Aku, Kau dan Hujan

50 9 26
                                    

Ada banyak sekali yang mengatakan kalau hujan itu membawa lagu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang sedang rindu. Ada juga yang beranggapan kalau hujan adalah waktu yang pas untuk mengenang masa lalu.

Hingga sekarang, aku tidak tahu siapa yang pertama kali menyimpulkan hal tersebut. Sebagian besar memang benar sih. Mungkin karena situasi mendukung; udara yang sedikit lembab, harum petrichor yang menyeruak, ditambah tetesan air hujan yang jatuh bebas bagai keping kenangan--berhamburan dan menghipnotis pikiran.

Apapun alasannya, aku tetap suka hujan. Aku suka aromanya, mataku tak bisa lepas menatap butiran-butiran air yang menyentak dedaunan, menimbulkan suara gemericik yang indah saat beradu dengan tanah dan atap rumah.

Hujan mengajarkanku banyak hal :

Tentang kenangan.

Harapan.

Dan tentang―seseorang.

******

Ketika itu, aku sedang duduk di dekat jendela kelas―memerhatikan teman-teman yang asik main hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika itu, aku sedang duduk di dekat jendela kelas―memerhatikan teman-teman yang asik main hujan. Saat itulah kau datang menghampiri.

"Hei, Gunung Es," sapamu santai.

Aku yang tak ingin diganggu langsung menatap jengkel.

"Just leave me alone!" usirku singkat dan tajam.

Namun, kau malah terkikik geli. Tanganmu sigap menarik kursi, lalu duduk di hadapanku.

"Enggak terasa masa SMA kita akan berakhir." Raut wajahmu mendadak berubah sendu, manik cokelat muda yang biasa bersinar itu meredup seakan kehilangan energi.

"Hmm," jawabku sertamerta melempar pandangan ke arahmu.

Nih orang kenapa sih?

Kau membalas lewat senyum yang dipaksakan. "Itu artinya kamu akan bebas karna aku nggak akan mengusik lagi."

Kedua sudut bibirku tertarik ke samping. "Baguslah kalo gitu."

Hari-hari ke depan akan kulalui dengan nyaman.

Tidak ada panggilan "Gunung Es" lagi,

Tidak ada ocehan menyebalkan

Tidak ada yang akan mengalahkanku di peringkat kelas.

Tidak ada lagi―dirimu.

Harusnya aku lega, tapi entah mengapa, memikirkan yang terakhir itu justru menimbulkan setitik kesedihan yang malah merambat di hati. Semakin banyak seiring lebatnya hujan di luar sana.

Kau tertawa hambar, lantas diam beberapa detik untuk mempertemukan pandangan denganku.

Mulutmu mulai berceloteh lagi. "Tau nggak kenapa aku selalu gangguin kamu?"

Aneh, nada bicaramu terdengar sangat serius dan tatapanmu seperti tak sabar menunggu jawaban.

"Karena aku aneh," jawabku mengendikkan bahu.

Kepalamu menggeleng mantap, jari telunjuk dan tengah menaikkan frame kacamata yang menghiasi wajah tampan mu. "Karena aku ingin melihat ekspresimu. Tiap hari, kamu selalu memasang wajah datar. Jujur saja, aku lebih suka kamu marah atau tersenyum dan tertawa lepas karena ulahku.

Itu membuatmu terlihat jauh lebih 'hidup' ... asik bukan menjalani hidup tanpa topeng? Jadilah diri sendiri, karena ada seseorang yang selalu menganggapmu berharga." Kau berkata panjang lebar dengan gaya khas.

Aku tak tahu apakah harus senang atau marah mendengarnya.

Namun, ada sesuatu yang tak kumengerti, perkataanmu tetiba membuat dadaku sedikit menghangat. Dan kehangatan itu akhirnya menular ke kedua pipi tanpa bisa dicegah.

Dapat kulihat wajahmu juga bereaksi sama.

"Mungkin ini terdengar konyol, tapi ... boleh aku minta satu hal?" tanyamu sedikit kikuk. Namun, menuntut.

Sebelah alisku terangkat. "Apa itu?" kataku sedikit penasaran sambil terus menekan perasaan yang tak mampu dijelaskan lewat apapun.

Dapat menyaksikan semburat merah di wajah seorang pemuda adalah pemandangan langka bagiku. Begitu menenangkan sekaligus mendebarkan seperti halnya aroma hujan.

"Tolong jangan lupakan aku. Dan ... bisakah kamu menunggu hingga waktunya tiba?" Kamu mengucapkannya tanpa ragu dan sialnya aku tak mendeteksi sinyal kebohongan di bola mata indah itu.

Aku tersedak napas sendiri. Oke, ini membingungkan. Tidak. Tidak. Ini sangat sangat membingungkan!

Tapi, kenapa?! Kenapa aku malah mengangguk?!

Shit! Shit! Shit!!!! Apa yang kulakukan?!!!!

Aku menggeleng pelan setelah itu menunduk dalam. Berusaha rileks dan berharap semoga degup jantung yang makin menggila ini tidak tertangkap indera pendengaranmu.

Aira, sadar! Dia itu musuhmu!

Ya. Musuh yang tak akan pernah bisa kubenci.

Argh!! Menyebalkan!

Kamu tersenyum samar sebelum  melirik ke luar. "Udah reda. Ayo pulang!" katamu seraya mengambil tas kemudian berjalan pergi.

"Bagas! T-terima kasih banyak." Akhirnya aku angkat bicara setelah mengumpulkan keberanian, mengabaikan debaran hebat yang kutahan setengah mati.

Langkahmu terhenti tepat di depan pintu. Bayang tubuh jangkung itu begitu kontras kala diterpa sinar mentari senja.

Kamu tidak berbalik, tapi aku tahu kamu sedang tesenyum lebar sekarang. Tangan kananmu terangkat dan membentuk isyarat 'OK'

Kemudian, suara langkahmu perlahan menjauh. Aku hanya terkekeh sembari meraba pipi.

Panas.

*****

Haha! Lucu rasanya bila mengingat kejadian beberapa tahun silam itu. Momen terakhir kita berinteraksi. Setelah itu, semua berjalan di dunianya masing-masing. Benar-benar putus kontak. Hanya lewat sujud panjang dan hujan saja kita saling menyapa.

Sudahlah ... yang penting aku sangat menikmati hujan hari ini dan tak henti-hentinya tersenyum membaca sebuah pesan di ponsel.

[Minggu depan aku akan datang. Bersama rombongan. Tunggu aku ya!]

Hai! Thanks sudah mampir. Yuk nantikan cerita-cerita berikutnya.

Oh, iya, maaf kalo feel-nya kurang.. kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan.

^^

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang