Chapter 1

1K 99 8
                                    

Kakek bernama Kim Seokjin tinggal di Korea Selatan, Gwacheon. Kakek Seokjin sudah ditinggal sang istri 10 tahun lalu jadi sekarang tinggal bersama anak pertamanya dan cucunya. Diumurnya 70 kakek Seokjin tidak bermalas – malasan, setiap pagi dirinya dengan kakek yang lain berjoging bersama, mengikuti senam bila diselenggarakan ditaman dekat rumahnya.

Walau umurnya tidak muda lagi kakek Seokjin tetap ingat gerakkan bela diri yang pernah ia ikuti dulu, daya ingat kakek Seokjin masih seperti muda dulu walaupun keriput dan uban bersamanya.Tapi kakek Seokjin tak pernah mempraktekkan gaya bela dirinya pada cucunya yang selalu minta dilatih bela diri takut encok bersarang pada pinggangnya kambuh. Hidup kakek Seokjin berjalan manis 10 tahun ini bersama anak dan cucunya mungkin tidak untuk hari ini.

Diruang tengah keluarga Kim, kakek Seokjin mendengar percecokkan antara anak dan menantunya tentang dirinya untuk dikirimkan ke panti jompo. Apa ia merepotkan untuk mereka? Apa mereka tak membutuhkan dirinya dirumah ini? Apa mereka membencinya? Pertanyaan – pertanyaan itu terus menglayang diotaknya beberapa hari ini. Tapi kakek Seokjin tidak mau tinggal dipanti jompo, ia masih ingin bermain dengan cucunya yang lucu – lucu itu, berjalan – jalan ditaman bersama teman – temannya dan lain sebagainya.

Kakek Seokjin berjalan menjauh dari rumahnya tanpa diketahui oleh anak dan menantunya. Ia sedih mendengar pertengkaran mereka karenanya. Malam semakin larut didaerah jalan raya Gwacheon, kakek Seokjin terus berjalan tanpa tahu arah kemana ia pergi sampai pada sebuah studio foto yang tak sengaja ia lihat diseberang jalan.

Kakek Seokjin mendekat pada studio foto itu. Bisa ia lihat disana foto – foto masih tercetak hitam putih sama seperti foto pada jamannya dulu. Tak berapa lama ia melihat – lihat keluarlah seorang nenek menawari jasa foto pada kakek Seokjin.

"Kau mau aku foto sama seperti itu?" senyum terpatri pada wajah renta sang nenek. Kakek Seokjin membalas tersenyum lalu mengangguk.

"Ayo masuk." Ajak sang nenek, kakek Seokjin melangkah mengikuti nenek itu masuk kedalam studio foto.

Ternyata bukan hanya foto – foto kuno yang terpajang dikaca depan toko tetapi dalam studio juga banyak sekali alat – alat foto kuno seperti kamera kuno pada jamannya dulu.

"Duduklah disana." Sang nenek menujuk pada kursi yang dibelakangnya jam antic besar sebagai backgroundnya.

"Tolong buat sebagus mungkin, foto ini mungkin akan menjadi foto untuk kematianku nanti." Sang nenek tersenyum bisa dilihatnya kesedihan diwajah penuh keriput itu. Sang nenek tak menanggapi banyak hanya tersenyum dan mengangguk saja.

Diarahkannya kamera kuno itu pada objek kakek Seokjin dihadapannya dan cahaya dari kamera itu menyala terang bertanda tengah mengambil foto berlangsung.

.

.

Suitan – suitan tak berhenti ketika seseorang berjalan dengan santai dijalan penuh manusia yang berlalu lalang dikawasan pusat perbelanjaan Gwacheon. Suitan demi suitan itu tak berhenti yang sepertinya ditujukan pada seseorang itu dan seseorang itu mulai terganggu karenanya. Kekesalannya semakin bertambah kala beberapa orang namja menghampirinya dengan penuh goda.

"Hai cantik kenapa malam – malam begini berjalan sendiri? Apa mau aku temani?" pertanyaan itu sepertinya ditujukan untuknya. Ia berkerut dalam kala salah satu dari mereka menyebutnya cantik.

"Kau bicara padaku?" tanyanya bingung.

Namja dihadapannya tertawa keras diikuti yang lain. "Tentu saja cantik memangnya aku bicara pada hantu." Kekehnya.

Orang yang dipanggil cantik itu menggeram tak suka. "Kau bilang apa barusan?"

Namja dihadapannya ganti berkerut. "Apa ada yang salah pada ucapanku?" Tanya namja itu pada teman – temannya dan dibalas gelengan.

Revert To 17thWhere stories live. Discover now