Angin berembus perlahan, menerbangkan rambut seorang gadis yang sedang sibuk menggoreskan kuas di atas sebuah kanvas. Sesekali dahinya mengernyit, kurang puas dengan hasil lukisannya.
"Hai, Alesha. Ice matcha latte favoritmu." Seorang pria dengan seragam pelayan café membawakan segelas minuman berwarna hijau.
Alesha hanya bergumam, tidak berniat untuk melihat siapa yang datang dan meletakkan minuman kesukaannya di atas meja, satu meter dari tempat dimana ia melukis. Ia sama sekali tidak ingin konsentrasinya dibuyarkan oleh kehadiran seseorang.
Lagipula, Alesha tahu siapa lelaki muda itu. Raymond, salah satu pelayan café yang sudah hafal menu favoritnya. Alesha adalah salah satu pelanggan tetap café itu. Ia sering datang untuk melukis di sana, dan lelaki berkacamata minus itu akan membawakan minuman yang sama.
Cafe dengan konsep outdoor garden adalah pilihan tepat untuk pelukis seperti Alesha. Ia memilih bagian luar cafe, di mana banyak tanaman hijau serta terdapat sebuah kolam ikan koi.
Di bagian sana hanya ada dua buah meja, dan masing-masing berkapasitas dua orang. Karena itu, suasana tidak ramai. Cocok untuk melukis tanpa gangguan apa pun.
"Ehm ... apakah ada menu lain yang ... ingin kau pesan?" Meski ragu, Raymond akhirnya berhasil mengajukan pertanyaan.
"Tidak, Ray. Terima kasih," sahut Alesha, masih tidak mengalihkan pandangannya dari kanvas. Mulai merasa terganggu oleh kedatangan pelayan itu.
Raymond mendengus. "Kau yakin, Alesha? Sepertinya salad buah cocok untuk ... siang yang panas ini."
Alesha memutar bola mata jengah. Meletakkan palet di atas meja, lantas menatap Raymond tajam. "Ya ampun, Ray. Ini sudah hampir senja. Lagipula cuaca juga mendung. Makanlah salad itu sendiri, mungkin itu bisa menyegarkan pikiranmu dan tidak mengganggu kesibukan orang lain."
Raymond membenarkan kacamata yang melorot ke hidung. Bentakan Alesha membuatnya semakin gugup. "Maaf ... Alesha. Kalau begitu, aku pergi dulu," katanya.
Gadis berambut hitam itu mengawasi tubuh Raymond sampai menghilang di kelokan. Ia mendesah, ada sedikit penyesalan karena telah bersikap ketus pada pria tidak bersalah itu. Hanya saja, Alesha merasa tidak senang saat seseorang mengganggu ketenangannya melukis. Apalagi di saat lukisannya sudah dikejar deadline.
Ia menatap kanvas di depannya. Seorang wanita setengah baya dengan rambut yang disanggul layaknya wanita keraton. Lukisan itu pesanan seorang pengusaha kaya yang ingin wajah istrinya diabadikan di atas kanvas. Tiga hari lagi, istrinya berulang tahun, dan lukisan itu akan menjadi sebuah kado istimewa.
Alesha kembali mengambil kuas dan mulai menekuni pekerjaannya. Memoles bagian pipi yang tirus. Sejenak ia menghentikan goresan kuasnya. Wajah wanita di kanvas itu mengingatkan Alesha pada almarhumah ibunya.
Menggeleng lemah, Alesha tidak ingin kesedihannya mengganggu konsentrasi dalam melukis. Hari ini, lukisan itu harus selesai. Jika tidak, maka bayaran tinggi yang dijanjikan pengusaha itu bisa lenyap. Ia pun kembali mengumpulkan titik fokusnya. Ayolah, Alesha! Kau pasti bisa!
"Bagaimana mungkin dia membatalkan kontraknya? Bodoh! Kau memang tidak becus mengurus satu klien saja."
Alesha menoleh ke belakang. Suara baritone pria itu jelas mengganggunya. Jika suara lemah lembut Raymond saja sudah bisa membuyarkan fokus Alesha, apalagi nada suara pria berjas hitam yang sepertinya sedang memarahi bawahannya di telepon.
"Aku tidak mau tahu. Kau harus bisa menyelesaikan masalah ini. Kalau tidak, segera buat surat pengunduran diri dan letakkan di meja kerjaku."
Alesha mendengus. Tidak bisakah pria itu mengurangi volume suaranya?
KAMU SEDANG MEMBACA
244 Days to Hurt You
RomanceAlesha, seorang pelukis yang berharap untuk menikah dengan kekasihnya, pada akhirnya harus menikah dengan lelaki lain yang tidak dicintainya dan berjuang agar bisa melewati pernikahan mereka. * * * Alesha bersumpah akan menjaga kesuciannya untuk kek...