celinguk kepala Tantry mencari seseorang yang mungkin adalah orangtua si bocah.

Namun saat tantry kembali menoleh pada si bocah, ia mendapati kopernya telah digeret cepat oleh si bocah dikejauhan sana. Tantrypun mengejar walau jalanan masih dipenuhi dengan alat transportasi.
“yakk,, berhenti! Itu koperku!” teriak nya  lantang berharap sibocah mau berhenti ditempatnya. Namun sial,bocah itu terus saja berlari membawa kopernya semakin jauh. Niat hati ingin menolong, malah dirinya  dirampok bocah kecil dihari pertamanya menapak dikorea. Hingga suara benturan terdengar lumayan keras disebrang sana.

Tantry berlari secepat ysng ia bisa,  menyelipkan tubuhnys diantara kerumunan manusia yang hanya bisa melihat kejadian naas barusan.

Bola mata tantry membulat hampir keluar melihat tubuh si bocah terkapar ditengah kerumunan orang dengan bersimbah darah, namun tak ada satupun yang berniat menolongnya.

“yakk.. Ireona! “ tantry mengguncang-guncang tubuh si bocah berharap ia akan sadar. Tangan kirinya menopang tubuh mungil si bocah dengan tangan kanan yang menepuk pelan pipinya. Sudut matanya telah basah menampung cairan bening yang kapan saja siap luruh mengaliri pipinya.

“yakk,  apa kalian hanya akan menonton? Tidak adakah dari kalian yang yang mau menelfon ambulance? “ tantry  menatap satu persatu orang yang berdiri disekitarnya. Berharap ada seseorang saja yang akan menanggapinya. dan barulah beberapa orang sibuk mengeluarkan ponsel miliknya.

“aishh,, mobilku. Tidak! Tidak!  Siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan mobilku? “ cerocos seoranng pria yang baru saja keluar dari mobilnya dan emosi melihat bagian depan mobilnya yang penyot.

Tantry bangkit dari duduknya menghampiri pria pemilik mobil yang sudah menabrak si bocah dengan penuh emosi. Membalikkan tubuh si pria dengan kasar.

“kau pemilik mobil ini? “ tanya tantry masih menahan tangisnya.

“iya.  Kenapa? “ jawab si pria datar.

“apa kau buta? Lihat! gara-gara ulahmu yang tak bisa mengemudi dengan benar bocah itu tertabrak mobilmu. “ ucap tantry penuh emosi.

“lalu apa hubungannnya denganku? “ masih santai pria itu memasukkan kedua tangannya pada saku celana.

“kau bilang apa hubungannnya denganmu? “ tantry tersenyum getir menahan emosi yang semakin lama hendak meletup. “kau yang menabraknya. Apa kau sadar,  nyawa anak ini hampir melayang karena ulahmu. “

“Owh jadi kau keluarga bocah itu, kalau begitu  cepat ganti rugi kerusakan mobilku. “ ucap pria itu santai tak perduli keadaan bocah yang ia tabrak. “lihat! Mobil ku penyot gara-gara dia sembarangan menyebrang!” menunjuk bsgia depan mobilnya yang hanya sedikit penyok.

WETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang