Chapter 2

3 0 0
                                    


Sangat menyebalkan ketika kau mempunyai seseorang yang peduli padamu. Ingat, tujuanku dari awal hanyalah ingin mati. Itu saja. Mati dengan tenang tanpa ada seorang pun yang tahu kapan dan dimana aku mati. Tanpa tahu alasan yang sebenarnya, tanpa tahu mengapa aku mati. Sesederhana itu.

Sangat sederhana sampai orang-orang tak akan memikirkan hal-hal aneh dan memikirkan alasan mengapa aku mati.

Satu peluru. Satu peluru yang menembus kepala saja suidah cukup. Aku tak akan mendendam kepada prajurit yang telah menembak kepala ku. Sebaliknya, aku akan sangat berterima kasih sampai-sampai jika bisa, aku menyalam dan memeluknya tepat sebelum aku mati.

Kembali lagi kepada topik utama.

Menyebalkan jika kau punya seseirang yang selalu mengawasimu, dalam kasus ini yang kumaksud adalah Gratias. Ya, perempuan yang telah kupungut dan kurawat itu menjadi sangat posesif jika disamakan dengan seorang pacar.

Apapun yang aku lakukan, dia pastikan aku melakukannya dengan benar. Ya, walaupun kami tinggal terpisah. Aku dengan barak pasukan dan dia dengan wanita-wanita dalam penampungan tidak jauh dari barak pasukan. Tapi tetap saja, walau tinggal terpisah, dia pastikan untuk selalu menghampiriku.

Ku akui, kemampuannya sungguh banyak. Membaca, menulis, mengetik, membaca peta, menyusun strategi perang, membaca keadaan, memasak, membuat minuman, sungguih banyak. Dan rata-rata itu berguna kecuali bagian dimana dia benar-benar mengawasiku. Itu menyebalkan.

Banyak pria yang coba mendekati Gratias. Namun tak ada satupun yang berhasil. Alasannya cukup sederhana, teknik bertarungnya lebih baik daripada rata-rata prajurit disni.

Pernah suatu kali aku memergoki segerombolan prajurit sedang mencoba menggodanya saat kami baru tiba di barak. Ketika ada yang memegang tangannya, dengan cepat dia mengeluarkan teknik bela dirinya. Menjungkir-balikan prajurit malang itu dan menghantamnya ke tanah dengan kuat. Jujur, aku tertawa pada saat itu.

Hari ini, Gratias yang sama, yang telah membuat lengan orang bergeser itu yang mengantarkanku ke pusat komando. Bertemu dengan Mayor Berlin. Katanya, ini merupakan kabar baik. Tapi bagiku, tidak sama sekali.

Begini. Ketika kau berurusan dengan Berlin, sudah kupastikan dua hal. Satu, itu hal yang buruk. Dua, hal itu memang sangat-sangat buruk sehingga kau enggan untuk bertemu dengannya.

Walau dia baik hati dan konyol, namun keganasannya di medan pertempuran sudah tak diragukan lagi. Begitu juga ketika berususan dengan prajurit.

Sudah pasti aku jengkel, karena ku tau ini situasi yang buruk. Terlebih aku ditemani oleh Gratias. Ya, setidaknya aku datang dengan persiapan. Sebuah perban dan besi kecil penyangga lengan, jaga-jaga kalau lengaku di plintir.

"Hey Alex! Teman baikku!" Sapanya ketika aku masuk kedalam ruangan.

"Oy, Berlin."

"Aku ada kabar baik untukmu!"

"Tidak. Tidak pernah ada kabar baik datang darimu."

Dia mengangkat dua lembar kertas dengan cap militer dibagian bawah. "Oh, ayolah. Ini baik! Sungguh baik! Ada dua kabar yang sungguh baik datang!" Senyumnya semakin lebar.

"Ah, ini akan menjadi sangat buruk."

"Yang pertama! Dengarkan baik-baik. Mereka menemukan kedua saudaramu! Ben dan Marky. Mereka berada di divisi 201 infantri angkatan darat."

"OH! BENARKAH! Syukurlah mereka baik-baik saja."

"Ya, mereka baik-baik saja. Dan sepertinya mereka ditempatkan di barisan belakang. Jadi kau bisa tenang. Ah, padahal mereka punya saudara sepertimu, prajurit gila di barisan depan."

12 Chapters of AbyWhere stories live. Discover now