Part 3

979 23 0
                                    

Aku menatap Ali yang berjalan ke arahku. Ia meraih bahuku, mendorongku pelan ke dinding. Ditempatkannya satu lengannya, mengunciku. Tubuhnya perlahan mendekat, aroma parfum bvlgari yang khas menguar dari tubuhnya. Aku mengangkat wajah, menatapnya. Ia menatapku tajam. Aku baru sadar jika ia memiliki mata yang indah. Bola mata hitam pekat dengan bulu mata lentik dan alis tebal. aku terhanyut ke dalam tatapannya, berenang dalam pekat hitam matanya. Wajah ali semakin dekat, hingga aku bisa merasakan nafasnya yang beraroma mint di wajahku. Hanya beberapa centi jarak yang memisahkan wajah kami. Bahkan hidung kami telah saling bersentuhan.

"Apa yang kalian lakukan?" tiba-tiba, seseorang menginterupsi kami.

Aku tersentak. Reflek mendorong tubuh Ali. Aku menoleh ke pintu dan menemukan Ghina yang menatap kami dengan tatapan campur aduk.

"Kalian ngapain barusan?" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi.

Aku hanya diam, menunggu Ali membuka suara. Toh ini sebenarnya bukan urusanku. Aku hanya melakukan pekerjaanku, bersikap profesionalitas. Alilah yang seharusnya menjelaskan pada Ghina apa yang baru saja kami lakukan. Tapi, Ali hanya diam. Menatap Ghina dengan pandangan salah tingkah. Aku mendengus. "Tenang aja Ghin, barusan itu Cuma latihan buat take nanti kok." Aku akhirnya menjelaskan apa yang barusan kami kerjakan.

"Iya, itu Om Sutradaranya yang nyuruh biar kami gak canggung pas take." Ali menyambung ucapanku. Ia melangkah menghampiri Ghina yang masih berdiri di pintu. "Kamu cemburu yaa?" tanyanya dengan senyum menggoda.

Aku menautkan alisku. Jadi kacang goreng nih kayanya. Lagian, Ali harusnya bilang dulu pada Ghina kalau ia akan beradegan seperti ini bersamaku. Eh tapi, bukankah aku sama saja? Aku juga tidak memberi tahu Halik perihal ini. aku mengedikkan bahu, lebih baik aku pergi saja daripada di sini dan menjadi obat nyamuk.

"Misi mbak, mas. Bentar gue mau lewat." Ucapku sembari sengaja lewat di antara mereka berdua. "Awas loh berduaan di sini, hati-hati! Entar ada mahluk lain lagi yang ketiganya hii.." sambungku jahil.

"Astaga Prill! Lo rese apaan sih!" Ghina mendorongku sementara aku hanya tertawa puas sambil berjalan meninggalkan mereka.

-Ali's POV

"Cut!" seru Om Sutradara.

Aku memundurkan tubuhku dari Prilly. "Pas gak om?" tanyaku sembari berjalan menuju ke arah Om Sutradara.

"Pas banget Li. Kalian latihannya berapa kali tadi? Kok bisa langsung pas sekali take, biasanya orang lain mesti berulang-ulang."

Aku tertawa. "Cuman sekali Om, tapi ya mungkin karna lagi sedikit beruntung aja." Jawabku.

Om sutrada ikut tertawa. "Mana ada yang begitu Li? Tapi sepertinya, mulai besok scene kalian akan bertambah banyak. Jadi kalian mesti sering-sering latihan untuk membangun chemistry." Ucap Om Sutradara.

"Hah?" aku melotot kaget. Berarti frekuensiku berduaan bersama Prilly akan bertambah? Aku melirik Prilly, gadis itu terlihat santai dan biasa saja. Tak sekalipun terlihat raut kaget dari wajahnya.

"Kenapa Li? Kamu ga suka Prilly?" Om sutradara menatapku dengan mata memicing.

"Wah.. engga Om engga sama sekali. Tapi, ya sudahlah." Aku menyahut pasrah. Tak mungkin juga aku menceritakan soal Kak Riri yang akan mencak-mencak begitu tau ini ataupun kegugupanku ketika bersamanya. Tak tahu mengapa, semenjak kejadian di basecamp atas tadi aku sedikit salah tingkah begitu bertemu dengannya. Aku merutuki otakku yang sedikit ngelantur ketika aku bertemu pandang dengan iris karamelnya. Hampir saja aku berfikir untuk mengecup bibirnya kala itu, hampir saja. Beruntung Ghina datang dan menyadarkanku tadi. Menyentakku kembali ke dunia nyata. Bagaimana bisa aku memikirkan untuk mencium seorang gadis yang bahkan baru kukenali beberap hari? Aku menggelengkan kepalaku. Tak habis fikir dengan diriku sendiri. Dan cukup beruntung kegugupanku tak mempengaruhi akting kami tadi.

Adakah Kau Takdirku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang