Musim semi adalah musim untuk awal yang baru, sekaligus mengakhiri sesuatu. Ini minggu ketiga bulan Maret, dan para murid tingkat tiga berlari dengan semangat dan kegembiraan. Di bawah hujan kelopak bunga yang mekar, dan hangatnya sinar matahari yang membakar kulit, banjir sukacita sudah dimulai bahkan sebelum acara yang sebenarnya dibuka.
Di sanalah duduk seorang siswi berambut pendek dengan seragam musim panas yang dilapisi dengan jas almamater. Pendingin ruangan disetel dengan nyaman, sehingga siswi itu tak perlu merasa kepanasan, atau kedinginan karena pelan-pelan suhu udara telah merangkak naik seiring musim semi telah mekar.
Siswi itu tersenyum di kursinya, dengan menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, pelan-pelan. Kakinya pun mengikuti. Helai-helai rambutnya pun mengikuti.
Satu persatu murid pun memasuki aula, atau lebih tepatnya, mereka masuk bergerombol dengan teman-temannya, saling melempar gurauan. Di antara mereka yang tidak memakai jas adalah murid tingkat satu dan dua, perwakilan adik kelas yang akan mengantarkan anak-anak tingkat tiga berpisah, sebelum mereka menginjak tingkat baru dengan adik kelas yang baru.
Lalu guru-guru masuk dengan dandanan dan kharisma mereka, tanpa melepas kewibawaan, mereka memasuki aula dengan mengangkat dagu, mengklaim diri sebagai jenderal perang yang akan meloloskan prajurit baru, yang ahli dan berbakat.
Seolah-olah, tanpa mereka, gumpalan daging yang duduk di bangku sekolah itu tetaplah menjadi seonggok daging yang akan membusuk di tempat sampah.
Namun, gadis itu tetap tersenyum dan bergumam, bersenandung ria ke kanan dan ke kiri seiring tempat duduk di sekitarnya mulai penuh. Seakan diingatkan oleh sesuatu, mulutnya membulat sempurna, lalu mengaduk-aduk tas sekolahnya hanya untuk mengambil sebuah jepit yang terbuat dari seutas kawat tipis, kawat itu ditekuk jadi dua dengan gerigi di ujungnya. Ia sibak sedikit rambut di telinga kirinya, lalu ia semat jepit yang segera tertahan itu di atas telinga. Kini, telinga kirinya bebas merasakan angin dari AC.
Masih dengan senyum di wajahnya, ia mengedarkan pandangannya pada apapun yang ada di sekelilingnya. Siswa-siswi yang masih bercengkrama dengan riang, melempar lelucon atau melempar topik nostalgia. Atau apapun itu sebelum mereka nanti akan menangis karena saatnya berpisah.
Saatnya berpisah.
Mata bulat itu lalu menengadah ke atas, melihat plafon aula yang dipersiapkan membentuk trapesium untuk memantulkan suara. Aula ini rangkap menjadi gelanggang olahraga--utamanya seperti basket dan voli--jadi wajar saja jika langit-langitnya sudah didesain sedemikian rupa untuk memaksimalkan suara pengguna ruangan setinggi sepuluh meter itu. Yang siswi itu tidak tahu adalah kenapa langit-langitnya tidak disusun seperti anak tangga--seperti ruangan musik di sekolah mereka atau bioskop di mal-mal?
Ya ya ya, sesuka mereka saja, lah.
Matanya ia arahkan turun dari langit-langit menuju area panggung. Siapapun tim dekorasinya, siswi itu akan sangat berterima kasih karena dekorasinya sempurna tanpa perlu terlihat berlebihan. Hanya sterofoam panjang dengan tulisan yang dicat, serta karangan bunga.
Itu saja mampu menghangatkan hatinya, tetapi, acara tetap harus berjalan, 'kan?
Suara denging mikrofon menggema, pembawa acara dan beberapa orang yang bertugas melakukan pengecekan singkat sebelum memulai acaranya. Siswi itu tak sabar.
"Aha, ini berfungsi dengan baik," gumam pembawa acara yang terekam lirih di mikrofon.
Beberapa murid tingkat satu dan dua yang bergabung sebagai panitia mulai hilir mudik membawa nampan berisi minuman gelas dan membagikannya pada para guru yang duduk di pinggir kanan dan kiri--mengelilingi para murid yang duduk di tengah aula yang menghadap ke panggung.
Tidak ada orang tua di acara perpisahan di SMA mereka--layaknya SMA lain yang ada di Jepang. Walau memang tidak apa-apa mengundang para orang tua, tentu saja sebagian besar orang tua mengerti bahwa acara perpisahan adalah acara yang penting bagi anak-anaknya. Sehingga mereka memilih merayakan itu di rumah, di atas tatami dengan makanan panggang sendiri dan sang ayah akan mabuk dengan sake. Dengan tidak adanya orang tua di dalam aula itu, sehingga para siswa dan siswi tidak akan merasa terbatasi, mereka akan memaksimalkan waktu yang ada untuk saling bercengkrama dengan teman-teman mereka.
Suasana yang menyenangkan, siswi berambut pendek yang tak henti-hentinya melepas senyumannya itu tak menyangka pada akhirnya dia jadi larut dalam kebahagiaan.
Dia semakin tidak sabar.
Oh, dan seperti ditepuk lagi, sebelum pembawa acara memulai acara, ia kembali berdiri dan celingukan. Tak lama untuk menemukan siapa yang ia cari, seorang siswi cantik berambut panjang, duduk di antara seorang siswa berkacamata dan seorang siswa dengan badan tegap serta sedikit lebih tinggi daripada para laki-laki di sana. Ia merogoh beberapa benda di dalam tasnya, tiga kotak yogurt rasa anggur.
Siswi itu dengan hati-hati mengucap permisi seraya keluar dari barisan kursinya, tentu saja berusaha keras agar tiga kotak di tangannya tidak jatuh.
"Episode kemarin bagus banget, loh menurutku!" ujar si lelaki culun.
"Ya, benar! Lima episode pertama saja sudah terlihat bagusnya! Aku yakin jelas tidak akan bosan, Minami kau harus mencobanya," balas siswa satunya.
"Tetapi, aku masih cinta BL." Balasan si siswi berambut panjang mengundang tepukan jidat dari dua teman cowoknya.
"Permisi." Suara itu membuyarkan topik mereka.
Yang dipanggil Minami, serta dua siswa lainnya bergerak dan memasang ekspresi campur aduk yang tidak dapat dibaca saat melihat si siswi di sebelah mereka.
"Buat kalian! Ini yogurt kesukaan ki--kalian, kuharap kalian menikmatinya. Ini hari terakhir kita, tolong terima." Siswi itu tersenyum.
Saling memandang sejenak, mereka bertiga berujung menerima yogurt kotak dari siswi rambut pendek itu sambil mengucap terimakasih. Ucapan sama-sama terdengar lirih seiring siswi itu berusaha keluar barisan untuk kembali ke tempat duduknya. Minami menoleh mengikuti gerakan siswi itu--ia duduk di lima baris di belakang mereka.
Bertahan di tengah dengungan para ratu lebah dan para pekerjanya.
Minami lebih ke tidak peduli, ia kembali ke depan, menghadap panggung setelah suara denging memekakkan dari panggung kembali menggema di bawah ruangan dengan langit-langit trapesium.
"Selamat pagi dan selamat datang di acara kelulusan tahun ketiga!" ujar pembawa acara--seorang guru kesenian dengan nada semangat.
Setelah berbalas salam, seluruh rangkaian acara diucapkan supaya para murid menyimak berbagai urutan acaranya--setidaknya tidak mati penasaran akan apa yang terjadi di atas panggung nanti. Setelah itu seorang dirijen naik ke atas panggung, seluruh orang yang ada di aula berdiri dan lagu nasional dinyanyikan.
"Baiklah, mengawali acara kita pagi ini, di tengah hujan sakura dan hangatnya mentari, Kepala Sekolah dipersilakan menaiki panggung."
Lalu seorang pria yang mirip dengan Kenzo Abe menaiki trap tangga satu demi satu, mengetes mikrofon podium dengan mengetukkannya berulang kali.
"Selamat pagi dan selamat datang! Saya, sebagai kepala sekolah, memulai acara kelulusan ini dengan perasaan penuh sukacita--"
Siswi itu tersenyum.
Saya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOTSUGYOU SHIKI (卒業式)
Misterio / SuspensoIni adalah hari kelulusan mereka. Kesedihan dan kebahagiaan akan bercampur aduk mengiringi terbukanya gerbang untuk mereka melangkah ke masa depan. Namun, Rei Noboru, memilih untuk memutar mundur waktu, dan menutup gerbangnya. --- Menurut kesaksian...