Masih ingatkah kamu momen ketika kita pertama berjumpa? Atau sudah lupa? Mari aku ingatkan. Sekilas saja, agar pikiranmu tidak terlalu berkecamuk dan kamu bisa terus fokus bekerja. Tenang, aku takkan membahas bagian pilu dan mungkin akan sedikit malu sendiri ketika mengingatnya.
Waktu itu, kita sama sekali tak kenal satu sama lain jika tidak ada seorang guru yang menyuruh kita untuk berkenalan. Terlebih lagi, aku tak ingin banyak berkenalan dengan orang lain. Repot, pikirku. Berkenalanlah kita, singkat. Lalu kamu sibuk dengan ponselmu, setelahnya kamu pergi ke kafetaria bersama temanmu meninggalkanku yang sedang cemas memikirkan hasil lomba yang baru saja aku ikuti.
Masih tergambar jelas dalam benakku, saat itu kamu sedang asyik mendengar lagu dari iPod versi terkini yang membuatmu tersenyum-senyum kecil. Saat itu kita masih berkemeja putih dengan bawahan berwarna biru. Jaman masih lucu-lucunya. Lagunya tidak asing ditelingaku. Maksudku, bahasa dalam lagu tersebut. Saat itu juga sekaligus aku mengenalmu, tentunya tahu namamu juga yang sampai saat ini tidak pernah luntur di ingatanku bahkan, mungkin, tidak akan pernah terlupa sampai kapan pun.
Setelah itu, kita hampir tak berkomunikasi. Hanya saling menyapa tanpa mempedulikan satu sama lain. Lagian untuk apa aku kenal dengan seseorang yang tidak memberikan benefit untukku. Ya, itu adalah pikiran paling realistis sekaligus kejam untuk ukuran anak SMP--yang baru saja menginjak masa pubertas. Aku sungguh tak dekat denganmu dan tidak ada alasan sedikitpun untuk: mengapa aku harus mendekatimu. Ada, sih: orang cantik memang pantas untuk didekati. Namun tak terlintas sedikitpun di benakku untuk mendekatimu.
Hanya dengan mengetahui namamu saja itu sudah cukup. Paling nanti aku akan menghubungi jika aku butuh tumpangan pulang ke rumah dari sekolah atau saat kamu butuh jasa penyelesai soal matematika dan IPA.
Pikirku saat itu.
Dan kini, aku memutuskan untuk mengenangmu. Mengulas kenangan kita berdasarkan sudut pandangku. Bukan untuk dijadikan ajang sedih-sedihan, tapi untuk mengingatkanku bahwa dunia tidak semudah dan seindah apa yang dipikirkan seorang remaja yang baru saja menginjak masa pubertas. Terutama tentang hati dan komplotannya. Bukan hati yang dipelajari di biologi, tapi hati yang dipelajari di psikologi.
Bogor, 16 Agustus 2018.
Saat jam di dinding sudah membentuk sudut 180 derajat dan jarum pendeknya mengarah angka sembilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati yang Jarang Tersakiti
PuisiSebuah penggalan kata yang tercurah tanpa paksaan. Ditulis tidak sedang dalam keadaan sedih. Bisa saja saat menulisnya terasa perih karena ada saatnya harus teringat kenangan yang sedikit tak manis. Tapi tetap bahagia. Isinya terkadang panjang, pe...