Flashback; Bertemu Kebahagiaan

7 1 0
                                    

Seul Gi terus berlari dengan napas yang tersengal. Sesekali ia melirik arloji di tangannya yang telah menunjukkan pukul 08.30 KST. Sneakers red brick pemberian ayahnya terus melaju beradu dengan jalanan aspal yang agak sedikit basah karena guyuran hujan semalam.

Langkahnya terhenti di depan sebuah rumah berwarna biru muda dengan taman bunga warna warni yang menghiasai pekarangannya. Seul Gi masih berdiri dengan napas yang masih belum teratur. Bibir mungilnya menyunggingkan senyuman sambil terus ditatapnya rumah itu dengan gairah yang luar biasa. Ia membetulkan hoodie yang senada dengan warna sneakersnya. Ia kembali merapikan rambut ikal sebahunya yang tadi sedikit kacau karena terpaan angin.

"Aku siap! Hari ini, aku siap bertemu denganmu. Seperti apa dan bagaimanapun rupamu, aku sungguh siap... Hari ini, setelah belasan tahun berlalu.. Inilah yang paling kutunggu.." Gumamnya dengan lirih.  Ia mengeluarkan sebuah frame dari dalam ransel biru langit miliknya. Ia menimang dan memeluk frame itu.
"Aku siap bertemu dengan kebahagianku..." Ia tersenyum  sehingga lesung pipinya terlihat begitu cantik.

Sebelum kakinya melangkah lagi, di ujung pintu rumah itu sudah mematung seorang pria paruh baya. Pria berbadan tegap dengan setelan jas yang sangat pas dengan posturnya. Kacamata bertengger manis memberi kesan berwibawa. Seul Gi yang berdiri di seberangnya tersenyum hangat sambil melambaikan tangan pada lelaki kekar itu. Ia berlari menghampirinya.

"Kang Seul Gi.. Annyeong.." Suara berat pria itu terdengar begitu lembut dan penuh kasih sayang pada Seul Gi. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya dan membelai kepala Seul Gi sambil sedikit mengacak-ngacak rambut ikal hitamnya.

"Ahjussi... Di mana Eommaku?" Tanpa menghiraukan pria itu Seul Gi langsung bertanya tentang ibunya. Mendengar itu semua, senyuman pria itu membeku. Wajahnya yang tampan begitu terlihat gusar. Beberapa saat pria itu membisu, berpikir sejenak lalu kembali menatap Seul Gi dengan senyumannya yang teduh.

"Ibumu.. Uummmm... Seul Gi-yaaaa ayo kita masuk dulu..." Pria itu menarik lembut lengannya, menuntunnya masuk ke dalam rumah.

"Ahjussi, kenapa aku begitu gugup.." Seul Gi berjalan dengan perlahan di belakang pria itu.

Memasuki ruangan, kedua mata indahnya terus bergerak liar mencari satu sosok yang memang sudah ditunggunya. Hari Minggu ini memang sudah lama Seul Gi nantikan.

"Ayo, kita duduk dulu". Pria itu mengajak Seul Gi duduk di sebuah sofa berwarna putih bersih. Di depannya terdapat sebuah piano besar dengan rak buku yang terpajang mengitari hampir seluruh ruangan bernuansa putih itu.

"Rumahmu sungguh indah.. Aku pikir Appa hanya bergurau saja..." Seul Gi berbicara dengan sangat lancar. Tapi matanya tetap tak bisa tenang dan terus memerhatikan sekitar.

"Indah memang, tapi sepi..." Pria itu menimpali dengan ringan sambil membetulkan posisi sandarannya pada sofa. Pria itu seperti bersiap berbicara lebih serius dengan Seul Gi. Dia menyondongkan tubuhnya ke arah Seul Gi.

"Uri eommaneun..."

"Dia tidak ada..." Pria itu memotong perkataan Seul Gi dengan pasti dan penuh keyakinan. Dia menatap Seul Gi sangat dalam.

Seul Gi membisu. Dia terus menatap tak percaya pada apa yang didengarnya dari mulut pria itu. Seul Gi terlihat gugup dan terus mencari ke segala arah.

"Keundae, Ahjussi.. Itu..." Seul Gi berbicara terbata. Seperti ada bongkahan es dikerongkongngannya sehingga sulit sekali mengeluarkan suara. Air mata yang tak terasa tiba-tiba bergulir diujung matanya.

Pria itu merengkuh pundaknya, menatap dalam pada matanya.

"Jangan menunggunya, Seul Gi-yaa.." Suara pria itu seperti sebuah sayatan pisau. Menusuk dan menyakitkan. 

Selama ini yang bisa kulakukan memang hanya menunggunya.

Seul Gi membatin. Ia sungguh tak tahu harus bereaksi seperti apa dan berkata apa. Tubuhnya begitu kaku dan sulit untuk digerakkan. Lidahnya kelu menelan kekecewaan. Yang Ia rasakan kini hanya dekapan hangat pria itu yang sama sekali tidak membantunya menyingkirkan kenyataan pahit ini. Kenyataan pahit bahwa keinginannya untuk bertemu dengan kebahagiaan miliknya lenyap sudah. Bodohnya, ini untuk yang kesekian kalinya.

Dalam dekapan pria itu, Seul Gi hanya bisa menangisi kebodohannya.

Impian SeulgiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang