[01] Dia ....

22 1 0
                                    

[Saiko POV]

Pagi hari di musim semi, aku duduk di atas pembatas kayu pada balkon suatu kuil megah di tengah hutan. Tempat itu terletak tepat pada lantai lima dari dua belas lantai yang ada di kuil mistis ini, menghadap ke utara dan memiliki pemandangan hutan lepas tanpa pegunungan.

Entah sudah berapa lama aku berada di tempat ini, tetapi yang pasti itu bukanlah waktu yang sebentar. Dua Tahun? Mungkin saja lebih dari itu.

Tepat pada hari itu, semua hidupku berubah drastis. Masa depanku, nyawaku, dan segala dalam hidupku dihancurkan olehnya. Gadis berambut hitam itu, sungguh dia benar-benar menghancurkan semuanya. Dengan tanpa berperasaan membunuh semua bawahan dan rekanku, kemudian tanpa ampun membunuhku berkali-kali.

Alasanku masih bisa duduk santai di atas pembatas kayu seraya menikmati pemandangan hutan seperti ini mungkin karena hal itu, sebuah kekuatan mistis milik gadis itu yang membuatku masih tetap hidup. Tapi, ku rasa itu kurang tepat kalau dikatakan membuatku hidup.

Aku hidup kembali lebih tepatnya, atau lebih tepatnya lagi dia melakukan Reanimation pada tubuh dan jiwaku untuk menghidupkanku secara paksa. Walaupun aku mati, dia menghidupkanku kembali lagi dan lagi selama dua tahun terakhir ini. Entah aku mati karena bunuh diri ataupun dibunuh olehnya, gadis itu tetap menggunakan Reanimation padaku. Ratusan, ribuan, aku tidak tahu pastinya. Aku telah berhenti menghitungnya semenjak itu mencapai angka seribu.

Tentu saja aku berusaha kabur atau melawan balik, tetapi itu percuma. Saat aku menawannya, dia membunuhku dengan tanpa mengeluarkan keringat sedikitpun. Saat aku mencoba kabur dari reruntuhan kuno ini, seketika tubuhku meledak dari dalam tepat sesaat setelah kakiku menyentuh tanah di luar kuil, kemudian saat aku membuka mata kembali diriku telah terbaring di dalam aula besar yang terletak di lantai satu kuil ini dengan gadis itu duduk di dekatku.

Aku tak tahu namanya, aku sama sekali tidak paham dirinya. Selama aku tinggal di tempat ini, dia hanya berbicara tiga kali padaku. Yang pertama saat aku pertama kali bertemunya di tragedi itu, kedua saat dia memberitahuku nama kekuatan yang digunakan untuk menghidupkanku, dan yang terakhir saat dia memperingatkan diriku untuk tidak keluar dari tempat mistis ini.

Jujur saja, entah mengapa sekarang aku mulai tidak peduli dengan segalanya, bahkan dengan amarahku saat semua rekanku dibunuh olehnya sudah tak terasa lagi.

"Ah, mungkin seperti ini terus berlangsung saja tak apa." Entah itu bisikan setan atau apa, tapi hal itu belakangan ini sering terlintas di benakku.

Yah, itu benar saja. Di tempat ini aku disediakan makanan yang datang entah dari mana, pakaian ganti setiap hari, dan tak perlu kesusahan dengan air. Kalau dibandingkan dengan kehidupan di luar sana, tempat ini ratusan kali lebih baik. Kalau saja dia tidak datang untuk membunuhku setiap hari, mungkin keseharian di tempat ini akan jauh lebih baik.

Aku mendapat Kimono untuk dikenakan, setiap harinya selalu ada makanan sederhana seperti Onigiri atau nasi dengan lauk ikan untuk dimakan, dan bahkan aku masih bisa berlatih keahlian pedangku di tempat ini, ku rasa tidak ada yang lebih baik dari mendapatkan semua itu secara gratis.

[Catatan: Onigiri; nasi kepal yang dilapisi Nori atau rumput laut kering. Kimono; pakaian tradisional jepang.]

Aku memang khawatir dengan adikku yang ada di desa, tapi percuma merasakan hal itu karena aku tidak bisa pergi dari tempat ini. Kalau diingat kembali, seharusnya dia mendapat beberapa ribu koin emas setelah aku pergi, ku rasa jumlah itu cukup untuk bisa bertahan hidup lima sampai delapan tahun ke depan. Aku tahu ini pemikiran naif, di dunia ini tidak ada yang berjalan sesuai kehendak, aku tahu hal itu dengan sangat baik.

"Aku harap Reiko baik-baik saja," ucapku seraya menghela napas.

Ketika aku mulai tenggelam dalam pikiranku, sebuah langkah kaki di atas lantai kayu terdengar. Aku menoleh, dari arah langkah kaki itu terlihat gadis berambut hitam yang menatap dingin ke arahku.

Saat aku melihatnya entah mengapa sebuah kata seperti, "Ah ... hari ini juga sudah waktunya?" terlintas di kepalaku.

Aku turun dari atas pagar pembatas, kemudian berdiri menghadap perempuan yang berpakaian layaknya seorang gadis kuil tersebut. Seperti biasanya dia menatap dengan diam, dan seperti biasanya aku berjalan ke arahnya seraya menarik Katana dari sarung pedang yang diikatkan bersama sabuk Obi yang ada di pinggangku.

[Catatan: Katana; pedang tradisional jepang yang memiliki satu mata pedang tajam dan difokuskan untuk memotong. Obi; sabuk untuk Kimono.]

Aku memainkan pedang seraya sedikit mencoba mengecoh gadis itu tapi itu tidak berhasil, dia sama sekali tidak peduli akan hal itu. Sambil memasukkan kembali Katana ke dalam sarung, aku berhenti mendekat dan memasang kuda-kuda teknik Iai.

[Catatan: Iai ; teknik menarik pedang dalam sarungnya dengan kecepatan tinggi.]

Kedua lutut sedikit ditekuk dengan kaki kanan sedikit lebih maju dari kaki kiri, tubuh agak condong ke depan, tangan kanan memegang gagang Katana di sebelah kiri pinggang. Aku mengatur pernapasan dan mulai memusatkan tenaga dalamku dalam satu serangan yang akan dilancarkan ini.

Meskipun telah memasang kuda-kuda dan menunjukkan hawa membunuh, gadis itu tetap diam sambil menatapku. Dia mulai melangkahlah kaki, mulai mendekat satu demi satu langkah ke arahku. Aku mengamati gerak-geriknya dari langkah kaki yang mengenakan kaos kaki kain, kibaran Hakama dan Haori yang tertiup angin dari arah belakangku, dan rambut hitam yang berkibar anggun.

Tetapi saat semuanya diamati seperti itu, tiba-tiba gadis itu menghilang dari hadapanku dalam hitungan detik. Aku berusaha untuk tenang, ini bukan pertama kalinya dia bergerak secepat itu di depanku. Sambil memejamkan mata, aku berusaha menangkap keberadaannya dengan pendengaran.

"Sialan! Kau pikir aku tidak belajar setelah ratusan kali terkena ini!!"

Aku mengacuhkan semua indra yang ada kecuali pendengaran dan perasa. Suara dari langkah kakinya terdengar berlari memutariku, angin yang timbul dari gerakannya dapat aku rasakan terutama di tempat dengan alur angin cukup kuat seperti ini yang membuat perubahan laju angin menjadi jelas.

Saat dirinya berada dalam jarak seranganku, aku langsung menarik Katana dari sarung dengan secepat kilat dan menggunakan teknik [Tebasan Pertama: Pembalik Alur] ke padanya. Teknik itu adalah sebuah tebasan secepat kilat yang bahkan bisa setara dengan kecepatan suara, paling tidak seharusnya begitu.

Suara yang terdengar seperti logam yang saling bertabrakan terdengar. Tebasanku memang mengenai tubuhnya tepat pada bagian perut dan menghentikan pergerakannya, tapi gadis itu tetap berdiri tanpa luka sedikitpun, bahkan pakaiannya sama sekali tidak terpotong.

Saat melihat itu seketika aku menyerah untuk kali ini. "Ah, hari ini juga," itulah yang ada dalam pikiranku. Kemudian, sama seperti sebelum-sebelumnya dia langsung mengayunkan tangan kanannya ke arahku dan menyebabkan distorsi ruang yang membuat tubuhku terbelah menjadi dua bagian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ReanimationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang