Kartini Tanpa Konde

52 2 0
                                    

April identik dengan hari kartini. Seorang pahlawan wanita yg di anggap berjasa dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan indonesia. Ya, walaupun istri dari RMAA Singgih Djojo Adhiningrat ini sudah meninggal 17 september 1904 silam, namanya tak ikut tenggelam. Gelar sebagai pejuang emansipasi membuatnya tak pernah mati.

Padahal --tanpa bermaksud menggugat jasanya-- Kartini sejatinya 'hanya' di kenal dari buku karya J.H Abendanon berjudul "Door Duisternis tot Lich" atau terjemahan nya "Habis gelap terbitlah terang" Karya Armijin Pane. apa yg dilakukan kartini baru sebatas wacana, belum pada tingkatan Aksi, entahlah, jika tanpa bukti buku itu, apakah nama Kartini akan harum mewangi, atau bahkan layak menyandang gelar pahlawan sejati.

Pasalnya, aksi nyatanya di bidang pendidikan, politik atau sosial tak pernah terungkap. Barangkali karna umurnya yg pendek. Ya, belum usai gagasannya untuk memajukan pendidikan kaum perempuan, Allah swt memanggilnya pada usia 25 tahun. Saat itu cahaya hidayah juga sedang menggelora berkat pertemuan singkatnya dengan KH. Sholeh Darat.

Sepeninggal Kartini, barulah didirikan sekolah wanita oleh yayasan Kartini di semarang pada 1912 , dan kemudian di surabaya, yogyakarta, malang, madiun, cirebon, dan daerah lain nya. Sekolah itu bernama sekolah Kartini.

MENYEMBUNYIKAN KODRAT

Berkat jejak gagasan nya berupa kumpulan surat kepada sahabat sahabatnya, Kartini di Tahbiskan sebagai ikon pejuang emansipasi. Ironis, gelar itu di sematkan justru ketika buah pemikiran nya ditafsirkan jauh melenceng dari kehendak Kartini. Apa yg di perjuangkanya sangat bertentangan dengan nafas emansipasi itu sendiri.

Kartini sama sekali tidak hendak menyetarakan perempuan dengan laki laki sama persis sebagaimana yg di pahami kebanyakan perempuan masakini. Sebaliknya, Kartini menghendaki penguatan peran perempuan sebagaimana kodratnya sebagai ibu rumah tangga dan mendidik anak anak nya di rumah.

Yang di inginkan Kartini adalah para perempuan mendapat akses pendidikan agar kelak mampu penjalankan kedua fungsi utamanya itu dengan sempurna. Hal ini tampak jelas dalam kutipan salah satu suratnya.

"kami di sini memohon di usahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak anak perempuan, bukan sekali kali karna kami menginginkan anak anak perempuan itu menjadi saingan laki laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajiban nya, kewajiban yang di serahkan alam sendiri ke dalam tangan nya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama tama."(surat kepada prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

Tapi lihatlah saat ini, pemikiran Kartini telah di tafsirkan kebablasan. Setelah akses pendidikan dimiliki kaum perempuan, mereka lantas menuntut lebih dari itu. Gelar, title dan ijazah pendidikan tinggi telah menuntut perempuan untuk di gaji berupa materi. Akhirnya kaum perempuan menyembunyikan kodratnya dan menyulap diri layaknya laki laki, yakni bekerja demi materi.

Jika Kartini masih hidup, niscaya air matanya tak akan berhenti mengalir melihat kiprah perempuan masa kini yang semakin mengingkari fitrahnya.

Perempuan yg semakin malu mengakui profesinya sebagai ibu rumah tangga dan minder hanya karena tak bekerja. Perempuan yg enggan taat pada suaminya dengan alasan kesetaraan. Perempuan yg lebih bangga menjanda, menjadi single perent atau lajang mandiri. Perempuan yg di eksploitasi habis habisan di berbagai lapangan kehidupan dengan mengabaikan tugas utamanya di rumah.

Warna warni muslimahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang