Air yang menggenang sisa hujan tadi pagi masih belumlah kering, dan sekarang harum petrichor berpadu dengan rumput yang dipotong kembali menyeruak menusuk hidung. Aroma dingin juga tak mau pergi, setia menemani sedari dua puluh lima menit yang lalu. Desember selalu tak terpisahkan dengan hujan dan kisah-kisah di dalamnya.
Termasuk yang terjadi padamu.
Rini Syafira. Nama yang bagus. Aku tahu dari mereka yang biasa ikut menunggu bus di halte sekolah ini.
Hei, Rini, tahukah? Kisahmu lucu sekali. Seandainya bahasaku dimengerti manusia, mungkin kamu akan marah karena aku suka menggodamu.
Ya. Aku hanyalah burung gereja yang bersarang di celah genteng halte.
Hari itu, kamu seperti biasa duduk nyaman di halte. Jemari kurusmu sibuk membalik halaman novel lusuh yang cover-nya sudah sobek setengah.
Kamu tampak serius, terbukti dari alis yang mengerut tatkaa membaca isi buku tersebut.
Aku yang asik bertengger di atas terus memerhatikan.
Tak lama kemudian, seorang pemuda yang berseragam sama denganmu datang bersamaan dengan hujan yang tetiba menderas. Dia mengusap rambutnya yang sedikit lembab. Sementara, kamu belum menyadari keberadaannya. Barulah ketika pemuda bertubuh jangkung tersebut menyapa, kamu tersentak dan membalas pandangan.
"Hai, Rini." Suaranya terdengar hangat dan menenangkan.
Tanganmu sigap menutup buku, "H-Hai, Aldi." Hmm ... mukamu memerah.
Wow, ada apa ini? Aku bersiul rendah.
Aldi langsung duduk di sampingmu, sebuah senyuman terbit di wajah tampannya.
"Lagi baca apa?" Dia kembali bertanya.
Kamu gelagapan. Tampak bingung, apakah harus menjawab atau diam terpaku. Terpaksa pilihan kedua yang digenggam, yaitu pasrah pada sepasang mata cokelat yang menatap lembut. Begitulah, obrolan kalian berdua berlanjut. Selama itu, pipimu tak henti-henti bersemu, senyummu pun tidak pudar-pudar.
Aku sebagai pengamat pasif juga mendapat beberapa informasi berharga.
Tentang kamu dan Aldi yang ternyata beda jurusan.
Atau kamu dan Aldi sama-sama suka puisi.
Ah, pokoknya banyak deh.
****
Sejak itu, kamu mulai membangun harapan.
Yang dari harapan itu, menumbuhkan bunga-bunga di hati.
Membuatmu senantiasa dilingkupi semangat dalam melewati hari-hari.
Meski, kerikil-kerikil kecil menghalangi perjuanganmu.
Sebuah fakta bahwa Aldi sudah tinggal di hati orang lain, membuatmu tak gentar untuk lanjut mengagumi makhluk Adam yang satu itu.
Kamu tetap menulis puisi tentangnya.
Tak pernah absen menyelipkan namanya dalam doa.
Juga menjadikannya tokoh utama dalam setiap cerita.
Kamu tidak tahu sampai kapan akan bertahan, namun selagi rasa itu belum memudar dan menghambar, kamu akan tetap bersabar.
*****
Senja menyiram lembut, batangan-batangan cahayanya menyelinap di antara celah dedaunan, mengecupi rerumputan, dan beradu dengan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang.
Kamu duduk sendirian. Lagi.
Entah hari ke berapa ini. Yang jelas, tahun baru bisa dihitung pakai jari.
Kamu mengela napas panjang setelah melirik jam yang melingkari tangan.
"Hampir pukul lima." Matamu berubah sendu.
Lalu, pandanganmu beralih pada kado berwarna baby blue di dalam bungkus plastik putih.
Itu adalah puisi-puisi yang kamu buat selama sebulan.
Mungkin ada lebih dari 200 karya. Aku tahu karena kamu selalu menulisnya di sini. Halte. Semua tulisan itu hendak kamu berikan pada Aldi sebagai ungkapan perasaan terdalam. Kamu tidak berharap Aldi membalas, apalagi sampai menjadikanmu belahan jiwa.
Sungguh, kamu cuma ingin Aldi mengetahui betapa kamu tersiksa dengan rasa yang terus bertunas ini. Namun, keinginanmu menyurut seiring mentari yang kembali ke peraduan disusul cahayanya yang meremang.
"Mustahil Aldi mau nerima aku. Toh, dia juga udah ada pacar." Menelan kesedihan yang kian kental, kamu berjalan ke sudut kiri halte.
Langkahmu berhenti, kamu menatap tong sampah dan kado bergantian.
Ada rasa tak ikhlas bila harus melenyapkan harta karun yang susah payah dirahasiakan.
Jangan!! Aku berteriak tatkala melihatmu mengeluarkan korek api lantas membakar hadiah tersebut.
Andai aku manusia, pasti kamu akan kubantu.
Kasihan sekali, kertas-kertas itu menghitam cepat dimakan api, menggulung sedih menghanguskan untaian aksara indah.
"Biarlah rahasia ini membumbung tinggi hingga lenyap sama sekali." Kamu bergumam pelan.
Beberapa saat kemudian, seorang pemuda bertubuh jangkung mendekat.
Itu Ishaq, teman sekelasmu. Dia menghampiri dengan tergesa-gesa, tangannya memegang sesuatu.
Sebuah kado kecil.
"U-untukmu. Happy birthday!" Pemuda itu membuang muka, menyembunyikan semburat merah yang menghiasi pipi tirusnya. Usai berkata demikian, dia langsung pergi dengan motornya, meninggalkanmu dengan sejuta tanda tanya berikut degup jantung yang menggila.
Tuh, kan? Aku terkikik.
Ketika kamu diam-diam mencintai seseorang, barangkali ada orang lain-dengan perasaan yang jauuh lebih tulus diam-diam juga naksir denganmu. Apa? Oh, semesta yang memberitahukannya padaku. Dan tidak menutup kemungkinan, sekarang sang Maha Cinta juga sedang mengulum senyum di singgahsana-Nya.
Dia selalu punya rencana di luar dugaan, bukan?
END
Hola!! Makasih buat temen-temen yang udah baca cerita ini. Harusnya, sih aku publikasikan ini pas mau tahun baru, tapi ga papa deh. Wkwkwk. Mohon kritik dan sarannya, ya.
Ri Dama
Sumber gambar : Pixabay/Free-Photos
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Short Story"Orang bilang, hidup adalah sebuah perjalanan. Yang akan menuntunmu menuju berbagai kenangan. Segala hal yang nantinya dapat membuatmu tertawa bahagia atau malah menangis didekap duka. Namun, keputusan akhir tetap ada di tanganmu. Apakah harus men...