Laki-laki itu | 3

10 4 0
                                    

"Hai, Bun." Sapa Safira saat melihat bundanya berada di teras dengan laptop di hadapannya. Mendengar sapaan Safira membuat bunda menoleh padanya. Ia pun menghampiri bundanya dan mencium punggung tangannya.

"Assalamu'alaikum." Sindir bunda. Safira nyengir mendengar sindiran bunda itu. "Hehe, iya maaf Fira lupa. Yaudah Fira ulang deh. Assalamu'alaikum, Bunda." Ucap Safira.

"Wa'alaikum salam." Jawab bunda kemudian kembali lagi pada laptopnya.

Safira duduk di sofa yang ada di hadapan bunda. "Bun," Panggilnya membuat bunda berdeham. "Kita jalan-jalan lagi kapan? Aku bosen di rumah."

Bunda menoleh pada Safira. "Nanti-nanti aja, ya sayang. Bunda lagi sibuk banget soalnya di rumah sakit." Iya, selalu begitu. Jawabannya pun selalu sama. Sibuk.

Bisa dikatakan, sudah lama sekali ia dan bunda tak menghabiskan waktu bersama. Terakhir mereka jalan-jalan pun itu saat ayah mereka masih ada.

"Oh, yaudah deh." Ucap Safira pelan. Kemudian ia bangkit dan berjalan memasuki rumah. Bunda yang mendengar nada pelan itu pun menghela napasnya pelan. Bunda kemudian bangkit dan menahan pergelangan tangan Safira supaya tidak masuk ke dalam.

Safira menoleh pada bunda. "Maafin bunda, sayang. Bunda beneran gak ada waktu buat liburan. Nanti kalau bunda ada waktu, kita liburan bareng, ya." Ucapnya dengan alasan supaya Safira merasa tenang. Namun, hal itu justru tidak membuat Safira seperti itu.

Safira hanya menanggapinya dengan mengangguk. Ia pun berjalan pelan memasuki rumah dengan lesu.

Bunda menatap punggung Safira yang kian menjauh dengan pandangan sendu. "Maafin bunda, Fira. Bunda masih belum bisa gak terbayang sama kenangan kita di sana. Maaf." Gumamnya pelan.

Di kamarnya, pertahanan Safira luntur juga. Safira menangis. Apa salah jika ia ingin membuat bundanya tidak terus-terusan bekerja? Apa salah jika ia ingin bundanya berdamai dengan masa lalu? Ia hanya ingin bundanya bisa tersenyum dan seceria dulu. Tidak seperti sekarang. Senyumnya pun terlihat sangat palsu. Bunda menutupi itu semua dari Safira. Tapi Safira tidak bodoh. Dia tahu semua itu.

Safira menghapus air mata di kedua matanya dan berjalan menuju kamar mandi. Mungkin, dengan mandi dapat menenangkan hati dan pikiran Safira.

🍭

"Fira." Panggil bunda dari luar kamar Safira membuat Safira menghentikan sejenak aktivitasnya yang sedang memainkan laptopnya.

"Iya, bun." Jawabnya sambil membukakan pintu untuk bunda. Saat pintu itu terbuka, Safira melihat bunda tersenyum.

"Kamu bisa tolong anterin kue ini ke rumah tante Fella?" Tanya bunda sambil menyodorkan sekantung besar berwarna putih.

"Tante Fella?" Tanya Safira bingung.

"Iya, dia baru aja pindah di perumahan ini. Rumahnya ada di blok C. Kamu bisa tolong anter?" Tanya bunda membuat Safira mengangguk. Toh, dari blok A ke blok C tidak terlalu jauh.

"Yaudah sini Safira anterin." Ucapnya sambil mengambil alih kantung plastik itu.

"Makasih, sayang. Rumahnya nomor 52 ya." Ucap bunda dan lagi-lagi membuat Safira mengangguk. Safira pun mengambil jaketnya dan segera melenggang pergi keluar rumahnya menuju rumah tante Fella.

Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Safira sampai di rumah tante Fella. Iya, menurut Safira. Karena jelas alamat yang diberikan bunda padanya tertuju pada rumah ini.

Safira pun berjalan mendekati gerbang kemudian menekan bel nya membuat seorang satpam yang sedang duduk di pos sambil menikmati kopi panas itu menghampirinya. "Iya, ada apa ya, neng?" Tanyanya pada Safira.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I can see youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang