"Biru!"
"Biru!"
Eitz jangan salah, aku tidak sedang mengeja warna biru. Aku sedang berteriak memanggil seorang cowok yang memunyai nama "Biru". Nama yang unik, bukan? Dulu pertama kali kenalan dengannya, aku sempat heran "nama kok Biru, sih?" Tapi mau gimana lagi, memang itu namanya "Biru Lastama". Tak ada yang berkesan saat perkenalan itu. Jabatan tangannya juga biasa saja, apalagi tatapan matanya ... uh jadi sebel kalau mengingatnya. Coba deh dibayangkan, masa saat kenalan, tatapan matanya menatap orang lain yang ada di sebelahnya, yang saat itu sedang berteriak karena ice cream cokelatnya tumpah di pangkuannya. Saat aku bilang "Fira", dia membalas sapaanku dengan "Biru" sambil menatap cewek centil yang sedang heboh dengan ice creamnya. Wajar nggak sih?
Setiap hari, sebenarnya aku sering bertemu dengannya. Aku sering menjumpainya di ruang perpustakaan, tepatnya di sudut ruangan yang terkenal dengan buku-buku lama dan berbau apek. Aneh deh, kok dia suka sih duduk di situ, sudah remang-remang, berdebu, bukunya jadul-jadul lagi. Lebih aneh lagi, mengapa aku juga mau menemuinya di ruangan itu ... hehe. Bukan karena apa-apa, melainkan aku sedang mengorek informasi darinya tentang teman sekelasnya, namanya "Rio". Tak jarang dia mengomel-ngomel sampai lama, telingaku sebenarnya sudah bosan mendengar gerutuannya saat aku tanyai tentang Rio. Tapi mau gimana lagi? Demi segelintir informasi, aku merelakan telingaku mendengar radio nggak pas channel-nya, aku merelakan hidungku mencium aroma-aroma tak sedap, dan merelakan tanganku sesekali plak! plak! menghantam nyamuk-nyamuk yang hinggap di pergelangan tanganku. Sudah hampir dua bulan, aku mengorek informasi tentang Rio dari Biru. Perjuanganku yang berat dan penuh tantangan itu sering kali hanya diganti dengan satu informasi tentang Rio, dua informasi kalau pas hari baik ... hehe. Lebih parahnya lagi, informasi itu hanya berupa "Rio hari ini tidak masuk kuliah karena kemarin kehujanan dan sekarang sakit,"... ahh berguna apa coba? Berguna sih berguna walau sedikit, tapi tidak membuatku bisa mengambil keputusan apakah aku harus mengatakan pada Rio atau tidak, kalau aku menyukainya. Eitz, jadi ngaku deh, iya aku memang menyukai Rio, teman sekelas Biru yang hobinya menggambar ... menggambar apaan ya? Gambar dua gunung dan di tengahnya diberi satu jalan lurus, di tepinya ada satu pohon (tidak jelas pohon apa) dan ada satu rumah ... hehe. Kalau setaraf Rio sih, tentu saja bukan gambar pemandangan seperti yang biasa aku buat. Aku juga heran kenapa ya gambar gunung itu juga aku ajarkan ke adikku? Hmmm ...
Aku berlari-lari menuju lantai dua dengan ngos-ngosan, takut kalau-kalau aku terlambat masuk kuliah kewarganegaraan. Huwaaa kewarganegaraan? Apakah aku kurang cukup menjadi warga negara yang baik? Aku selalu membayar kost tepat waktu, membayar SPP tepat waktu, dan mengerjakan ujian tepat waktu terlepas hasilnya seperti apa ... hehe. Saat aku menghampiri mejaku, huh ... punya siapa nih? "Taruh jangan sembarangan donk! Meja orang, tahu!" kataku sambil mengangkat alat penggunting kuku berwarna hijau, harap-harap mereka melihat dan mengambil dari tanganku. Ternyata tak ada satu pun yang mengambilnya. "Pengumuman! Ini gunting kuku siapa ya? Ambil!" teriakku mirip penjual krupuk di pasar. Masih mending penjual krupuk di pasar, suaranya masih bagus. Suaraku sudah cempreng, keras lagi ... huh malu-maluin margaku saja. :) "Kalau kamu tidak mau gunting kukunya, sini untuk aku saja!" kata Okta merampasnya dari tanganku. "Oops, apa katamu?" jawabku sambil mengejarnya dan merampas gunting kuku itu.
"Ini dari Rio, untuk kamu. Kalau kamu tidak mau, aku mau kok!"
"Haaaa? Dari Rio?" Aku amat-amati gunting kuku itu, berwarna hijau, di sisi depannya terdapat gambar singa, dan ada tulisan China di bagian bawah. Spontan aku langsung teringat, "Cihuiii ... Rio sudah kembali! Yes...yes!" teriakku sambil mencubit kedua pipi Okta dengan tanganku.
"Huh, dasar orang gila!" kata Okta cemberut. Peduli amat dengan kata-kata Okta, aku sedang bahagia. Memang, dua minggu yang lalu berdasar informasi dari Biru, Rio memang pergi ke Singapura menjenguk kakaknya yang sedang sakit. Ah, tak disangka ternyata aku diperhatikan olehnya ... hem, indahnya dunia ini. Jangan-jangan Rio sudah tahu kalau aku menyukainya, lalu mengapa dia memberikan aku oleh-oleh gunting kuku ya? Warna hijau lagi! Itu 'kan warna kesukaanku. Ya Ampun Fira, mengapa sih memusingkan diri sendiri dengan pertanyaan konyol? Yang penting 'kan sudah diperhatikan oleh Rio, kataku dalam hati.
"Bagus, ya?" kataku sambil terus mengamat-amati gunting kuku berwarna hijau itu. Biru tersenyum sinis menatapku dan tak lama kemudian ia kembali membaca bukunya. "Eh Biru, kapan aku bisa bertemu dengan Rio? Aku ingin kamu yang mengatur segalanya!" kataku seperti pemimpin perusahaan yang ingin menjalankan satu misi besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Remaja
Novela JuvenilRemaja itu hidupnya penuh semangat, enerjik, dan "warna-warni". Nikmatilah dengan kejujuran dan keterbukaan untuk mendapatkan relasi yang baik.