Suara "klenengan" di ujung jalan sana masih mendayu-dayu membekas di telinga.
Keinginanku, sungguh sangat tergesa-gesa untuk segera mengakhiri malam ini dengan satu ucapan doa "Tuhan, terima kasih untuk hari ini. Bolehkah aku mengintip esok pagi, sekarang?"
Sunyi, tak ada jawaban ... memang akulah yang selalu memaksa Tuhan untuk menuruti keinginanku. Sepertinya, aku selalu memaksa agar permintaanku dikabulkan oleh-Nya, salahkah? Sejenak telingaku kembali peka dengan suara "klenengan" itu, oh masih setia mengalun rupanya. Setidaknya, suara "klenengan" itu mampu menjadi saksi doa-doaku.
"Tuhan, aku ingin memaksa-Mu satu kali lagi ... aku janji, satu kali ini saja" itulah rengekanku pada Tuhan sebelum selimut bermotif kembang-kembang itu menutup tubuhku.
"Tuhan, aku ingin dia berjalan bersamaku. Aku ingin dia masih menggenggam tanganku. Aku benar-benar ingin melihatnya, Tuhan."
Tanda Tangan Gratis
Langkah kakiku semakin cepat, setelah aku sadari kalau hari ini aku harus sesegera mungkin menemui Hendra, pria pertama yang memberikan tanda tangannya kepadaku.
Saat itu aku masih menjadi mahasiswi baru dan harus meminta 100 tanda tangan dari kakak-kakak yang lebih tinggi tingkatannya. Beberapa dari mereka berlagak sok jual mahal, sampai-sampai aku disuruh menari hanya untuk mendapatkan coretan mereka yang asal-asalan saja, menurutku. Sungguh menyebalkan kalau mengingat kejadian saat itu.
Meskipun begitu, Tuhan tetap baik di sela-sela penderitaanku saat masa orientasi berlangsung. Ada seorang kakak tingkat yang tanpa basa-basi langsung memberikan tanda tangannya di kertasku. Aku merasakan dua hal mengganjal di hatiku. Pertama, dia memang benar-benar baik. Kedua, dia tidak kreatif karna tidak menyuruhku melakukan hal-hal yang memalukan. Setidaknya, ada imbalan sedikit untuk coretan tangannya di bukuku, tapi ternyata tidak.
Mengingat kebaikannya, aku semakin bersemangat untuk menemuinya di lantai tiga, tepatnya lantai paling atas di gedung perkuliahan kami.
Sempat terpikir di otakku kalau Hendra adalah orang yang aneh. Banyak tempat yang cukup strategis untuk bisa bertemu tanpa harus naik tangga sambil ngos-ngosan, tapi dia selalu tidak mau. Napasku terengah-engah, keringatku sudah menjalar hingga ke punggungku, pundakku terasa berat menggendong tas ransel berisi buku dan netbook yang belum lunas cicilannya. Maklum anak kost yang ingin berlaga sok borjuis.
"Lama sekali sih, Ses?" tanya Hendra sambil menyodorkan buku tulis bergambar hellokitty. Dahinya mengerut dan dia tampak kesal sekali.
Tanpa menggubris Hendra, aku menaruh tas ranselku di kursi cokelat yang sudah tua. Aku menyeka keringat di dahiku dengan paper face, melihat sekilas arlojiku, dan mengambil sisir di dalam saku depan tasku.
"Jadi pinjam buku, tidak?" tanya Hendra ketus."Oh, iya jadi. Bukunya ini, ya? kataku dengan santai.
Hendra tampak kesal saat memberikan buku itu kepadaku. Aku raih buku itu dan melihat wajah Hendra yang kusut seperti kain yang tidak pernah tersentuh setrika dan pewangi.
"Aku sudah menyodorkan buku ini sejak tadi. Kamu itu kalau jadi orang yang on time, jangan seperti ini. Sudah telat, tidak menghargai lagi!" celetuk Hendra.
"Aku sudah berusaha tepat waktu, Ndra. Tapi selalu saja ada halangan" Jelasku.
"Alasan, gara-gara kamu, aku tidak masuk kuliah jam ini"
"Loh, mengapa gara-gara aku? Harusnya kamu tidak usah menungguku kalau memang kamu ada kuliah. Gimana sih?" kataku tanpa rasa bersalah.
"Cerewet! Aku melakukan ini karna aku ingin membantumu!" jelas Hendra dengan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Remaja
Teen FictionRemaja itu hidupnya penuh semangat, enerjik, dan "warna-warni". Nikmatilah dengan kejujuran dan keterbukaan untuk mendapatkan relasi yang baik.