Enam

55 5 0
                                    

Selamat membaca ❤

"Terimakasih karena sudah menjadikanku segala hal yang kamu prioritaskan. Dan maaf karena selalu menjadikanmu nomor sekian untuk ku hiraukan"

"Kurang ajar banget sih itu cowok!"

Ara segera membekap mulut Kezia karena sekarang teman-teman sekelasnya tengah menatap padanya dan Kezia.

Lewat tatapannya, Ara mengisyaratkan Kezia untuk mengontrol volume suaranya.

"Sorry, Ra. Abisnya gue kesel banget sama Danny," ucap Kezia kesal.

"Ya udah sih, lagian gue juga udah biasa aja."

Bohong. Jelas Ara tidak baik-baik saja. Tadi pagi saja saat tidak sengaja melihat Danny bersama Della, rasanya ia ingin menangis lagi. Untung saja ia bisa menahan dirinya.

"Lagian lo bego banget deh, Ra! Harusnya lo dengerin apa kata Elvan waktu itu. Nyesel kan lo sekarang?" Kezia menyentil dahi Ara.

Ara mendengus sebal. Memang ini salahnya yang terlalu berekspektasi tinggi pada Danny. Ara pun mengakui itu.

"Terus, Elvan udah tau masalah ini?"

Ara mengangguk. "Semalem gue langsung curhat sama dia. Dia yang nemenin gue nangis hampir satu jam. Padahal dia lagi sakit."

Ara kembali mendapat serangan dari Kezia. Kali ini berupa toyoran di kepalanya. Membuatnya membalas dengan pelototan tajam.

"Lo bener-bener harus privat masalah kepekaan, Ra." Kezia geleng-geleng kepala sendiri.

"Kok gitu?"

"Gue tanya, selama ini siapa yang selalu ada buat lo? Danny?"

Ara berpikir sejenak. Satu nama langsung muncul di otaknya tanpa harus mencarinya.

Ara hanya menjawab dengan gelengan.

Kezia menatap Ara dengan serius. "Ra, selama ini yang lo cari itu udah ada di depan mata lo. Tapi lo selalu nutup mata buat dia."

Ara masih belum mengerti maksud perkataan Kezia. "Maksud lo?"

Helaan napas lelah meluncur dari bibir Kezia. "Lo pikir selama ini yang selalu ngasih makanan kalau lo nggak sempet ke kantin siapa? Yang waktu itu minjemin topi upacaranya buat lo siapa?"

"Danny."

"Terus saat lo sakit perut, siapa yang ngasih Kiranti?" Kezia bertanya lagi.

"Kan lo tau Elvan yang ngasih, Key."

Kezia kembali menoyor kepala Ara. "Gue baru sadar kalau lo emang bego!"

Bibir Ara sudah maju ke depan karena ucapan Kezia.

"Ra, coba buka mata lo!"

Ara melebarkan matanya menggunakan jempol dan telunjuknya. Sontak saja perbuatannya itu membuat Kezia memukul kepala Ara menggunakan buku paket.

"Ish, kan lo suruh gue buka mata," Ara menggerutu.

"Gue serius, Ra,"

"Ok,"

"Inisial D.E selama ini itu Elvan, Ra. ELVAN!"

Ara tidak bisa menahan tawanya. "D.E itu maksudnya Danny Ernanda, Key. Lo aneh-aneh aja, deh!"

"Apa lo pernah mastiin langsung sama Danny?" Kezia bertanya serius.

Ara menggeleng.

"Kalau emang selama ini Danny yang selalu ada buat lo, terus kenapa sekarang dia malah jadian sama Della?"

Ara terdiam. Tidak mampu memberikan jawaban satu katapun. "T-tapi, Key, Elvan nggak mungkin-"

Dengan cepat Kezia memotong ucapan Ara. "Siapa nama lengkap Elvan?"

"Davian Elvano,"

"Inisialnya?"

"D.E?" Ara langsung menjatuhkan kepalanya ke atas meja setelah tersadar satu hal. Berkali-kali ia memukul pelan kepalanya dengan tangan. Bagaimana bisa selama ini ia tidak menyadari hal itu?

"Baru sadar kan, lo?"

"Tapi lo tau dari mana, Key?"

Kezia tampak sedang berpikir. Menerawang kejadian beberapa bulan yang lalu. Kejadian dimana dia tidak sengaja memergoki Elvan sedang meminta tolong pada Tama--teman sekelasnya untuk memberikan kantung keresek berisi roti dan minuman untuk Ara.

Kezia sempat bertanya, mengapa Elvan tidak memberikannya langsung. Namun cowok itu hanya tersenyum. Lalu ketika Kezia berniat memberitahu Ara, Elvan langsung melarangnya. Karena saat itu Elvan tahu bahwa Ara sedang jatuh cinta pada Danny.

Kezia masih jelas mengingat bagaimana reaksi Elvan saat tahu bahwa Ara mengira inisial D.E itu adalah Danny Ernanda. Cowok itu tampak kecewa. Namun dengan lihai ia samarkan dengan ekspresi tenangnya.

Kezia juga tidak akan lupa saat Elvan menitipkan topi upacara dan setengah sobekan kertas untuk Ara padanya. Hari itu, Elvan harus berpura-pura izin ke UKS supaya tidak mengikuti upacara. Demi Ara, Elvan mempertaruhkan dirinya sendiri.

Juga kejadian ketika Ara sedang nyeri datang bulan tempo hari. Elvan bercerita padanya bagaimana ia diejek oleh anak-anak kelas 12 yang baru selesai olahraga ketika dipergoki sedang membeli Kiranti di kantin. Ia diolok-olok seperti seorang perempuan. Meski ia menceritakannya dengan tertawa, namun Kezia tahu bahwa Elvan juga mempunyai rasa malu. Lagi-lagi demi Ara, Elvan menekan habis-habisan gengsinya.

"Mending lo cari jawabannya dari Elvan langsung, Ra." Akhirnya hanya jawaban itu yang mampu Kezia berikan. Karena terlalu banyak yang sudah Elvan lakukan untuk Ara.

"Gue masih nggak nyangka, Key." Suara Ara terdengar melemas.

Kezia menepuk bahu sahabatnya itu. "Dia orang baik, Ra. Dia sayang sama lo."

Pikiran Ara sudah melayang entah kemana.

"Kodratnya itu cowok yang inisiatif beliin minum buat cewek." Elvan memberikan sebotol minuman untuk Ara. "Apa lagi buat cewek yang disayang."

"Gue lagi suka sama anak kelas 11 IPA 4."

"Iya, lo emang ngerepotin gue mulu, Ra." Ada jeda sejenak sebelum Elvan melanjutkan kata-katanya. "Tapi gue tetep sayang, kok."

"Gue tau kok gimana rasanya, Ra." Elvan menghela napasnya. "Merjuangin seseorang yang sedang merjuangin orang lain itu ibarat sariawan kena Boncabe, Ra. Perih!"

Kata-kata Elvan seperti sebuah kaset yang terputar berulang-ulang di ingatan Ara. Ia membuka tasnya, mengambil beberapa sobekan kertas yang selama ini ia kira dari Danny.

Ara mengusap dua huruf yang selalu tertulis di pojok kanan bawah.

"Davian Elvano, is that you?"

Is That You? #GAPersonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang