Empat

148 7 0
                                    

Selasa pagi pukul sembilan. Wajah sangar Berto menjadi lebih jinak setelah melihat email dari markas besar. Kabareskrim Polri melampirkan surat keputusan untuk melanjutkan penyelidikan kasus enam tahun lalu.

Artinya kepolisian setuju untuk membuka kembali kasus enam tahun lalu agar dapat mendapatkan pembunuh Ramon.

Senyum sumringah mengembang lebar. Senyum itu bukan untuk dirinya. Tapi dia tahu bahwa kawannya, Abhi, akan sangat senang melihat keputusan ini. Mana tau sepucuk surat bisa menjadi obat duka yang telah dia pendam bertahun-tahun.

"Sekarang kamu sudah dapat izin." Katanya dalam hati.

Bunyi berderak printer terdengar. Mesin hitam kotak itu mulai bekerja mencetak selembar kertas. Sangat hati-hati Berto memasukan surat itu dalam amplop coklat berlogo Tribrata di pojok kiri atas.

"Lea."

Sepersekian detik pintu ruangannya diketuk. Lea lalu memutar knob pintu.

"Siap, Pak!"

"Tolong kamu kasih surat ini ke Abhi. Sekaligus mulai sekarang kamu bantu dia dalam penyelidikan."


***


Matahari baru lewat 20 derajat dari khatulistiwa. Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan rumah ujung paling pojok komplek perumahan Jonggringsaloka. Mobil itu segera berputar balik. Jo harus kembali ke kantor segera untuk menghantar Berto pergi.

Lea turun dari kendaraan dan langsung melakukan kebiasaannya untuk memperhatikan keadaan sekitar. Matanya tertuju pada sebuah bangunan dua lantai yang berdiri di tengah taman bunga. Tidak ada pagar besi melindungi rumah itu. Hanya deretan semak willow dan kenanga membatasi pekarangan dengan jalanan. Di taman depannya berjajar lima pohon kamboja putih. Sebuah sungai buatan lengkap air terjun imitasi mengalir pada sisi dalam taman. Sungai itu penuh dengan ikan koi warna-warni. Seluruh desain taman menyatu keindahannya dengan rumah minimalis beraksen khas bali.

Kaki Lea mulai melangkah masuk. Menjejaki batuan koral putih yang sengaja dibuat jadi jalan setapak berkelok memotong kandang kelinci di sisi kanan taman.

"Cantik." Ia menggumam menikmati keindahan desain rumah.

Dua buah patung Dwarapala kecil berdiri di samping pintu seakan memperhatikan siapa-siapa saja yang hendak masuk. Namun yang menarik perhatian Lea adalah keset coklat tua di bawah kakinya. Keset ijuk besar dengan tulisan "You're not welcome."

"Ini orang ya!" geram Lea gemas. Baru kali ini dia menemui orang yang sombong, angkuh, dus anti sosial. Apa tidak bisa dia cari keset yang lebih ramah. Paling tidak gunakan saja keset tanpa motif. Kalau begini kan sebelum masuk rumah tamu sudah duluan muak.

Penuh gemas Lea mengetuk pintu. Tidak tau kenapa selalu saja laki-laki itu membuatnya kesal. Apa sulitnya sih menjadi manusia normal. Bersopan santun dan ramah tidak butuh usaha ekstra kok.

Pintu terbuka. Abhi berdiri dengan wajah kaku dan tatapan seperti singa lapar.

"Mas, kesetnya tolong diajarin sopan santun dong." Sembur Lea begitu melihat Abhi.

"Kamu marah hanya karena keset?" kening Abhi mengkerut. Matanya memicing keheranan. "Kamu mau masuk atau bikin sekolah gratis untuk keset saya?"

"Ih, dengar ya Bapak Abhivandya! Meskipun Anda teman atasan saya bukan berarti saya bisa menerima semua ketidak sopanan Anda!"

"Oh, OK." Jawab Abhi seraya mengangguk. "Toh saya juga tidak peduli."

Lea menggeram kesal dengan wajah merah padam.

VenganzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang