2

770 146 18
                                    

Rambutnya yang terurai dia ikat agar tak menghalangi pandangannya, dia pun sudah mengikat appron putih itu, seragam sekolahnya masih dia kenakan, dia memang baru saja pulang sekolah dan sengaja datang kesini hanya untuk sekedar membantu.

Dia sudah mulai sibuk dengan segala macam pesanan, suara es batu yang dia jatuhkan kedalam sebuah gelas terdengar nyaring, ada saja orang yang memesan minuman dingin walau keadaan sedang hujan.

"Ve...."

Badannya yang awalnya membungkuk kini kembali dia tegapkan saat dia mendengar seseorang memanggilnya.

"Kenapa ka?"

Iya, yang sedari tadi sibuk dengan sebuah minuman itu ialah Jessica Veranda, biasa dipanggil Ve, dan dia masih duduk di bangku SMA.

"Udah ini biar aku aja yang ngerjain. Kamu mending belajar sana, nanti kalau Yona tahu, kamu begini aku yang dimarahin."

Veranda menekuk wajahnya, mau tak mau dia melepaskan Appron nya memberikan pada seorang karyawan yang memang sudah dipercaya oleh Yona untuk menggantikannya saat dia tidak ada.

Yona tak menyukai jika Veranda harus di sibukkan dengan pekerjaan yang bukan tugasnya, Yona hanya meminta Veranda mengawasai apa yang terjadi disini, bukan untuk bersusah payah bekerja, karna menurut Yona tugas Veranda sebagai pelajar hanya belajar bukan yang lain.

Dengan wajah yang ditekuk, dia berjalan keluar dari ruangan pantry, dia memilih duduk di kursi pembeli, membuka sebuah laptop dan mengerjakan  tugas sekolahnya.

Sore yang hilang menyisakan senja yang sudah memudar.
Hujan di kala malam mengakibatkan genangan perasaan rindu yang mendalam akan masa lalu semakin dalam.

Dia mulai menggerakan tangannya pada keyboard laptopnya, waktu masih menunjukan pukul tujuh malam, masih tiga jam lagi untuk menutup cafe ini, dan Yona akan pulang sekitar dua jam lagi.

Semakin malam cafe ini bukannya sepi tapi semakin ramai, ada perasaan yang membahagiakan menderap dalam dadanya, dulu saat Yona sangat berambisi untuk membuka sebuah usaha, dia lah yang selalu yakin kalau Yona bisa, dan sekarang keyakinannya benar adanya, dia tahu Yona bukan seseorang yang akan dengan gampang menyerah untuk hal yang dia inginkan.

Dia banyak belajar dari sosok Yona, berteman sejak kecil membuat dia sangat tahu bagaimana Yona.

Yona baginya bukan hanya sekedar sosok teman, terlahir sebagai anak tunggal membuat dia selalu menganggap Yona adalah kaka kandungnya. Mungkin begitu juga dengan Yona, walau Yona memiliki adik laki-laki tapi dia selalu merasa Yona sangat memperhatikannya.

Dan waktu berjalan, tugasnya sudah dia selesaikan, dia meregangkan jari-jarinya. Dia jadi lega tak perlu takut untuk menghadapi guru yang terkenal galak.

Dia memang masih duduk dikelas dua SMA, parasnya yang cantik, sikapnya yang ramah membuat dia mempunyai banyak teman disekolahnya. Dia juga sangat berprestasi, kehidupannya seakan tak ada cacad nya sama sekali.

Sekarang laptopnya sudah dia tutup, keadaan cafe pun sudah sepi hanya menyisakan satu orang perempuan yang mengenakam seragam yang sama sepertinya. Dia melihat jam pada tangannya, sudah hampir jam sembilan.

Dan dia pun berjalan berniat memberi tahu kalau cafe akan segera tutup. Tapi saat kakinya melangkah, gadis itu malah berdiri dan berjalan keluar dari cafe, dia jadi tak susah memberi tahu, mungkin orang tersebut sadar kalau cafe akan tutup.

Sekarang dia berdiri dimana pembeli tadi duduk, tangannya mengambil sebuah buku yang tak terlalu tebal tapi tak tipis juga, bukan buku pelajaran. Buku berwarna hijau dengan gambar sebuah daun yang jatuh, buku yang menggelitik menurutnya, dia menahan tawanya saat dia membaca apa yang tertera disana.

"Tips cara cepat move on." Ucapnya, dan dia benar-benar tertawa, membuka lembar pertama.

"Kinal Putri..."

Dia membawa buku itu, dia pikir buku itu milik seseorang yang tadi baru saja keluar. Biar dia simpan dan dia kembalikan besok, karna dia sudah menghapal wajah seseorang tadi yang sudah dia lihat beberapa kali di cafe ini.










..
.
.












Bersama air hujan yang turun malam ini, dia jatuhkan sebuah perasaan yang menjelma air mata. Dia menyampaikan kesedihan lewat hujan, dan dia mewakili perasaan lewat tetesan.

Hujan ialah tempat pelarian yang indah, tempat paling mudah untuk menyembunyikan perasaan yang membuncah ruah.

Perasaanya sekarang seperti cuaca.Bila bahagia, dia sama seperti pelangi di petang hari. Tetapi jika sedih, dia akan menangis seperti hujan.

Rasanya punggungnya sudah merasa kaku karna terlalu lama duduk, dia meminum lagi minumannya, menyisakan setitik cream pada ujung bibirnya.

Ketika langit kotanya berubah mendung kehitaman lalu hujan, dia pikir serupa itukah warna rindu yang tertahan. Rindu penuh pengharapan akan hal yang sudah hilang.

Kenapa putus cinta harus sesakit ini?
Dia baru merasakannya, ini sakit hati pertamanya dari cinta pertamanya.

Dia sudah mulai bosan menjadi penikmat hujan, dia sudah mulai bosan hanya diam memandang dengan tatapan kosong apapun yang dia lihat. Sekarang dia melihat pada jam dipergelangan tangannya yang sudah menunjukan pukul sembilan, dia tersenyum kecut, selama itukah dia disini?

Empat jam lamanya.


Kali ini suara rintik hujan lebih syahdu dia dengar dari pada musik yang mengalun di cafe ini. Dia melihat karyawan cafe ini sudah mulai bersiap untuk menutup cafenya.

Dia pun membangkitkan tubuhnya dari duduk, dan dengan malas dia menenteng sebuah tas, dia keluar dari cafe ini dengan perasaan yang masih sama.

Hujan masih sangat deras, tangannya dia ulurkan menampung air hujan yang jatuh dan kemudian dia buang.

Kali ini matanya memicing saat lampu sebuah mobil menyorot tepat pada wajahnya. Dia melihat seorang gadis yang lebih pendek darinya berlari, dan dengan terburu-buru masuk kedalam cafe.

Dia jadi berfikir, cafe ini kan akan segera tutup kenapa gadis itu malah masuk kedalamnya?

Tapi dia tak mau memikirkan hal itu, dia pun tersenyum saat mobil pesanannya untuk pulang sudah datang, tapi saat kakinya ingin melangkah, dia melihat sebuah kartu mahasiswi disamping kakinya.

Dia pun mengambilnya, dia langsung teringat gadis yang berlari tadi, dia jadi membalikan lagi tubuhnya berniat untuk memberikan kartu itu.

Tapi cafe ini sudah tertutup rapat, dia jadi mengurungkan niatnya, memilih memasukan kartu itu pada kantong seragamnya dan dia pun bersiap pulang.

"Mba, Kinal ya."

Dia mengangguk saat seorang supir mobil online bertanya pada nya.

Kini tubuhnya bisa bersandar dengan santai pada kursi mobil, dia mengeluarkan lagi kartu yang dia temukan tadi.

"Viviyona.." Gumamnya membaca tulisan pada kartu itu.

"Masih ada ternyata orang yang kuliah cuman buat belajar ngelukis doang." Katanya lagi, dia sedikit tertawa, ntah apa yang salah dari seoarang mahasiswi seni rupa.

Mungkin bukan hanya dia yang selalu meremehkan sebuah jurusan seni rupa, bahkan banyak orang yang diluar sana selalu beranggapan seperti itu.

Buang-buang uang, kuliah hanya untuk menjadi seorang pelukis.

"Ini kalau lewat braga kayanya macet neng, mau lewat jalan lainnya aja?"

Dia masih fokus pada kartu berwarna putih itu, menjawab pertanyaan supir pun hanya dia jawab sekenanya.

























































Bersambung.

#TeamVeNalID

Happy sunday~

MatchaLatte [Stop]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang