2 :: Percakapan Pertama

18.4K 822 5
                                    

Yusuf berjalan ke arah perpustakaan, diikuti oleh Zahra dan salah satu murid lainnya. Ia menyuruh kedua muridnya tersebut untuk meminjam buku paket dari perpustakaan yang akan dipakai mereka untuk belajar.

Tiba disana, puluhan rak dengan buku yang berjejer rapi menyambut kedatangan mereka. Yusuf mengajak kedua muridnya untuk menghampiri rak khusus buku paket sejarah.

"Nama kamu siapa?" tanya Yusuf pada Zahra, yang ia ketahui sebagai ketua kelas.

"Zahratul Nisa, pak," jawab Zahra.

"Nama panggilannya apa?" tanyanya lagi.

"Bapak bisa panggil saya apa aja. Bisa Zahra, Nisa, Ica, atau kalau mau, bapak juga bisa panggil saya umi kayak temen-temen saya," jelas Zahra panjang lebar.

Yusuf terkekeh mendengar penuturan muridnya tersebut. "Oke, bapak panggil kamu Zahra aja."

Zahra hanya mengangguk dan tersenyum kecil, sehingga menampilkan sebuah lesung pipit pada pipi kirinya. Sambil melihat muridnya yang membawa buku paket sembari menghitungnya satu per satu, Yusuf melihat penampilan Zahra yang berbeda dari teman-temannya yang lain. Gadis itu memakai kerudung yang lebih lebar dibandingkan teman-temannya. Ia juga memakai handsock untuk mencegah bagian lengannya terlihat.

"Bapak suka melihat penampilan kamu. Kalau bisa, kamu juga ajak teman-teman kamu yang lain untuk berpenampilan seperti ini. Syar'i, adem deh lihatnya," ujar Yusuf.

Zahra tersenyum kikuk. "Yah, gimana ya pak ngajaknya. Bapak tahu lah gimana remaja cewek zaman sekarang. Agak susah, hehe."

"Kamu bisa mulai ngajak dari teman dekat dulu, atau teman satu kelas. Kalau kemauan bapak sih, satu sekolahan berpakaian kayak kamu ini. Miris soalnya liat penampilan remaja cewek zaman sekarang. Bikin merinding, haha," kekehnya.

"Insyaallah deh pak, hehe. Biar sambil jalan aja dakwahinnya."

"Nah, iya. Dengan memperlihatkan penampilan kamu yang sekarang juga bisa sambil mendakwahkan sama yang lainnya. Kalau penampilan muslimah itu ya kayak gini."

Zahra hanya mengangguk sebagai balasan. Kemudian, ia dan temannya beserta Yusuf kembali ke kelas untuk membagikan buku dan memulai pelajaran sejarah.

🌿🌼🌿

"Ra, Pak Yusuf itu ganteng ya. Udah ganteng, guru, masih muda lagi. Duh, aku mau deh kalau seumur hidup diajarin sama dia," oceh Santi tanpa jeda. Zahra hanya mendengarkannya dan sesekali mengangguk menanggapi ucapan Santi.

Keduanya sedang berada di dalam kelas sambil memakan bekal masing-masing yang dibawa dari rumah. Zahra memakan masih putih dengan cumi asam manis buatan Umi Nadia. Sedangkan Santi makan dengan nasi goreng dan telur ceplok setengah matang. Teman-teman mereka yang lain lebih memilih untuk makan di kantin sekolah, sementara kedua remaja tersebut sudah terbiasa membawa bekal dari rumah, dan uang jajan mereka yang tersisa selalu digunakan untuk menabung.

"Zahra, kamu dengerin aku ngomong nggak sih?" protes Santi ketika sahabatnya sejak tadi hanya diam dan memakan bekalnya.

"Iya, Santi. Dari tadi aku dengerin omongan kamu kok."

"Apa coba?"

Zahra mendengus, terpaksa ia kembali mengucapkan apa yang tadi Santi katakan padanya. "Ra, Pak Yusuf itu ganteng ya. Udah ganteng, guru, masih muda lagi. Duh, aku mau deh kalau seumur hidup diajarin sama dia."

"Wah, kamu mau seumur hidup diajarin sama bapak?"

Suara tersebut membuat Zahra menoleh dengan was-was ke arah pintu masuk kelas. Dan ia pun mendapati Pak Yusuf sedang berdiri di ambang pintu sambil terkekeh kecil.

"B-bapak? Sejak kapan bapak ada disana?" tanya Zahra gugup. Ia takut jika gurunya itu benar-benar mendengar apa yang tadi ia katakan. Padahal Zahra hanya mengulangi apa yang sebelumnya Santi ucapkan. Sementara Santi, sahabatnya itu kini sedang menahan tawanya kuat-kuat. Gadis itu tidak menyangka jika Pak Yusuf akan datang disaat Zahra sedang berbicara tentangnya.

"Sejak kamu bilang kalau saya itu ganteng, dan blablabla lainnya."

Habis sudah Zara hari ini. Ia malu. Bagaimana bisa gurunya mendengar semua yang ia katakan. Mau ditaruh dimana mukanya.

"Bapak... Eh, b-bapak ngapain kesini? Bukannya jam pelajaran bapak udah selesai sejak tadi?" Zahra mencoba mengalihkan topik.

"Oh, itu, bapak mau ambil buku yang tadi ketinggalan. Tuh, ada di atas meja guru," jawab Yusuf sambil menunjuk sebuah buku paket sejarah miliknya.

Zahra mengangguk kaku. Ia hanya terdiam saat gurunya tersebut masuk ke dalam kelas dan mengambil bukunya. Kemudian berhenti tepat di meja paling depan, selisih satu meja dengan meja yang kini ditempatinya.

"Kalau kamu mau diajarin sama bapak seumur hidup, berarti kamu harus bayar dengan harga eksklusif. Assalamualaikum," ucapnya memberi salam. Setelahnya, ia kemudian melangkah keluar kelas sambil menahan senyum di bibirnya.

"Waalaikumsalam," jawab Zahra dan Santi bersamaan. Tak lama kemudian, tawa Santi meledak. Bahkan, ia sampai menitikkan air mata saking lucunya kejadian tadi menurutnya.

"Iiih, kamu mah jahat. Kenapa nggak bilang sih kalau tadi ada Pak Yusuf di depan kelas," omel Zahra sambil mencubit gemas lengan Santi.

Masih dengan sisa tawanya, Santi mengusap sudut matanya yang berair kemudian membetulkan letak kacamata hitamnya.

"Aku juga nggak tahu kali, Ra, kalau Pak Yusuf ada disana. Aku juga tahunya pas dia ngomong sama kamu tadi. Duh, ngakak banget sih, Ya Allah. Nggak pa-pa kan Ra aku ngakak? Nggak akan dosa kan?" ledeknya kemudian kembali tertawa.

Sambil kembali menyuap nasi ke dalam mulutnya, Zahra menggerutu karena kesal ditambah rasa malu yang berkali-kali lipat jumlahnya. Untung saja tadi semua teman-temannya sedang berada di kantin. Jadi tidak melihat aksinya yang memalukan di depan Pak Yusuf.

Bagaimana ia bisa bertatap muka dengan Pak Yusuf esok hari saat pelajarannya berlangsung? Zahra sungguh malu, ini semua karena ulah Santi yang menyuruhnya untuk mengulang kembali ucapannya.

"Ah, kamu sih, Santi. Jadinya aku malu kan di depan Pak Yusuf. Terus, besok aku gimana coba? Kan malu kalo harus ketemu lagi sama dia," gerutu Zahra. Akan tetapi sahabatnya malah sibuk menertawakannya meskipun tidak seheboh tadi.

"Santi, iiih..." pekik Zahra.

"Iya... Iya... Nggak pa-pa lah, palingan juga besok Pak Yusufnya udah lupa sama kejadian yang tadi. Lagian sih, kamu mau-maunya ngomong gitu."

"Eh, kan tadi kamu yang nyuruh aku ngomong begitu. Kalau kamu nggak nyuruh aku juga nggak mungkin ngomong kali," elak Zahra.

"Tapi kan kamu bisa nolak kalau nggak mau ngomong." Santi masih saja menyangkal Zahra. Ia kembali tertawa saat sahabatnya menggerutu dan mencubitnya kecil karena kesal.

"Iya... Iya, Ra, maaf deh, maaf," ujar Santi kemudian.

🌿🌼🌿

Guruku adalah Imamku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang