Namaku Alex.
Jika kalian menemukan catatan harian tanpa tanggal dan waktu ini, maka aku ingin kalian tahu. Bahwa aku... Aku ingin...
Mati.
Sudah lama aku menginginkan hal ini tetapi selalu terhalang oleh banyak hal. Aku benar-benar ingin mati. Bahkan jika Tuhan mendengarkan doa, aku benar-benar ingin mati saat ini juga. Saat ini, detik ini, ditempat ini. Di sebuah barak militer tempat aku beristirahat.
Oh, astaga. Aku benar-benar ingin mati. Mendengar suara dentuman meriam dan senjata-senjata besar itu, benar-benar membuatku frustasi. Aku benar-benar muak dengan semua ini. Aku ingin memukul seseorang, aku ingin memeluk seseorang, aku ingin tertawa, aku ingin menangis. Aku... aku lelah. Aku... hanya ingin mati.
Diluar sana, jauh diluar sana ke arah timur, adalah ladang mayat. Medan pertempuran tanpa ada kepastian. Setiap pagi dan malam selalu dan selalu peluru-peluru besar, mortar, bom, alat-alat membunuh itu di lepaskan. Dan setiap hari juga aku selalu menunggu.
Menunggu kapan peluru-peluru itu melayang menembus kepalaku. Aku tidak ingin mati perlahan kesakitan. Aku hanya ingin mati cepat. Sangat cepat hingga rasa sakit itu tak dapat menyusul.
Setiap hari. Setiap hari aku selalu menyaksikannya. Mereka, yang memakai seragam militer. Baik pria dan wanita, yang pernah berbicara denganku, mati tergeletak di medan pertempuran itu tanpa ada satu orangpun yang sanggup membawa tubuh mereka kembali. Tapi mengapa bukan aku? Bukan aku yang tergeletak disana yang kemudian dimakan oleh burung gagak?
Ketika aku mati, aku ingin tak ada satu orang pun yang mencariku. Aku tak ingin semua orang tahu bahwa aku mati. Yang aku inginkan, ketika aku mati, biarlah Tuhan dan aku yang menjadi saksi.
Namun mengapa? Mengapa hingga detik ini peluru-peluru itu melewatiku? Mengapa tidak pernah ada satupun peluru yang menghampiri? Bahkan kurasa, peluru itu enggan untuk sekedar menggores seragam militerku. Jika dipikir-pikir, alasannya mungkin akan menjadi seperti ini.
Peluru itu enggan menghampiri karena mereka ingin aku mati dengan cara yang lain. Menyiksaku dengan membiarkan mata ini melihat setiap orang yang ku kenal mati satu persatu. Sehingga, pada akhirnya yang membunuhku bukanlah mereka, para peluru tajam. Namun hati yang remuk.
Sial. Itu bahkan lebih buruk dari kematian manapun. Hidup dengan hati yang remuk tak akan membuatku mati secara badan. Namun hanya akan menjadi neraka dalam dunia yang indah.
Aku sungguh benci medan perang yang ironisnya membuatkan candu terbaik untuk membunuh, melampiaskan hasrat ingin matiku. Ini semua terjadi hanya karena sebuah negara yang mulai menginvansi negara lainnya dengan alasan konyol. Merasa suci dan benar. Membuat mereka mendapatkan alasan untuk mulai membantai setiap kaum yang berbeda dari mereka.
Negaraku? Negaraku baru saja terlibat bersama tujuh negara lainnya untuk menyelesaikan pertempuran ini. Membuatku harus meninggalkan kedua orang tua dan adik perempuan untuk ikut berperang. Aku tidak sendiri. Ditemani dua adik laki-laki dan dua orang sahabat setia, yang sekarang... entah dimana mereka.
Kami sama-sama berada dalam satu divisi, berbeda kompi. Selesai pelatihan militier, aku mendapatkan pangkat letnan, begitu juga dengan kedua adikku dan kedua sahabatku. Membuat kami masing-masing memegang kompi untuk terjun langsung menuju peperangan di garis depan.
Aku masih ingat. Malam itu, malam sebelum peperangan kami masih tertawa dan makan bersama di lapangan udara sebelum pada akhirnya kami berangkat dan pesawat kami hancur, membuat aku terpisah oleh mereka. Bahkan seorang pembawa radio pun tak sanggup menghubungi pusat komando saat itu.
YOU ARE READING
12 Chapters of Aby
RomanceAlex. Lelaki berusia 24 tahun terjebak di medan pertempuran dalam perang dunia. Frustasi dan segera ingin mengakhiri hidupnya, Alex malah menemukan anak-anak yang dijadikan mesin perang oleh negara musuh.