Jihan dan Hasna berdecak kagum kala memasuki rumah model Mediterania yang didominasi warna putih dan biru. Tidak menyangka kalau rumah Aisyah sebesar dan seasri ini, mereka kira rumahnya akan seperti rumah pada umumnya, mengingat letaknya di tengah-tengah Ibukota yang padat penduduk. Halaman luas dengan banyak tanaman tidak pernah terpikirkan oleh mereka berdua, benar-benar melebihi ekspektasi.
"Nggak nyangka ada rumah kayak gini di Jakarta." Jihan berkata sembari memutar tubuhnya, mengamati sekeliling dengan seksama.
Mengikuti apa yang Jihan lakukan, Hasna menghampiri beberapa bunga bermekaran di sisi rumah. "Mau nanam mawar juga di rumah, tapi nggak ada lahan. Harum banget!"
"Kalau hari Sabtu atau Minggu datang aja kesini, Bunda suka nanam bunga baru." Jawab Aisyah. Mengajak kedua sahabat barunya masuk ke dalam rumah, bibir Aisyah tersungging melihat Bunda menyambut kedatangannya.
Seperti bertemu dua anak yang baru kembali dari merantau, Bunda memeluk Jihan dan Hasna dengan erat-erat. Dua orang itu semula terlihat bingung dan canggung, namun setelahnya membalas pelukan itu tidak kalah erat. Aisyah yang berdiri di belakang hanya terkekeh geli melihatnya, Bunda selalu bersikap seperti itu jika bertemu teman-temannya.
Berpindah tempat ke ruang tamu, mereka-Aisyah, Jihan dan Hasna-terduduk di sofa panjang yang terletak di tengah-tengah ruang tamu. Sembari menunggu Bunda menyiapkan teh dan juga beberapa cookies, Aisyah memberi saran untuk menonton beberapa film di televisi. Jika nanti Bunda sudah datang maka akan menjadi perpaduan yang sempurna, menonton film sambil memakan cookies dan minumannya teh hangat.
"Jangan. Jangan yang itu, aku nggak suka yang hor-STOP! Nah ini aja."
Agak terkejut ketika Jihan berseru, remote televisi yang berada dalam genggaman hampir saja terlepas. "Film ini? Aladdin?"
"Jihan mah filmnya itu lagi, itu lagi. Setiap kali diajak nonton pasti milihnya Aladdin. Kasian tau Aladdin-nya capek." Sahut Hasna bersandar pada kepala sofa.
Memasang ekspresi cemberut dengan mata yang berkedip-kedip, Jihan menjawab. "Kan seru tau! Nanti nyanyi a whole new world-UHUK! UHUK!"
"Kan! Belum apa-apa aja udah ke selek, ganti film lain aja. Yang kita semua belum tonton."
Datang dengan nampan berisi dua piring cookies dan juga empat cangkir teh, Umi menaruhnya di atas meja lalu mengambil tempat duduk di sebelah kanan Aisyah. Kekehan pelan terlontar menyaksikan perdebatan antara film Aladdin atau The Lion King yang sepertinya tidak akan selesai jika tidak cepat ditengahi.
Mengambil remote televisi pada genggaman Aisyah, Umi dengan diam-diam memilih salah satu film. "Daripada berantem lebih baik nonton ini aja."
Bukan Aladdin ataupun The Lion King yang diputar, melainkan Frozen 2. Tidak protes dan menonton dengan tenang, sepertinya mereka menikmati alur cerita film tersebut. Aisyah mengambil cookies untuk yang kesekian kalinya padahal film belum terputar setengah, melihat itu Umi mengusak pelan pucuk kepala sang putri.
"Pelan-pelan sayang, Umi masih punya di dapur." Ujar Umi memperingati Aisyah agar tidak tersedak.
"Iya Umi. Oh iya, tadi Abang chat aku. Jadi kangen..." Aisyah membuka suara setelah menelan habis cookies yang ada di dalam mulut.
Ponsel genggam Aisyah nyalakan, membuka salah satu aplikasi chatting untuk menunjukkan kolom obrolan antara ia dan Abangnya ke Umi. Cukup singkat dan tidak menghabiskan waktu lama, tapi sangat berarti untuk Aisyah. Mengingat jarak tempat tinggalnya dengan sang Abang sangat jauh, zona waktunya pun berbeda sehingga sulit untuk menyapa meskipun hanya via chat.
"Sabar ya anakku yang cantik, nanti liburan Sekolah kita main ke tempat Abang kok. Sekarang fokus belajar dulu, oke?"
Aisyah mengangguk patuh, "Oke Umi."
÷×÷
'Hap!'
Fatih menangkap lemparan bola basket dengan sigap. Orang yang melempar itu berseru pelan, terpukau oleh gerakan gesit sang kawan. Hari ini jadwalnya ekstrakurikuler basket dan cheerleader latihan sehingga keadaan lapangan Sekolah cukup ramai meskipun sudah lewat dari jam pelajaran. Para Siswi menyemangati tim basket, sedangkan Siswanya memperhatikan tim cheerleader.
"Lo yakin bakal ikut pertandingan Minggu depan? Bukannya lo nggak dibolehin sama nyokap kalau mepet sama waktu ulangan?" Dimas ikut terduduk di sisi lapangan, bersandar pada tubuh tiang basket yang menjulang tinggi.
Bola basket dimainkan di atas ibu jari, Fatih mengedikkan bahunya barulah menjawab. "Nggak tau, gue belum minta izin. Tapi kalau masih ada jarak beberapa hari dan juga di hari libur sih mungkin aja dibolehin."
"Misalnya lo belum yakin mending cari pengganti yang menurut lo mainnya bagus. Coba lo liat sendiri anak kelas 11 latihannya kayak gimana, terus lo pilih dah..."
Kepala Fatih mengangguk-angguk paham, "Nanti gue liat. Palingan yang milih coach langsung, tau sendiri dia kayak gimana kalau berhubungan sama pertandingan."
Kedua tangan diletakkan di samping tubuh untuk menopang beratnya, posisi ini sangat nyaman meskipun sesudah itu tangan langsung keram. Apalagi jika habis melakukan kegiatan, disentuh sedikit saja rasanya cukup sakit dan sedikit menyelekit di kulit.
Saat ini Fatih sedang bersantai di pinggir lapangan sembari menunggu coach yang belum tiba. Sebenarnya tim basket baru saja menyelesaikan peregangan, tapi kalau latihan tentu saja harus dipantau, mengingat dalam waktu dekat ini mereka akan ada pertandingan. Semua hal tentu saja diperketat bahkan sampai waktu tidur, pesan coach mereka adalah sebisa mungkin tidak melewati jam sepuluh malam. Dan untuk Fatih itu sangatlah sulit, di jam-jam segitu moodnya sedang baik apalagi ketika bermain game.
"Eh! Manda tuh! Dia ngeliatin lo terus dari tadi." Beritahu Rafi setibanya di depan Fatih dan juga Dimas.
"Awas kek jangan ngalangin! Gue lagi liat keindahan duniawi." Kaki Dimas terangkat hendak menendang namun tidak jadi karena Rafi sudah lebih dulu bergeser.
"Dicolok sama malaikat Jibril baru tau rasa lo!" Rafi mendorong pelan kepala Dimas agar menoleh ke arah lain bukan ke tim cheerleader. Mendudukkan bokong tepat di sebelah Fatih, Rafi kembali membuka suara. "Manda liatin lo mulu, nggak lo tanggepin? Sayang kalo dianggurin."
"Dia ngeliat gue karena punya mata. Lagian itu kan mata punya dia, terserah lah dia mau liatin siapa." Sahut Fatih yang sebenarnya sudah menyadari itu sejak peregangan tadi.
"Eh...bentar deh! Malaikat Jibril tugasnya kan bukan yang nyiksa di dalam kubur, tapi menerima wahyu." Perkataan Dimas membuat Fatih dan Rafi menoleh.
"Lah? Bukan nerima wahyu! Yang nerima wahyu itu Nabi. Kalo malaikat Jibril itu apa sih ya gue lupa. Ah! Nerima zakat." Jawab Rafi yang langsung mendapat pukulan dari Fatih pada leher bagian belakang.
"Besok-besok kalo pelajaran agama tuh dengerin, bisa-bisanya malaikat Jibril nerima zakat, emangnya dia fakir miskin? Malaikat Jibril tuh menyampaikan wahyu." Fatih menggelengkan kepala, tak percaya dengan kelakuan dua sahabatnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/159333052-288-k371080.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
She's Aisyah [Pindah Ke Aplikasi Dream]
Novela Juvenil‼️ INFORMASI ‼️ Chapter 6 sampai end dihapus karena cerita ini akan dipindahkan ke aplikasi 'Dream'. Jika ingin melanjutkan baca bisa ditunggu updatenya di aplikasi tersebut. Mohon maaf kalau diberitahukan secara mendadak sehingga mengganggu kegiata...