Dia masih punya alasan untuk tetap pergi tanpa ada kata yang di ucapkan.
Saat kesunyian di kamar ini mencengkram rasa hangat lebih erat lagi dari yang sebelumnya,
aku rasakan, hanya rona mata cokelat gelap mu yang teringat jelas di benak ku.
Satu, dua kalimat kau lontarkan tetapi ku lihat sejenak hanya bibir tipis dan tatapan tajam.
Kira-kira sudah jam setengah 4 subuh kita berbisik pada kekosongan jalan raya, pelannya angin berhembus menerpa rambut hitam nan legam.
Dia ulurkan tangan, karena dingin sudah menusuk ruang tubuh dan menyakiti tiap tulang.
Ku jabat tangannya dengan hangat, lembut, dan perlahan.
Kenyataannya kini aku tidak bisa menahan mu lebih lama karena hari akan tetap berganti dan diri mu akan tetap begitu.
/sdp/
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu, Emosi, dan Hidup
PoetryHari-hari sang penulis tak begitu indah tapi begitu dramatis