Tujuh

50 6 0
                                    

Selamat membaca ❤

"Ternyata dengannya hanya sebuah ambisi. Sementara denganmu, aku menyadari ada debar dalam hati"

Fakta yang diperoleh dari Kezia tadi pagi membuat Ara mengurung diri di kelas saat jam istirahat pertama ini. Ia hanya merasa belum siap jika bertemu dengan Elvan. Ia tidak tahu bagaimana akan bersikap pada cowok itu.

Alhasil, ia hanya duduk sambil mendengarkan musik melalui headset yang terpasang pada ponselnya.

Ara menegakkan tubuhnya ketika teringat sesuatu. Ia membuka folder Audio dalam penyimpanan teleponnya. Setelah menemukan apa yang ia cari, Ara segera memutar dan mendengarkan dengan baik.

Ia mendengar suaranya dan suara Elvan yang sedang mengobrol. Sesekali tersenyum karena jokes yang Elvan berikan dinihari itu.

Ya, ketika Elvan bercanda menyuruhnya untuk merekam suaranya ketika kejadian mati lampu waktu itu, diam-diam Ara memang mengikuti saran Elvan. Takut jika Elvan benar-benar ketiduran, meski ia yakin itu tidak akan terjadi. Karena nyatanya justru ia yang tertidur meninggalkan Elvan.

Ara mempercepat rekaman itu sampai ia tidak mendengar suara apapun selain deru napas teratur dirinya dan juga Elvan. Itu baru sampai pada durasi 1 jam 24 menit. Sementara rekaman ini berdurasi hampir dua setengah jam. Selama itukah Elvan rela membuka mata demi bisa menjaganya? Tidak tidur hanya untuk menemaninya, yang bahkan sudah terlelap?

Ara kembali mempercepat rekamannya sampai pada durasi 2 jam 13 menit. Masih sama, hanya terdengar suara hembusan napas.

Ia sudah berniat untuk mengakhiri, namun ketika baru saja akan mematikan, Ara mendengar Elvan bersuara. Ara segera mengeraskan volume.

"Ra, lo udah tidur ya?" Terdengar suara kekehan Elvan. "Iya lah, jelas-jelas udah sejam lebih nggak ada suara lo."

Elvan menghembuskan napasnya. "Ra, lo pasti nggak tau kan gimana khawatirnya gue waktu denger lo nangis tadi? Rasanya gue pengin langsung masuk ke rumah lo, nemenin lo, kalau perlu gue akan peluk lo biar lo nggak ngerasa takut lagi."

Ada jeda pada ucapan Elvan. Ara menghembuskan napasnya, mengatur detak jantungnya yang sudah tidak keruan.

"Oh ya, gimana tadi jalan sama Danny? Pasti lo bahagia kan? Gue tau kok, Ra. Gue liat sendiri dari mata lo kalau lo bahagia sama Danny. Kalau lo lagi nggak tidur, pasti lo akan tanya dari mana gue tau kan?"

Ara benar-benar memfokuskan pendengarannya hanya pada suara yang ia dengar dari headset di telinganya.

"Sorry, Ra, tadi gue ngikutin lo sama Danny. Gue tau gue bodoh. Dengan ngelakuin itu, sama aja gue biarin hati gue sakit. Gue cemburu, Ra."

Ara bisa mendengar suara kekehan Elvan, namun entah kenapa ia justru merasa sakit mendengar tawa hambar Elvan itu.

"Lucu ya, Ra. Ternyata cewek nyebelin, rusuh, cerewet kayak lo yang berhasil bikin gue jatuh cinta. Nggak salah kan, Ra kalau gue jatuh cinta sama lo? Atau lo akan jauhin gue kalau lo tau perasaan gue?" Elvan kembali menjeda ucapannya. "Gue takut, Ra, kalau suatu saat lo tau perasaan gue, lo akan jauhin gue." Sepertinya Elvan baru saja menguap.

"Ra, lo beneran cinta sama Danny ya? Gue rela lo sama siapapun, selama dia orang baik, Ra. Haha kedengerannya munafik banget ya, Ra? Tapi, Ra.. ada sesuatu yang lo nggak tau tentang Danny. Dia nggak sebaik yang lo kira. Tadi.. dia ninggalin lo buat ketemu sama Della. Dan lo tau apa yang gue liat selanjutnya? Dia ciuman sama Della, Ra."

"Hah! Gue nggak tau harus ngasih tau lo atau nggak. Tapi gue nggak akan diem aja kalau lo sampai disakitin sama Danny, Ra."

"Ra, listriknya baru aja nyala, lo nggak perlu takut lagi kalau lo kebangun nanti. Jadi nggak papa kan kalau gue matiin teleponnya? Ra, gue tau lo nggak akan denger ini. Tapi.. Gue sayang sama lo, Ra. Sayang yang lebih dari sekedar sahabat."

Ara sampai tidak sadar air matanya sudah menetes sedari tadi.

"Tidur nyenyak ya, Ra. Semoga lo mimpi indah. Gue juga mau tidur, Ra. Good morning. Hehe iya, ini udah pagi, Ra. Udah ya, gue matiin."

Rekaman panggilan itu selesai. Ara buru-buru mengusap air matanya, takut dilihat oleh teman-temannya. Dengan segera Ara keluar dari kelas, tidak memedulikan Kezia yang menatapnya heran.

Tujuan Ara adalah kelas sebelah, kelas 11 IPA 3. Ketika Ara masuk, ia sudah menjadi pusat perhatian. Namun ia tidak memedulikannya. Fokusnya hanya satu, Elvan.

Cowok itu sedang duduk dengan mata yang terpejam. Setelah salah seorang temannya menyenggol dirinya, barulah Elvan membuka mata, dan terkejut ketika melihat Ara masih mematung di depan pintu.

"Ra?" Elvan berdiri dari duduknya, berniat menghampiri Ara.

Namun baru dua langkah Elvan berjalan, Ara sudah lebih dulu menghampiri cowok itu, kemudian menghamburkan dirinya pada dada bidang Elvan dengan tiba-tiba.

Elvan yang terkejut hanya bisa mematung. Perlahan tangannya membalas pelukan Ara. Suasana kelas mendadak hening.

"Ra?"

Suara isakan Ara membuat Elvan mengelus punggungnya dengan lembut.

"Gue udah tau semuanya, Van. Gue tau perasaan lo, gue tau inisial D.E itu lo,"

Tubuh Elvan menegang seketika. "Lo.. t-tau dari mana, Ra?"

"Lo nggak perlu tau, Van."

Elvan tidak memaksa. Mereka semakin menjadi pusat perhatian karena tidak kunjung melepas pelukan.

Ara sendiri masih menikmati debaran jantungnya saat ini. Ia baru tersadar, bersama Danny ia tidak pernah merasakan getaran ini. Getaran yang hanya ia rasakan saat bersama Elvan.

Ara mendongak tanpa melepaskan tangannya dari pinggang Elvan, menatap cowok itu yang juga tengah menatapnya. "Van,"

"Hm?"

"Lo masih sakit? Kok badan lo hangat? Tapi gue suka."

Is That You? #GAPersonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang