05. Rencana Kedua Sang Suara

131 21 7
                                    

"Nona! Tolong berhenti sebentar!" seru Artevio ketika mengejar wanita yang kini sedang berlari. Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa ia akan berlari lagi hanya untuk mengejar wanita yang bahkan tak ia kenal. Tetapi rasa penasarannya itu mengalahkan rasa lelahnya. Jadi ia terus saja berlari untuk mencegat wanita itu.

Artevio semakin mendekati wanita itu. Nampaknya ia mulai kelelahan. Akan tetapi, begitu ia dapat meraih pundak wanita itu, Artevio tersandung dan terjatuh. Spontan ia mendorong wanita itu dan akhirnya dia ikut jatuh. Artevio terjengkang dan wanita itu jatuh di atasnya. Artevio mengerang dengan keras, karena sakit yang dialaminya akibat terjatuh dan ditindih orang yang tidak dikenalnya. Artevio berpikir, betapa sialnya ia kali ini!

Wanita itu berdiri dengan cepat dan hendak berlari lagi. Tapi sebelum ia sempat berlari, Artevio memegang kakinya erat-erat, menyebabkan ia jatuh lagi, kali ini tertelungkup. Dengan segera Artevio bangkit, dan meraih kedua tangan wanita itu untuk menahannya agar ia tidak lari lagi.

"Nona, tolong," tuturnya terengah-engah, "jangan lari lagi. Kau benar-benar gesit, kuakui. Tapi jangan berpikir kalau aku hendak mengapa-apakanmu. Aku hanya ingin bertanya."

Wanita itu mengambil posisi duduk, sementara Artevio masih memegang tangannya.

"Kalau begitu, bisakah kau melepaskan tanganmu itu?"

Artevio melepas tangannya. Ia baru sadar kalau ia tadi masih memegangnya.

"Jadi, siapakah kau, dan dari mana asalmu?" tanya Artevio.

"Namaku," ia menjeda ucapannya, "Helina."

"Helina?" Artevio berpikir sebentar. "Bukankah itu nama penyihir jahat dalam legenda?"

"Aku tahu, nama itu punya konotasi yang buruk. Tapi kau harus tahu, bahwa Helina berarti 'cahaya fajar' dalam pelafalan kuno. Barangkali karena itu orangtuaku memberi nama Helina padaku," jelasnya.

"Wah, aku baru tahu hal itu. Selama ini sekte Horien hanya mengajarkan bahwa Helina adalah saudari Horien yang ingin menguasai sihir Nomius," ujar Artevio ternganga. Wanita itu, Helina, tersenyum.

"Aku berasal dari kerajaan di utara, Fraustre. Aku lari ke sini karena aku akan ditangkap oleh kerajaan atas kejahatan yang tidak kulakukan," tutur Helina kemudian. Artevio kembali melongo.

"Kejahatan yang tidak kaulakukan? Apa itu?" ulang Artevio tidak paham.

"Mereka menuduhku mencuri gulungan Nomien," jawabnya. "Sungguh tuduhan yang tidak berdasar."

Kemudian Artevio teringat akan sifat kerajaan itu. Artevio tahu benar bahwa Fraustre adalah kerajaan yang ketat dan tertutup. Bahkan kabarnya, untuk masuk dan keluar kerajaan saja harus melewati penjagaan lapis tujuh. Entah apa maksudnya itu. Tapi dari semua itu, ada satu yang menjadi ciri khas Fraustre. Di sana tersimpan naskah yang menjadi ideologi dan aturan utama Ground of Prominence. Gulungan Nomien dan Naskah Einoriel. Siapapun yang tertangkap memegang salah satu atau kedua naskah ini di luar kuil Nomi akan dijatuhi hukuman mati.

Akan tetapi, hal lain membuat keningnya mencureng. "Jadi bagaimana kau keluar dari Fraustre?"

Pertanyaan itu diajukan secara tiba-tiba, membuat Helina tersentak. Spontan Helina membalasnya. "Jangan mengagetkanku!"

"Eh, maaf," ucap Artevio. Rasa jengah menghinggapinya.

"Sudahlah, tak apa." Helina menghela nafas. "Aku tahu bahwa ada sebuah terowongan yang menembus tepat di belakang istana dan keluar di sisi barat gunung, di wilayah kerajaan Denorhen. Aku menyamar kemudian pergi ke sana. Tidak ada orang dari kerajaan Denorhen yang mengenaliku, tentunya. Dan aku berkelana hingga tanpa sadar aku sudah berada di sini," terangnya. Artevio meregangkan tubuhnya sejenak. Helina lagi-lagi tersenyum.

Tale of the Past: Expansion of the AbyssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang