***
Keep vote and comment. Happy reading!
***
Frans mengantar Irena pulang ke rumah sesuai janjinya. Sedan hitam miliknya ia parkir di depan gang karena satu-satunya akses menuju rumah kontrakan Irena hanyalah dengan melewati gang kecil yang hanya bisa buat jika dilewati sepeda motor.
"Saya bisa sendiri," Irena mengambil alih tas berisi baju ganti miliknya dari tangan Frans. Wajahnya yang datar membuat sikapnya terlihat dingin di mata Frans, namun pria itu membalasnya dengan senyuman.
"Pepatah mengatakan, membantu orang jangan setengah-setengah," Frans mengambil kembali tas itu dari tangan Irena.
"Kalau prinsip hidupmu seperti itu, populasi orang susah di muka bumi bisa menipis." Irena menjawab asal.
"Masa sih?" Frans mengangkat sebelah alisnya, terkekeh. Irena jadi bertanya-tanya apakah ada ucapannya yang terdengar lucu, mengingat pria itu selalu tertawa dan tersenyum setiap berhadapan dengannya.
"Ya."
"Contohnya apa?" Tanya Frans.
"Misalnya kamu nolongin pengemis di lampu merah. Kamu kasih dia uang dua ribu, lalu pengemis itu bilang kalau anaknya belum sekolah, beras belum beli, dan anaknya belum punya jodoh. Memangnya kamu mau menanggung semua kebutuhan dia dan jadi jodoh anaknya? Nggak kan?"
"Hmm," Frans mengelus dagunya dan berlagak berpikir keras selama beberapa waktu dan kemudian berkata, "Karena saya bilang nolongin orang nggak boleh setengah-setengah, bisa jadi saya akan melakukannya. Kalaupun saya nggak mau sama anaknya, saya akan carikan abang-abang PKL yang kerja keras walaupun sering dikejar-kejar kamtib.
Irena memutar matanya. Dasar gila, ucapnya dalam hati. Ia masih berhutang pada Frans, jadi ia mencoba menjaga sikap dan ucapannya sebagai bentuk terimakasih karena sudah ditolong. Jika tidak, ia pasti sudah mengatai lelaki itu gila secara langsung. Ya, ia masih tahu diri.
"Yang ngemis bukan cuma satu orang, kamu tidak bisa menolong semuanya dan menolong mereka sampai akhir. Begitu juga dengan saya, kamu cukup membantu saya sampai di sini. Saya tidak akan lari, saya sudah memberi kamu alamat lengkap tadi. Jadi kamu tidak perlu antar saya sampai ke depan rumah."
"Memang benar," jawab Frans sembari menatap Irena. "Tapi saya bantuin kamu karena saya ingin. Menolak bantuan orang itu tidak baik, Ren. Jadi kamu bisa tunjukkin rumahmu ada di mana?"
Irena menghela nafas, dan akhirnya setuju untuk menunjukkan jalan pada Frans. Perlu ia akui pria itu terlalu cerdas untuk bermain dalam kata-kata sehingga Irena tidak bisa menolak karena lelah berdebat. Tidak lama kemudian, mereka tiba di rumah kontrakan Irena dan ibu Irena membukakan pintu.
"Ya ampun Ren, mama udah kepengen banget nemuin kamu pas tahu kamu sadar. Tapi Nak Frans bilang kamu bisa langsung pulang hari ini juga." Ibu Irena memeluk putrinya. Setelah memastikan bahwa putrinya baik-baik saja, tatapannya beralih kepada Frans dan mengambil tas putrinya.
"Nak Frans, terima kasih banyak. Tante tidak tahu harus bilang apa lagi selain terima kasih."
"Sama-sama, tante. Saya kan temannya Irena, jadi sudah seharusnya saya membantu. Benar kan, Ren?" Tanyanya yang sukses membuat Irena kebingungan.
Padahal mereka berdua baru kenal, sejak kapan mereka menjadi teman?
Frans akhirnya pamit dan ibu Irena pun masuk terlebih dahulu ke dalam rumah. Namun ada sesuatu yang mengganggu pikiran Irena sehingga ia memanggilnya.
Frans menoleh. "Ya?"
"Sejak kapan kita ini teman? Kamu bilang apa ke mama saya?"
"Saya bilang kalau kita ini teman kampus. Kenyataannya memang begitu kan? Kita ternyata sekampus Cuma beda fakultas." Ia justru balik bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STS 3 - ALLIUMPHOBIA
RomanceIrena Wisessa mengidap fobia langka bernama "Alliumphobia", yang berarti ketakutan berlebih terhadap bawang putih. Karena fobianya itu, Ia dijauhi dan dikucilkan oleh semua orang dan membuatnya pesimis terhadap persahabatan dan menutup diri. Namun...