Lonely

248 20 14
                                    

Bola mata hitam pekat indah mematung pada satu arah.

Pojok kanan kelas, di dekat pintu.

Pemandangan yang selama 5 bulan ini ia lihat.

Lima gadis yang asik dengan dunia mereka sembari bercanda gurau.

Ia ingin seperti mereka. Sangat ingin. Tapi apalah daya, ia takkan mungkin seperti itu.

Jangankan bercanda gurau, dirinya bahkan  tak mampu untuk sekedar mengucapkan 'halo' atau berjabat tangan seperti halnya mereka.

Bangku pojok kiri paling belakang adalah satu-satunya objek yang menjadi saksi bisu perasaannya. Sudah beberapa kali ia mencoba untuk berteman dengan seseorang, tapi selalu saja gagal. Jika berhasil pun, orang itu akan menjauh dengan sendirinya.

Pernah satu kali ia berhasil berkenalan dengan seseorang. Sungguh ia merasa bahagia karena usahanya untuk mendapatkan teman tidak sia-sia. Hingga suatu hari sebuah kalimat berhasil memukul relung hatinya, "Temenan sama dia kayak tembok. Mana ada seru-serunya, diajak bercanda aja responnya cuma senyum doang. NGEBOSENIN!"

Ia mendengarnya sendiri tanpa sepengetahuan sang pembicara tentunya. Ia tersenyum getir, mungkin memang takdirnya untuk tidak mempunyai teman. Berdiam diri dan mengembuskan napas lelahlah responnya ketika mengingat fakta itu.

Kring...kring..

Suara yang selalu menjadi penolongnya.
Yang membuatnya menjauh dari kesepian dan berfokus pada sesuatu yang disebut belajar.
Disaat semua murid menciptakan wajah tidak suka, berbeda dengan dirinya yang menampakkan wajah lega.
................

"Pak! Gak adil banget sih! Masa yang lain enak-enak semua." Protes seorang gadis berkulit putih, rambut bergelombang, serta berpenampilan layaknya gadis dari kelas ekonomi atas.

"Tidak adil bagaimana? Saya membagi kelompok itu berdasarkan nomor absen. Kalau kamu tidak setuju, salahkan nomor absen kamu, Kelly." Jawab pria paruh baya yang tak lain adalah gurunya.

"Aduhhh, Pak! Saya gak mau sekelompok sama dia!" Balasnya sembari menunjuk seorang perempuan berambut lurus yang duduk di bangku pojok kiri belakang.

Gadis yang ditunjuk hanya menundukkan kepala dan menghela napasnya. Bukan pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini. Bahkan sudah tak terhitung sejak ia menginjak kelas X.

"Memangnya kenapa dengan Kyara? Dia anak yang pintar, bahkan dia bisa membantumu belajar  agar nilaimu tidak merah semua."

Mendengar perkataan guru tersebut, sontak hampir seluruh isi kelas menahan tawanya. Sedangkan Kelly hanya menggeram menahan amarah, jika pria dihadapannga sekarang ini bukan gurunya, ia pasti langsung memusnahkan pria tua itu.

"Sudah-sudah. Sekarang kalian semua segera berkumpul berasama kelompok kalian dan bahaslah materi yang kalian dapat."

Semua murid mulai bergerak menuju kelompoknnya, termasuk Kelly. Gadis itu berjalan menuju kelompoknya sembari menampilkan sedikit senyum miringnya.

"Eh, lo yang namanya Kyara."

"Kenapa?"

"Kerjain ya. Gue gak ngerti sama sekali materi ini." Ucap Kelly santai.

Anggota kelompok lain yang melihat itu hanya terdiam, tak sedikit yang menampilkan senyum samarnya. Mereka mempunyai jalan pikiran yang sama dengan Kelly. Mereka memanfaatkan Kyara. Sehingga, mereka tinggal bersantai ria menunggu tugas itu selesai.

Kyara hanya pasrah dan mengangguk.
Hanya itu yang ia dapat lakukan. Ia tak mau memprotes, apalagi sampai berurusan dengan Kelly. Gadis itu punya banyak cara untuk menutupi perbuatannya.

Ia pernah mencoba melawan Kelly. Alhasil, dirinya mendapat perlakuan tak pantas dari gadis itu. Ketika ia melaporkannya pun, Kelly malah bertingkah seolah-olah ia adalah korbannya. Ia dan Kelly justru berakhir di ruangan BK, dan beasiswanya pun terancam  dicabut.

Kehidupan Kyara jauh dari kata menyenangkan. Bahkan malah mendekati kata miris.

My Arrogant HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang