Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil memutar mataku ke kiri dan ke kanan. Tanganku ditarik dengan cepat oleh Eries sehingga membuatku harus melebarkan langkah agar tidak tertinggal.
Dengan langkah cepat, gadis yang berusia beberapa tahun lebih tua dariku itu membawaku menuju seorang pria yang sedang memanggul senjata laras panjang di tangannya. Aku menahan napas dan mengalihkan tatapanku.
"Permisi. Bang, boleh minta foto bareng gak?"
Angkatan berwajah hitam manis itu hanya tersenyum dan mengangguk sambil menurunkan senjatanya. Eries menarikku serta memposisikan aku di samping pria itu dan dia lantas mengambil posisi setelahnya, sementara aku berusaha memijit kepalaku yang mendadak pening.
Eries dan aku bertukar posisi beberapa kali. Ah, kalau sampai ada muridku yang melihat bisa tercemar wibawaku sebagai seorang guru.
Eris terus menarikku ke tempat lain. Kegilaannya tidak hanya berhenti sampai di situ. Gadis itu melebarkan tatapannya, memindai semua orang yang ada di area Lapangan Upacara Putri Kemuning. Aku sedikit menyesal karena mau-mau saja mengikuti keinginan Eries.
"Yang itu?" ujarku dengan enggan sambil menunjuk pasukan paskibraka yang memakai seragam merah dengan celana putih dilengkapi senjata di tangannya.
"Jangan, yang itu jelek," ujarnya sarkastik.
Oh, Tuhan. Aku nyaris frustasi. Berpuluh-puluh pasang mata menatap dengan tatapan mengintimidasi seolah kami adalah sekelompok orang pencari sensasi.
Aku berlari kecil berusaha mengimbangi langkah kaki Eries, yang melangkah dengan tergesa. Matanya sibuk menandai sasaran target. Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, akhirnya wanita itu menyerah. Giliranku yang mendadak punya keinginan nyeleneh. Aku menatap serombongan kelompok tamu VVIP yang baru keluar dari panggung upacara dan berbaris bersama rombongan bupati di depan banner untuk konferensi pers.
"Kak, sekali lagi," pintaku dengan tatapan memohon sambil menunjuk sekelompok massa yang sedang mengambil gambar.
Aku menatap dua orang pria berusia setengah baya dengan satu orang lainnya yang kira-kira berada di penghujung usia 30 tahunan. Dengan langkah canggung aku dan Eries mendekati ketiga orang itu. Ritme jantungku mulai tidak beraturan karena gugup.
Hampir sepanjang usiaku, aku belum pernah berfoto dengan lawan jenis, bahkan dengan teman sekelasku sekali pun. Wajahku sudah dirambati rona kemerahan walau hanya sekadar untuk meminta foto.
"Bapak berdua geser, Pak. Mereka mau dengan Bapak yang itu," ujar wanita tua yang dimintai tolong untuk mengambilkan foto, tanpa rasa bersalah. "Mau minta foto maksudnya,"
Wajahku sudah semerah warna kelopak sakura. Aku dan Eries bahkan tidak berkomentar apa pun, namun tampaknya wanita itu cukup mengerti isi kepalaku. Aku begitu gugup saat wanita itu mulai mengambil gambar, padahal ada Eries juga.
Pria itu tidak banyak bicara, pembawaannya tenang dan ketika dia tersenyum rasanya membuatku lupa caranya bernapas. Belum lagi tubuhnya yang tinggi atletis dengan dibalut pakaian dinas upacara dari divisi kepolisian yang nyaris penuh dengan bintang dan tanda jasa. Dia adalah sosok sempurna yang memenuhi impianku tentang seorang lelaki.
Aku bertanya-tanya dalam hati sebenarnya pangkat lelaki itu apa sehingga dia bisa duduk di kursi VVIP yang memang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berpengaruh. Belum lagi usianya juga terbilang masih muda. Jangankan bertanya, untuk sekedar menyapa saja sudah membuatku gugup, apalagi sampai menanyakan namanya dan bertukar nomor handphone. Tanganku basah oleh keringat dingin.
***
Aku dan Eries tergelak beberapa kali mengingat kelakukan absurd kami. Bagaimana pun juga aku cukup senang. Keabsurdan itu seolah memberi warna lain dalam keseharianku yang datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Lapak Jual Beli
Teen FictionKau tak akan bisa melihat takdirmu, dengan siapa kau akan bersama dan dengan siapa kau akan berakhir, oleh karena itu kau harus bisa menulis takdirmu sendiri. Seperti Salwa yang berusaha menulis takdirnya sendiri. #Highrank 3 (CyberLove) 20 Agustus...