"Aduh.. Iya, udah jam setengah tujuh, kamu baru bangun." ucap Papa kepadaku.
"Pa. Aku berangkat sendiri aja deh. Pasti bakal ditinggal. Udah setengah tujuh." keluhku. Memang, aku suka ceroboh dalam hal waktu.
"Udah, udah, kamu siap-siap dulu. Jangan kebanyakan bicara Di. Udah telat juga." ucap Ka Claudie.
"Ah! Diam Ka, aku lagi malas beragumen pagi-pagi sama Ka Clau." ucapku, lalu masuk ke kamar mandi.
Setengah jam berlalu, aku sudah menggunakan sepatu. Aku pun mengecek handphone. Dan astaga! Mereka akan segera berangkat. Aku pun meminta Papa untuk buru-buru mengantarku.
"Pa, cepetan ya naik motornya Audie udah telat ini." ucapku tergesa-gesa.
Karena, jarak antara rumahku dan tempat mobil pengantar hanya berapa kilometer. Jadi, aku memutuskan untuk naik motor. Sebab, lebih cepat.
"Huh.. Akhirnya sampai." keringat di dahi ku mengalir ketika aku lari menuju mobil pengantar.
Mataku terbelalak ketika melihat, hanya 6-7 peserta yang baru terkumpul. Aku menemui temanku. Lina. Ia teman satu kelasku. Lumayan banyak yang menyukainya. Ia pintar. Tapi, pendiam. Entah, dia mengikuti kegiatan antar sekolah seperti ini. Apakah akan berhasil membuat pendiamnya berganti menjadi tegas dan kritis, atau malah tetap begitu saja.
"Lin! Kok baru segini dah?" tanyaku.
"Gatau nih, Di. Tadi si Benny dan Stevan udah jalan naik motor boncengan." jelas Lina.
"Hm.. Oke oke. Gimana ya, nanti? Bertemu teman baru. Belajar bersama. Pasti bingung dan linglung hihi. " ucapku tiba-tiba.
"Wah, Di. Aku saranin jangan sampe kamu cari cowok disana." ketus Lina.
"Jahat banget. Kalo ketemu juga gapapa Lin. Kalo cuma buat teman. Selama ini kan tidak ada." jelasku. Aku pun mulai mengingat kejadian diriku bersama temanku.
Dulu, aku pun lelah ketika berpura-pura menjadi teman baik. Padahal, hati berkata lain. Akhirnya, urung-an niatku pun kembali lagi. Tepat, di koridor sekolah dulu, saat masa-masa putih biru. Aku berkata pada teman laki-laki terbaikku. Aku menyukai dia. Sosok dia. Ia kaget, tidak terima. Langsung pergi, iya dirinya menghujat. Lama-lama, jarak memisahkan kita. Bukan aku. Tapi dia. Memisahkan, pertemanan baik yang sedari dulu terukir. Hanya karena satu, perasaan.
"Heh! Bengong, udah pada mau jalan nih. Kamu masih mau disini?" ucap Lina memecahkan lamunan Audie.
"Eh, astaga! Ya enggaklah. Kalo cuma buat ditinggal ngapain aku bertahan duduk diam disini. Bodoh sekali aku." ucapan itu keluar dari mulutku. Aku tersadar. Ucapan itu bagaikan senjata makan tuan untuk hatiku sendiri, duh Audie kamu terlalu memikirkan kejadian itu.
"Oh jadi kamu abis mikirin masa lalu ya. Ah Di, jangan terlalu larut. Akan ada yang lebih pantas kok." ucap Lina, bersama kalimat mutiara terbaiknya.
"Iyo dah iyo. Udah ah aku mau naik duluan." ucapku, lalu bergegas masuk ke jok mobil paling belakang. Karena kesenanganku duduk paling belakang. Bisa tidur menurutku terus lebih leluasa melihat ke kanan-kiri, depan-belakang.
Beberapa menit berjalan menuju tempat pertemuan. Akhirnya rombongan kami sampai, aku, dan Lina, masih kikuk. Bingung, dan ikut-ikutan saja.
"Lin, kok aku takut ya." ucapku tiba-tiba.
"Takut kenapa?" tanya Lina.
"Takut challenge -nya berat." ucapku.Iya, dia tidak suka dengan tantangan. Kalau, boleh pilih antara tantangan dan kejujuran. Audie lebih memilih kejujuran.
"Tenang, aja Di. Gapapa kok." ucap Lina menenangkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
December
RomantikaSeseorang bisa mendengar cerita juga bisa mempunyai cerita. Dapat memiliki kemampuan mendengar dan dapat memiliki kemampuan untuk merasakan. Setiap detail kejadian dalam hidup ada yang dapat diambil makna baiknya dan bisa juga tidak. Serumit itu.