Tujuh

102 3 0
                                    

"Jadi begini. Komitmen Bapak Presiden jelas sejak awal ingin memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakat. Karena itu kami masih menunggu perkembangan kasus ini. Jika bisa diselesaikan sesuai tenggat yang diberikan, artinya bagus. Kita memiliki institusi Kepolisian yang handal. Tentu ada penghargaan bagi mereka. Namun jika tidak, pastinya kita harus cari pimpinan lain yang mampu membuat Polisi menjadi lebih baik. Sehingga fungsinya sebagai pengayom masyarakat dapat dijalankan."

Lea menekan tombol volume agar lebih keras. Berita itu pasti menarik perhatiannya. Terlebih menyangkut kondisi internal kepolisian.

Sejak terjadi penyerangan pada Abhi beberapa hari lalu, situasi politik dalam institusi Polri bergejolak. Beberapa petinggi yang enggan kehilangan jabatan tiba-tiba merapat ke satu nama terkuat calon pengganti Kapolri saat ini. Dia adalah Wibisana.

Meskipun kasus ini berada di bawah tanggung jawabnya namun dia masih terbilang aman. Isyarat dari RI 1 memberi sinyal hanya akan mencopot pucuk pimpinan tertinggi jika terbukti tidak mumpuni.

"Gara-gara kamu ini, Mas." Lea menyibakkan rambut lalu menepuk pelan kaki Abhi.

"Lho, kok aku? Aku saja bukan anggota Polisi." Abhi menganga dengan wajah sedikit kaget. Jika dia punya pengaruh sebegitu besar pada kondisi internal Kepolisian, mungkin sebaiknya dia yang menjadi Kapolri.

"Ini karena kamu tidak hati-hati!" Balas Lea seraya menjewer lembut daun telinga Abhi. "Jalan sendirian malam-malam bikin kamu jadi sasaran empuk. Apalagi kalau pembunuh itu tahu kamu masih hidup, dia pasti akan terus mengejar kamu. Pokoknya mulai sekarang kamu tidak boleh keluar sendirian!"

Frasa yang digunakan Lea menggelitik benak Abhi. Itu bukan bahasa yang diucapkan seorang Polisi. Harusnya perempuan itu bilang 'tidak boleh keluar tanpa pengawalan.' bukan 'tidak boleh keluar sendirian.' Jelas dua kalimat itu berbeda arti, berbeda makna dan diluar kebiasaan doktrin prajurit. Tapi untuk apa dia memikirkan hal itu. mungkin saja Lea sedang terselip lidah karena terburu bicara.

Berpikir tentang kalimat, Abhi menyadari sesuatu. Sejak kapan dia pakai Bahasa aku-kamu dengan Lea. Ah, otaknya mulai konsleting.

Abhi merengut mengalihkan pandangan keluar jendela. "Orang sakit kok dijewer."

Lea menjulurkan lidah lalu berbalik ke meja di sudut kamar. Ia mengambil sebundel dokumen yang semalam dibawa oleh Ganesh.

"Kamu sudah mau lihat ini?"

Abhi mengangguk.

Lea menyerahkan bundelan dokumen berisi laporan terbaru lengkap dengan beberapa foto lokasi. Rupanya sudah ada perkembangan. Dua gereja dan sebuah kapel menyatakan pernah melihat Bael. Masing-masing gereja di Surabaya, Bali dan sebuah kapel di Solo yang berkata baru satu tahun lalu lelaki itu pergi. Bramantyo hanya sempat tinggal sepuluh hari di sana. Total ada lima lokasi dimana target mereka pernah berlindung.

"Menarik." Gumam Abhi.

Lea mendekatkan tubuhnya. Sebegitu dekat hingga hidung Abhi yang lecet terkena pecahan kaca bisa mencium aroma lembut citrus dari tubuh gadis itu.

"Kenapa, Mas?"

Telunjuk Abhi mengarah pada gambar sebuah altar kecil di Kapel Maria Regina Caeli, Solo.

"Sebelumnya Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bali. Gerakannya semakin menjauh dari ibu kota. Aku pikir dia akan mengarah ke Larantuka. Satu-satunya kerajaan bercorak Katolik di Indonesia. Tapi kenapa dia harus kembali lagi ke pulau Jawa? Lagipula kapel itu dipegang Templar Representative. Semua Luciferan tahu, gereja mungkin menerima mereka tapi tidak dengan para Templar."

VenganzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang