His Time

268 19 0
                                    

            Terbangun dipagi Amerika yang padat, Jae masih sangat mengantuk, tapi memaksakan bangun. Rambut pirang acak-acakan dengan kaca mata bulat, berlari di jalan setapak California yang tenang. Kaus kedodoran dan celana olahraganya sudah hampir basah karena keringat. Earphone ditelinga menyuarakan lagu-lagu yang ia putar dengan keras. Diujung perempatan, Jae berhenti, menumpu kedua telapak tangannya diatas lutut, terengah-engah karena lelah.

"Sial (hosh) capek (hosh) sekali."

Salah satu hal yang paling Jae sukai dari Amerika adalah bagaimana ia bisa dengan mudah jogging pagi tanpa harus ketahuan paparazzi. Juga tidak perlu bersembunyi atau memakai pakaian tertutup karena takut dikenali pers. Ia bisa dengan mudah jadi dirinya sendiri. Mondar mandir kesana kemari tanpa perlu takut dikejar fans. Tenang dan damai. Meski Amerika itu padat, tapi Jae merasa begitu bebas disini.

Hari ini harus pulang ke Korea, tapi malas meski rindu teman-teman band nya. Juga kamar sempit yang dihuni Brian, dirinya, dan Dowoon. Rindu melihat muka bangun tidur Brian yang sering membuatnya tertawa keras. Ekspresi aneh dari cowok itu. Dan permainan games dengan Dowoon meski Jae hampir selalu kalah. Atau menjahili Wonpil yang selalu saja menggunakan sweater pink yang ia benci setengah mati, tapi suka menjadikan Wonpil bual-bualan sehingga Jae bisa tertawa keras. Juga memanggil-manggil Sungjin dengan panggilan Bob dan melihatnya pasrah begitu saja.

Tidak jauh dari perhentian Jae, ada minimarket. Hanya perlu menyeberang. Jadi setelah sudah tidak terlalu lelah, Jae berjalan kesana. Didalam, mengambil beberapa botol minuman energi dan sekantung besar keripik kentang. Saat dikasir, ada seorang gadis yang tampak buru-buru, menyerobot antriannya dengan gelisah dan topi baseball yang menutupi wajahnya. Jae kesal, tapi hanya membiarkan karena gadis itu tampak terburu-buru.

"Bisa bayar dengan kartu debit?" Tanya gadis itu, menurunkan topinya lebih dalam sehingga Jae semakin tidak bisa melihat wajahnya. Gadis itu terus menerus menekan jempolnya diatas ibu jarinya dengan gelisah, mengetuk-ngetuk ujung sepatunya dengan cepat juga. Ada apa dengannya? Jae penasaran sekali. Aneh, tapi sepertinya gadis itu cantik, melihat kulitnya yang tampak bersih dan putih mulus. Juga potongan rambut sebahu yang indah dan lurus. Mendengar dari aksen gadis itu berbicara, rasanya seperti orang Korea. Tapi entahlah, Jae sendiri tidak yakin.

"Tentu." Kata si penjaga kasir. Laki-laki tuas khas Amerika dengan tubuh tinggi dan kumis yang belum dicukur. Tampak tidak terlalu bersahabat dan bau rokok.

"Bisa agak cepat?" tanya si gadis.

"Iya, sabar. Ini masih pagi, nona." Sahut si penjaga kasir agak kasar.

"Aku buru-buru, plis."

Dengan kesal, si penjaga kasir cepat-cepat memasukkan belanjaan kedalam kantung plastik. Setelah gadis itu berlalu, Jae maju dan meletakkan belanjaannya keatas meja. Lelah, ingin cepat kembali ke hotel dan mandi lalu berbaring.

"Sial, gadis itu benar-benar aneh. Sekarang kartu debitnya tertinggal." Gerutu si penjaga kasir.

Jae merenyit. Bukankah itu salah mereka berdua? Pria penjaga kasir yang lupa memberika kartu debit kembali, dan gadis itu yang terlalu buru-buru sampai lupa. Sial, Jae benci sekali mengurusi urusan orang lain. Tapi entah kenapa ia ingin sekali keluar minimarket dan berlari mengejar si gadis, mengembalikan kartu debitnya.

Maka setelah menghela napas, Jae bilang, "Tolong hitung belanjaanku, aku yang akan mengembalikan kartu debit itu." Katanya cepat, takut berubah pikiran karna Jae itu tidak suka merepotkan dirinya sendiri dengan urusan orang lain.

Déjàvu // Jae DAY6 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang