BISA MASAK?

10 1 0
                                    

Setelah baca status mb Wini Afiati tentang memasak, aku jadi terkenang kembali cerita saat dulu taaruf. Hal yang menjadi momok bagiku adalah memasak. Tentu saja begitu, karena dalam keluarga besar kami, wanita itu adalah penyedia makanan sehat dan lezat di rumah.Salah satu hal yang membahagiakan ketika istri yang juga ibu itu memasak masakan kesukaan keluarga. Bagaimana kalau aku bahkan memegang pisau saja tidak bisa. Membedakan antara ketumbar dan lada saja nggak tahu. Apalagi jahe dan kunyit. Nyerah aku.

Sedari kecil, di rumah kami selalu ada yang membantu pekerjaan rumah. Di tambah lagi, Nenek yang juga tinggal bersebelahan dengan rumah kami, yang sering melarangku ikuy serta membantu di dapur. Alasannya, dapur jadi sempit, atau karena kreatifitasku yang tinggi, dapur akan menjadi sangat “rapi” dalam versiku.

Pertanyaan ini suka sekali membayangiku dulu, saat ada seorang pangeran yang dikabarkan akan bertandang ke rumah.

Betapa tidak, karena aku pernah mendengar sebuah nasihat dari seorang guru” hendaklah para istri menjaga perut, mata dan kemaluan suami”

Nah, bagaimana aku bisa menjaga perutnya, kalau memasak saja aku tidak bisa.

Dalam bayanganku, layaknya masyarakat pada umumya, istri adalah seorang penyedia makanan di rumah, tak peduli dia ibu rumah tangga atau ibu pekerja.

Malam-malamku dipenuhi dengan pertanyaan, “bagaimana kalau gara-gara dia tahu aku nggak bisa masak, dia akan menyesal memilihku. “

“Mak,aku nggak bisa masak, kekmana tu? “tanyaku pada mamak suatu malam.

“Yaudah, bilang aja nanti waktu ketemu, Ria nggak bisa masak. “

Aku diam, memikirkan kata mamakku.

“nggak apa-apa itu Mak? “tanyaku.

“Ya nggak apa-apalah. Biar dia tahu. ”jawab Mamak.

Dan hari taaruf itupun tiba saatnya.

Aku lebih banyak diam, sementara yang mengobrol ini itu hanya ibuku dan pendamping sang pangeran kala itu.

“Si Ria nggak bisa masak ni dia, “ kalimat Mamak yang ini serta merta membuat wajahku bagai kepiting rebus tak berani melihat kearah lawan bicara dan ingin melompat ke dalam sumur dan tak keluar lagi.

Tak kusangka, kalimat itu seperti petir yang menyambar-nyambar bagiku.

Dalam hati aku berkata, “ah Mamak, tak taukah kau kalau aku jadi malu? Daritadi kalimat itu cukup susah untuk keluar dari mulutku. Tetapi tak ku duga malah mamakku sendiri yang menyampaikannya.

Lalu aku mencoba mengintip reaksi di seberang sana. Dia hanya tersenyum. Sementara pendampingnya, yang beristrikan temanku sekampus dulu,mulai angkat bicara.

“Zaman sekarang nggak masalah lah Nuk, kalau nggak bisa masak. Bumbu-bumbu instan kan tersebar dimana-mana, tinggal beli, terus cemplang-cemplung ke kuali, kayak kami dulu awal-awal nikah juga gitu kan dek? “tuturnya meminta pembenaran dari sang istri.

Hatiku sejuk bak di siram gunung es mendengarnya, akhirnya aku bisa selamat dari petaka masak-memasak hari ini di depan si dia, entah nanti di depan mamak mertua.

Setelah menikah, aku terselamatkan kembali dalam hal memasak, karena kami tinggal di rumah Mamak selama 2 bulan. Kebetulan dia akan berangkat ke Jakarta untuk dinas belajarnya, sementara aku masih di rumah Mamak dan melanjutkan pekerjaanku di kampung.

Hingga suatu ketika dia menelpon, dan memintaku bersiap-siap agar ikut dengannya ke Jakarta.

Aku mulai mengumpulkan resep masakan khas Aceh, yang nggak mungkin bisa di beli sehari-hari, karena di sana pasti jarang sekali rumah makan khas aceh. Apalagi masakan Aceh itu ada bumbu khas yang bernama asam sunti. Pastilah nggak akan mungkin aku dapat di sana, pikirku.

Aku mulai mencatat beberapa menu masakan aceh yang simpel. Seperti ikan sambal balado,ikan asam keueng, ikan tumeh dan phep. Kalau untuk sayuran aku pilih yang rebus-rebus aja. Jadi nggak perlu resep.

Sesampai di Jakarta, aku mulai mempraktekkan resep yang telah aku catat selama di kampung halaman.

Aku masak ikan sambal untuk hari pertam, alhamdulillah sukses. Rasanya nggak berubah, tetap pedas sesuai rasa cabe.

Hari kedua, aku mulai merambah memasak ikan tumeh.

Ikan yang di tumis dengan bumbu khas Aceh.

Aku meminta si dia mencicipi masakanku saat pulang kuliah.

“Gimana rasanya, Bang? “tanyaku penasaran.

“Enak kok”ujarnya datar.

Apakah aku percaya begitu saja? Tentu tidak, wanita itu penguji, pastilah dia akan menguji kesetiaanmu. #eh

Pastilah ingin tahu kejujuran si dia. Jangan-jangan kayak cerita film-film roman lagi, padahal asin, tapi dibilang enak.

Ujian itupun sukses. Kuahnya tak ada rasa saudara-saudara. Hambar. Mungkin itu gambaran cinta kami waktu itu, hambar. “#eak.

Dan tanpa berkata apa-apa, aku mulai mengolah rasa agar tak ada lagi kehambaran di antara kita. #eak lagi deh.😂

Akupun membawa mangkuk berisi kuah tumeh ikan itu ke dapur. Memeriksa lagi resepnya, dan ternyata, aku nggak punya asam sunti untuk penguat rasa masakan kuah tumeh ikan menjadi terasa ikan tumeh.

Ternyata sulit juga. Sama sulitnya ketika aku menulis, dan aku lupa meletakkan dialog tag dengan tepat, atau meletakkan sapaan dengan huruf kapital.

Tapi itu tak membuatku jadi kapok. Setelah itu, aku jadi sering-sering nelpon mamak dulu kalau mau masak ikan tumeh, biar rasanya menggoda.

Biasanya, yang lebih berpengalaman kan lebih menggoda.

Hingga kemudian rasa-rasa indah di antara kamipun tercampur dalam semangkok kuah ikan tumeh sebagai menu andalan di Jakarta.

Berbagai hikmah bisa aku ambil dalam rangka belajar memasak agat masakan menjadi paripurna dalam hal kelezatan. Agar selalu rendah hati dan tidak sombong. Agar nghak baper kalau di koreksi orang lain. Dan tetap semangat menggapai hasil yang memuaskan.

Nah, bagi yang ingin coba kuah ikan tumehku, silahkan di cicipi fotonya dulu.
.
.
.

Ini ceritaku, bagaimana ceritamu?

#day1
#tantanganMeiFORSEN

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang