Promise

14 7 12
                                    

Janji tidak akan pernah kadaluarsa, sekalipun kau sudah menepatinya.

Ombak bergerak maju, menghantamkan diri pada terumbu karang yang telah begitu siap menyambut. Air laut memercik ke udara sebelum jatuh terurai. Gadis itu bergeming, abai dengan ujung gamis pink-nya yang basah. Matanya menatap kosong batangan-batangan cahaya yang muncul dari balik awan gemawan—membuat air di sekitarnya berwarna keemasan.

Gadis bermata indah itu menggigit bibir seraya mendekap erat kotak kayu. Napasnya tambah berat di setiap tarikan seolah tidak kuat menahan segumpal kesedihan di hati. Sejurus kemudian, tubuh mungil tersebut berjongkok. Mulai terisak. Awalnya terdengar lirih, lalu berubah jadi raungan yang memecah keheningan sore.

*****
“Hiks ... hiks ... hiks ... .“

Manda terjengit kaget mendapai seorang bocah lelaki—seumuran dengannya—memeluk lutut, menangis di bawah pohon beringin. Perlahan, dia mendekat. Genggaman di gagang payung mengetat.

Bila dilihat dari fisik, nampaknya Manda tahu siapa bocah itu. Aiman. Ayah Aiman meninggal tadi pagi setelah demam tinggi selama seminggu. Tidak ada yang tahu apa sebab pun solusinya. Sedangkan sang ibu sudah lama bekerja jadi TKI dan tidak kunjung pulang hingga kini.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Manda pelan.

Tidak ada jawaban. Kepala Aiman menunduk di antara kedua lututnya, hanya sesenggukan yang terdengar.

Manda berjalan ke samping kiri, lantas mengambil sandal jepitnya. Ya. sekitar setengah jam yang lalu, dia di sini—atas bukit, duduk sembari mengembala kambing-kambing neneknya. Itu tidak berlangsung lama sebab tiba-tiba hujan dan membuat gembalaan sontak panik.

Manda segera menggiring hewan-hewan itu turun, saking terburu-burunya, dia sampai lupa memakai alas kaki.

“Ini sudah sore. Ayo pulang,” ajak Manda memasukkan sandal ke kantong plastik.

Dia melirik Aiman. Terbesit rasa iba kala melihat kondisi teman sekelasnya itu. Rambut dan baju kausnya basah kuyup. Tubuh kurusnya menggigil.

Tiba-tiba Manda meletakkan payung, membuka jaket kumal yang dia kenakan, lantas menyelimuti Aiman. Bocah perempuan yang terkenal tomboy itu tidak tahu dari mana dia mendapatkan ide tersebut. Semua terjadi spontan.

Aiman mendongak. Menampilkan mata sembab juga bibir biru.

Sementara itu, Manda hanya menatap lembut pemilik iris sepekat malam yang masih terkejut dengan apa yang dia lakukan.

“Bila kamu terus bersedih, nanti Ayahmu jadi ikut sedih,” tutur Manda. Dia pernah kehilangan orang tua, jadi gadis kecil itu tahu seberapa besar kesedihan yang didera.

Aiman menyedot ingus, matanya berkaca-kaca. “Tapi—“

“Kamu enggak sendirian, kok,” potong Manda menyunggingkan senyum sertamerta meraih tangan kiri Aiman. “Yuk.”

Sepanjang jalan menuruni bukit, Aiman terus bungkam. Matanya tertuju pada tangannya yang digenggam Manda.

Rasanya ... hangat dan menenangkan.

Setiap helaan napas.
Setiap derap langkah.
Setiap kedipan mata.
Segalanya sudah diatur Pencipta.
Begitu pun dengan pertemuan kita berdua.

*****
Insiden di bawah pohon beringin rupanya menjadi awal persahabatan yang mereka jalin. Hampir saban sore, keduanya bermain di sana. Bersenda gurau sambil bertukar cerita. Padahal, bila ditengok dari sisi kepribadian, sungguh berbeda jauh. Di mana Aiman termasuk anak emas bagi guru, sedang Manda adalah langganan daftar hitam buku BK.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang