S I N O M - 1

141 9 8
                                    

Enggak ada dalam rencana gue buat ngantar Lentera malam itu. Gue enggak mabok, jelas. Gue juga dalam keadaan sober, jelas. Yang gue pertanyakan adalah mengapa otak gue memerintah untuk menawarkan tumpangan pulang ke cewek aneh itu sekaligus ngasih undangan khusus buat datang ke latihan Ekspresi. Bukan apa-apa. Gue sih terbuka aja kalau warga fakultas mau nonton kami saat latihan. Tapi yah, you know lah ya. Ekspresi lagi kacau-kacaunya. Sekacau otak gue yang sekarang tiba-tiba memandang Lentera yang baru saja lewat di koridor seberang mengenakan jas laboratorium berwarna putih.

Shit. Gue kenapa, sih?!

"Kai!" wajah Kinara muncul di hadapan gue. Matanya yang belo mengerjap-ngerjap dan pipinya bersemu merah merona. Pingin nyium aja jadinya.

"Woi, lo mikir apaan, Kai? Jangan aneh-aneh, ya!" Kinara melemparkan tinju pelan ke muka gue. Astaga, gue memang baru aja mau mikir yang enggak-enggak. Untung nggak jadi, ya Tuhan.

Belum sempat gue menjawab pertanyaan Kinara, dia malah berasumsi yang enggak-enggak juga."Mikirin Kendall Jenner kapan mau jadian sama elo, ya? Ngimpi lo tuh ketinggian!"

"Ya enggak lah!" kini si Jati yang menyambar. Tiba-tiba saja dia duduk di samping gue dan menyeletuk seenak jidat."Lha wong Rakai ini udah punga gebetan baru. Ya nggak?"

Gue melotot otomatis."Sembarangan! Kata siapa lo?"

Jati berdecak."Semalem gue lihat dengan mata kepala gue sendiri. Lo anterin tuh bocah tingkat dua ke indekosnya kan? Ngaku lo!"

"Oh iya?" Kinara menyeletuk. Membuat kepala gue menoleh refleks dan melihat perubahan air mukanya yang tiba-tiba mengeruh. Bahkan rona blush on di pipinya enggak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya.

Anjir, ngapain si Jati ini pake ngember di depan Kinara, sih?!

"Yaaa kan bukan apa-apa, Jat. Ban belakang motornya bocor pas mau balik. Mana gue tega ninggalin cewek pulang dengan jalan kaki sendirian tengah malam begitu?" gue secepat kilat berkilah.

Kinara bungkam, namun matanya seolah hendak bertanya sejuta pertanyaan.

"Suer, Ra. Gue enggak ada apa-apa sama tuh cewek." gue mengangkat jari telunjuk dan jari tengah, memberi gestur yang gue harap bisa bikin Kinara percaya.

"Buat apa?" Kinara mendengus.

"Apanya?" gue balik bertanya.

"Ya itu, ngejelasin ke gue sampai segitunya. Emang kenapa kalau lo ada apa-apa beneran sama Lentera? Apa penting lo denger suara gue? Enggak, kan?!" Kinara menatap gue tajam, mengunci pandangan gue supaya tetap melihatnya yang kini terluka.

"Ra, gue..." Damn. Gue bingung mau ngomong apa, cuk.

Kinara memalingkan mukanya. "Jangan diteruskan, Kai. Lo bikin gue makin terlihat menyedihkan."

Shit! Tolong dong, siapa pun ajari gue cara ngomong baik-baik sama cewek yang super sensitif!

---

Malam ini gue kedatangan tamu yang sengaja gue undang. Sebenarnya gue sudah berulang kali merapal doa supaya Lentera enggak datang. Ini bukan seperti yang orang Jawa bilang lamis--lambe manis--tapi gue nggak enak hati dengan Kinara yang mendiamkan gue sejak mulut Jati nggak bisa direm tadi pagi. Sekarang, gue lihat Lentera datang bersama cowok yang biasanya ngintilin dia ke mana-mana. Gue tahu namanya Langit. Tubuhnya tinggi tegap dan atletis layaknya pemain basket. Rambutnya dipangkas pendek cepak akibat ospek yang mengharuskan seluruh mahasiswa memiliki panjang rambut yang sama bagi laki-laki. Kumisnya tumbuh tipis, begitu pula dengan janggutnya. Brewoknya dicukur habis hingga licin mulus. Tipe-tipe cowok bersih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NEMBANG PUCUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang