~ SATU ~

4.5K 173 0
                                    

Lagi.

Lagi-lagi aku merasakannya.

Perasaan ini.

Sunyi.

Menenangkan.

Angin yang berhembus seakan memberi ketenangan yang selama ini ku cari. Pohon-pohon yang bergoyang mengikuti sapaannya. Daun-daun yang menyambut datangnya angin dengan gugurnya. Sesaat aku merasa ingin menjadi daun itu. Terbang bebas pasrah terhadap angin yang membawanya. Berharap angin dapat membawaku ke tempat yang lebih baik.

Hidup ini terasa kosong. Bahkan hatiku pun demikian. Apa yang aku harapkan dari hidup ini? Apa tujuan Tuhan memberikanku hidup ini? Bahkan aku pun tak tahu apa tujuanku hidup.

Putus asa? Tidak.

Aku tidak suka perasaan seperti itu dalam hatiku. Aku hanya sedikit merenungi kehidupanku selama ini. Kata orang bijak, setiap hidup manusia itu berharga. Entah darimana dia melihat kata 'berharga' dari kehidupan.

Bagaimana bisa aku menghargai kehidupan jika orang yang berharga itu telah diambil dariku selamanya. Apa yang Tuhan rencanakan dalam kehidupanku? Aku terus bertanya-tanya? Dan tak ada jawabannya.

Aku hidup sebatang kara sejak berumur 16 tahun. Orang-orang memanggilku Lili, berharap aku semurni dan setulus arti dari bunganya. Lilia Savina Crystal, nama yang Ibu berikan padaku. Awalnya dunia ini indah walau hanya ada aku dan Ibu. Ibu selalu memberikan seluruh kasih sayangnya padaku.

Ibu meninggal karena penyakit yang dideritanya. Walaupun Ibu dan aku adalah pengumpul tanaman obat tetapi aku tidak menemukan obat yang bisa menyembuhkan penyakit Ibu. Bahkan tabib pun tidak tahu penyakit Ibu yang sebenarnya. Jadilah kami hanya menggunakan obat untuk memperpanjang umur Ibu. Tetapi nasib berkata lain, Tuhan mengambil nyawa Ibu lebih cepat dari dugaanku.

Kalian bertanya-tanya dimana Ayahku?

Aku tidak tahu dimana sebenarnya Ayah berada. Sejak kecil aku dan Ibu hanya hidup berdua di desa terpencil ini. Pernah suatu ketika aku menanyakan keberadaan Ayah namun Ibu hanya bilang jika Ayah pergi karena suatu hal yang sangat penting. Aku baru tahu bahwa ada hal yang lebih penting dari keluarga. Yaa, aku tidak akan mempermasalahkan keberadaan Ayah. Satu hal yang Ibu tekankan padaku bahwa Ayah sangat menyayangi kami.

Sudahlah lebih baik kita hentikan pembahasan tentang Ayah. Aku tak tahu dimana dia, sedang apa dia, masih hidup atau sudah mati, dan aku tidak peduli.

Aku terus berjalan menyusuri jalan yang biasa kulewati setiap harinya. Hutan ini seperti rumah kedua bagiku. Sebagian waktuku banyak dihabiskan di hutan ini. Untuk apalagi jika bukan untuk mencari tanaman obat yang akan dijual di pasar.

Aku menjalani kebiasaan ini setiap hari selama empat tahun terakhir sejak meninggalnya Ibu. Mencari obat dihutan – menjualnya di pasar – kembali kerumah. Tidak ada waktu untuk pergi bermain dengan teman sebayaku.

Teman sebaya? Hahaha hahaha

Ups, maaf. Aku tidak bisa menghentikan tawaku sendiri. Sungguh menggelikan, bagaimana mungkin aku berpikir untuk bermain dengan teman sebayaku sedangkan teman saja aku tidak punya. Aku tak tahu apa yang dipikirkan oleh penduduk desa ini. Mereka seolah-olah mengabaikan eksistensiku. Apakah aku sejenis makhluk halus bagi mereka? Entahlah.

Tanaman obat yang kukumpulkan, aku jual pada bibi pemilik kios di pojok pasar. Satu-satunya orang yang mau menerima tanaman obat yang aku cari. Bahkan sesekali bibi memberiku makanan. Aku sangat berterimakasih padanya. Dia tidak menganggap aku anak kutukan seperti penduduk lainnya. Hanya karena penyakit yang diderita oleh Ibu tidak bisa disembuhkan, mereka menganggap aku dan Ibu terkena kutukan. Dan mereka tentu saja berpikir bahwa nantinya aku dan Ibu dapat menularkan kutukan tersebut pada mereka.

Matahari telah menenggelamkan dirinya ketika aku sampai dirumah. Rumah ini merupakan satu-satunya peninggalan Ibu. Aku masih ingat dengan jelas kenangan-kenangan bersama Ibu dirumah ini. Setiap malam biasanya kami akan membaca buku bersama. Berdiskusi tentang isi buku. Jadi, walaupun aku tidak pernah menginjakkan kaki keluar desa setidaknya aku bisa membayangkan bagaimana rupa dunia luar.

Aku berjalan menyusuri rak buku yang tersusun rapi. Beberapa sudah menguning kecoklatan termakan usia. Beberapa masih nampak bagus karena belum lama ini aku membelinya. Mataku tertuju pada sebuah buku yang tidak boleh sekalipun dibuka oleh Ibu. Pernah aku menanyakan alasannya tetapi Ibu tidak pernah memberi alasan yang pasti. Seiring berjalannya waktu, aku melupakan keberadaan buku tersebut.

Namun hari ini aku tidak bisa lagi menahan keingintahuanku. Bukankah Ibu telah meninggal? Jadi, buku ini sudah menjadi milikku kan? Aku ambil buku tersebut lalu menempatkannya di atas meja. Sesekali aku terbatuk-batuk karena banyaknya debu yang seakan menjadi selimut.

Buku itu sangat tebal dengan susah payah aku membawanya ke atas meja. Bersampul hitam dengan tinta warna emas yang berjudul "The Secret of Imrus Kingdom". Banyaknya debu disekitar buku menunjukkan bahwa buku itu telah lama sekali tidak dibaca. Dari judulnya saja sudah sangat menggelitik rasa penasaranku.

Ku letakkan buku tersebut diatas meja dikamarku. Bimbang. Haruskah aku membacanya atau tidak. Mengabaikan pergolakan dalam diriku, akhirnya aku menyerah pada rasa penasaranku.

Kosong? Aku terus membalik lembaran-lembaran kertas di buku tersebut. Tiba-tiba ada sebuah cincin jatuh dari tengah halaman menggelinding ke pangkuanku. Berwarna perak dengan permata putih yang indah di tengahnya, cincin yang sangat indah menurutku. Jika diteliti dengan seksama, terdapat tulisan Adrik - David – Kenta – Viktor yang mengelilingi cincin. Terpesona dengan cincin tersebut hingga aku tak sadar memakainya di jari manisku. Tubuhku tiba-tiba seperti tersengat listrik yang berasal dari cincin yang baru saja kupakai. Kucoba untuk melepaskan cincin tersebut tetapi cincin tersebut seolah sangat pas d tanganku.

"Tolong, tolong aku", pekikku dengan keras.

Berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku walaupun itu tidak mungkin. Ah, apakah ini akhir hidupku? Jadi aku akan meninggal dengan cara seperti ini? Miris sekali. Kenangan-kenangan indah bersama Ibu tiba-tiba memenuhi pikiranku.

Ibu sepertinya kita akan segera bersama lagi, tunggu aku disana, batinku.

Bajuku basah dengan keringat, kerongkonganku sakit sehingga tidak ada kata yang bisa keluar, seluruh tubuhku mati rasa dan penglihatanku mulai memudar. Tetapi samar-samar aku masih mendengar banyak derap kaki mendekat.

"Amour bertahanlah"

Suara siapa itu? Mengapa seolah peduli padaku?

Sebelum sempat untuk berpikir lebih jauh.

Kegelapan menyambutku.    


~ 0 ~

Ditunggu vote sama comment nya yaa :)


Sampai jumpa lagi minggu depan

Windu


IMRUS KINGDOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang