4

1 1 0
                                    

Setelah selesai berteriak di tebing pantai, aku dan Aldred pun berjalan menuju tempat makan yang ada di pantai itu.

"Al mau makan apa?" tanyaku.
Aldred terdiam. Sambil memainkan handphone-nya.
"Al? Are you hear me?" tanyaku lagi.
Aldred tetap terdiam.
"Mba, maaf ya, saya pesan makannya nanti saja. Menu makanan nya disini saja ya Mba." ucapku.
"Oh iya, Mba. Semoga pacarnya cepat baikan ya Mba." ucap pelayan restoran lalu bergegas pergi, yang membuatku terkejut mendengarnya ialah, kalimat "pacar" ku rasa itu terlalu aneh. Kami hanya berteman. Hanya teman.

"Al lu kenapa sih?" tanyaku langsung duduk disebelahnya dan menepuk pundaknya.

"Dia. Di. Dia marah lagi sama gue. Gatau deh, gue harus gimana lagi ke dia." ucapnya.

"Udah Al, udah berkali-kali kan gua bilang, lu harus tinggalin hal-hal yang bikin hari-hari lu berat. Lu punya temen, lu punya adik-adik lu, lu punya Mama Papa, dan lu punya gua—" aku langsung terdiam.

"Kenapa Di? Kok diem?" tanya-nya.

"Enggak apa-apa kok, pilih makanan dulu nih, gua tau lu laper." alibi-ku memalingkan perhatiannya pada ucapanku tadi.

Tapi percuma. Al tetap Al, yang selalu memaksa untuk tahu. Ia memandangku. Dan aku aku mencoba diam. Melihat pemandangan pantai yang silau akibat terik matahari, juga angin yang membuatku agak sedikit lebih menenangkan.

"Audie, ada apa dengan ucapan lu tadi?" tanya-nya memecah keheningan.

Aku mendengarnya. Ku mencoba menengok wajahnya yang tetap melihatku.

"Pilih makanan dulu, berjuang juga butuh tenaga" jawabku, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanyaan Al tadi.

"Di, gue gabakal mau makan, kalo lu aja gantung perkataan lu tadi." ucapnya. Yang mulai mengeluarkan nada marah.

"Oke, gua lanjutin perkataan gua tadi. Lu masih punya gua. Dan lu gaperlu ngerasa bimbang akan kisah Cinta lu yang gaada artinya lagi itu. Al berkali-kali pun gua bilang sama lu, yang terbaik gaakan kemana." jelasku.

Ia terdiam. Sungguh, hal yang paling tidak ku sukai ialah diam setelah aku berucap. Setidaknya satu atau dua patah kata saja diucapkan. Ini sama sekali tidak.

"Di gue mau pulang dulu ya. Lu makan aja sendiri."
Perkataan Aldred yang membuatku terkejut seketika. Aku tetap harus terlihat memakluminya. Supaya, tidak terjadi permasalahan di antara  kita.

"Oke, gua tau lu butuh waktu untuk sendiri. Gua suruh Mang Adi anterin ya?" tanyaku.

"Gak usah, lu gimana pulangnya?" tanyanya.

"Gampanglah." jawabku. Padahal aku paling takut ditinggal sendirian, apalagi ditempat semacam restoran.

"Gue tau lu orangnya parno-an, dan penakut. Udah pulang bareng aja yuk." ajaknya, sambil mengambil tasku dan menarik tanganku.

"Tapi, Al." ucapanku tidak didengar oleh Aldred, ia tetap berjalan dan memegang tanganku juga membawa tasku.

Sesampainya di parkiran luar. Kami bertemu Mang Adi. Yang sedang menikmati kopi di kursi panjang, dan memakan kacang.

"Wah kayanya kalian udah pacaran nih, pegang-pegang tangan gitu." ucap Mang Adi yang menyambut kedatangan kami.

"Mang udah cepetan kita mau pulang nih." ucapku sambil membuka pintu mobil.

Aku masuk lebih dulu, tidak peduli dengan Al. Biarlah, aku kesal dengannya.

Ia pun masuk kedalam mobil, setelah beberapa menit mengobrol dengan Mang Adi, entah apa yang mereka obrolkan.

Aku diam ketika Al masuk kedalam mobil, aku pun memalingkan wajahku ke kaca mobil. Melihat rintikan hujan yang segera membasahi bumi.

"Di." panggilnya.

Aku diam. Masih memalingkan wajahku.

"Di, lu gatau betapa beratnya masalah percintaan gue, seberapa rumitnya kisah gue sama Klara. Di, gue selalu pikir dia yang terakhir setelah yang lalu. Tapi, nyatanya enggak Di. Semua salah. Dia pergi ninggalin gue, dan lebih milih cowok lain buat dijadiin pacarnya, dan bodohnya gue masih mau terima dia terus. Karena, gue yakin, kalo yang namanya jodoh pasti bakal balik lagi." jelasnya.

Aku mulai angkat suara merevisi katanya.

"Maaf, Al. Gua revisi ya kalimat lu barusan. Nih, gua tau di dunia ini gaada yang bodoh. Semua pintar sebab semua punya akal dan pikiran. Al, gua kasih tau nih, serumit apapun masalah hidup lu atau kisah Cinta lu. Pasti akan ada kalimat dibalik ucapan lu tadi. Yang seharusnya buat lu sadar."

"Apa?" tanyanya.

"Coba lu pikir atau enggak lu renungkan. Apa yang ada dibalik ucapan lu tadi. Dan kalo lu udah ketemu lu bakal sadar dan jangan kaget sama pernyataan tersebut." ucapku.

Seketika ruangan mobil, hening. Aku teringat sesuatu. Setelah rintikan hujan menjadi butiran-butiran yang deras. Sajak. Ya, aku menyukai sajak. Bahkan, ketika kata tak bisa terungkap jelas ketika bibir tak mampu berucap.

Yang ku tahu dari yang lalu hanya rintikan hujan
Ketika air mampu terjatuh tanpa beban
Ingatkah kau ketika aku menunggumu?
Ketika yang ku perjuangkan hanyalah sia-sia?
Bahkan kini aku masih tidak tahu alasan mengapa kau meninggalkanku.
Yang tersisa dari yang ku tahu, hanya sebuah harapan untuk berlalu,
Dari seperempat jam yang kita lalui dahulu.

"Di, are you okay?" tanya Aldred memecah keheningan.

"I'm okay, Al." jawabku.

"I'm not okay, Al. Andai kamu tahu bagaimana masa laluku. Masa lalu yang selalu menyakitkan itu, aku selalu mampu tersenyum didepanmu, terlihat bahagia. Tanpa setitik air mata, selayaknya hujan sore ini." ucapku dalam hati.

"Di, lu gausah bohong. Keliatan wajah lu kaya nutupin sesuatu. Ada apa?" tanya nya lagi.

Berbohong pada satu orang ini, sangat sulit sekali. Aneh.

"Enggak, Al. Perasaan lu aja kali." jawabku.

"Enggak. Lu jujur aja, gue siap dengerin cerita lu. Jangan di pendem, Di." ucapnya.

"Gua gapapa. Mungkin hujan sore-sore gini bikin halusinasi lu nambah 50 persen dari biasanya." jawabku. Padahal jelas, Aldred benar, aku berbohong, tetapi belum saatnya ia tahu akan hal ini.

Aldred sudah sampai di depan rumahnya. Depan rumah yang terlihat sepi karena sehabis hujan. Langit pun mulai gelap, pertanda malam ingin menyapa.

Aku pulang kerumahku. Masuk ke dalam mobil. Dan, menyuruh Mang Adi jalan. Di perjalanan pulang, yang ku pikirkan hanya sajak yang kubuat di layar handphone-ku. Sajak yang masih menjadi tanda tanya keras. Aku masih membutuhkan dirinya. Aku selalu berharap waktu mampu mempertemukan kita kembali.

Sesampainya dirumah, aku mulai mengedit sajakku. Mempostingnya, dan membiarkannya dalam beberapa detik.

Pertemuan demi pertemuan ku lalui dengan orang baru dan manusia baru tentunya. Aku berjalan menyusuri setapak jalan menuju tempat dimana aku bertemu dengannya kembali. Setelah beberapa bulan lalu tidak bertemu.

Kami berbagi senyum dan tawa, walau hanya sebentar, banyak hal Indah yang kami lalui walau hanya sesaat. Aldred, seseorang yang seketika membawa harapan. Ketika masa lalu hanya menjadi luka.

Sungguh laki-laki sebaiknya, entah kenapa tidak menjauhi ku, saat kejadian hari lalu. Dia berbeda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang